25 radar bogor

Berakhir Jadi Gelandangan

JADI TUJUAN: Kampung Parungdengdek, Desa Wanaherang, Gunungputri, menjadi salah satu lokasi perantauan yang dipilih sebagian besar pendatang ke wilayah timur Kabupaten Bogor.
JADI TUJUAN: Kampung Parungdengdek, Desa Wanaherang, Gunungputri, menjadi salah satu lokasi perantauan yang dipilih sebagian besar pendatang ke wilayah timur Kabupaten Bogor.

RADAR BOGOR, RINTO Cahyono (29) kembali tiba di perantauan. Tak ada jinjingan kardus selamat Idul Fitri lagi yang ia bawa. Melain­­kan hanya tas kecil hitam berisi baju. Juga, seorang pria se­umuran yang ikut serta di sampingnya.

Ya, Rinto tidak sendiri kembali ke Bogor. Dari Desa Wonosari, Kulonprogo, Jawa Tengah, ia mengajak serta tetangganya, Yono Sutrisno (28). Teman kecil Rinto untuk ikut mengadu nasib di Bogor. “Arep melu nyambut gawe neng Bogor. Dadi tak gowo. (Mau ikut kerja di Bogor. Jadi saya bawa),” kata Rinto saat ditemui Radar Bogor di Terminal Cileungsi, kemarin. (21/6).

Bukan tanpa alasan, Yono nekat ikut bersama Rinto. Uang menjadi daya pikat kuat bagi Yono. Terlebih saat melihat Rinto mampu pamer hasil rantauannya di kampung saat Lebaran kemarin. “Yo, aku kepingin koyo Rinto. Ngadu nasib ning kene. Ben iso tuku pit montor. (Ya, saya ingin seperti Rinto. Mengadu nasib di sini. Biar bisa beli sepeda motor),” harap Yono.

Namun, Yono belum tahu pekerjaan apa yang akan menjadi sumber peng­hidupan­­­nya di tempat perantauan. Yono datang hanya bermodalkan ijazah SMP. “Biasane kuli bangun neng ngomah. (Biasanya kuli bangunan kalau di rumah),” tutur Yono.

Kondisi ini pun membuat Yono terancam menjadi gelandangan di perantauan. Tak punya keahlian, juga ijazah yang mumpuni, menjadikan Yono sulit bersaing.

“Iyo aku nyambut gawe opo wae saiki. Sing penting iso mangan karo ngudud. (Iya aku kerja apa saja sekarang. Yang penting bisa makan dan merokok),” pasrahnya.

Yono hanya satu dari ratusan kaum urban yang mengadu nasib di Bogor. Namun, belum tahu untuk kerja apa di Bogor. Seperti Agus Suparno (32), yang baru tiba dari Wonosobo, kemarin pagi. Pria beranak satu itu nekat ke Bogor untuk mengubah nasib. Uang hasil menjual sepetak sawah di kampungnya, menjadi bekal merantau.

“Saya mau coba peruntungan. Kerja jadi buruh pabrik di Bogor. Kalau tidak diterima, ya, jadi apa saja lah,” kata Agus saat ditemui di Gang Sempit, bila­­ngan Kampung Parungdengdek, RT 01/10, Desa Wanaherang, Gunungputri, kontrakannya satu bulan ke depan.

Begitulah yang dilakukan sejumlah kaum urban. Meski minim keahlian, beragam profesi mereka jalankan. Demi mem­­­perbaiki kehidupan. Tak sedikit pula yang hanya bermodalkan belas kasihan. Namun, minim­­nya keterampilan menjadikan mereka tak layak hidup di Kota Hujan. Bahkan, menggelandang di jalanan.

Seperti yang dialami Karjiman (38). Sudah tiga tahun ia me­ngadu nasib di Bogor. Beragam pekerjaan sudah dicoba. Namun, bukannya makin membaik, dirinya justru jadi gelandangan. Mengemis menjadi pekerjaannya saat ini. “Mau pulang kampung, malu,” kata perantau asal Indramayu itu saat ditemui Radar Bogor di Jalan Raya Transyogi, kemarin.

Terpisah, Kabid Rehabilitasi Sosial Dinsos Kabupaten Bogor Dian Muldiansyah mengatakan, para pendatang yang tidak memiliki keterampilan khusus, tentunya menjadi pekerjaan rumah bersama antar-OPD Pemda Kabupaten Bogor. ”Dan ini terjadi setiap tahun,” ujarnya.

Menurut Dian, setiap tahun banyak kaum urban yang berakhir menjadi gelandangan. Mereka terpaksa menjadi penyandang masalah kesejah­­teraan sosial (PMKS).

“Tahun lalu (2017, red) pengemis yang dikembalikan ke kampung halaman kurang lebih 53 orang. Sedangkan perantau yang disalurkan ke Panti Sosial Bina Karya Bulak Kapal Bekasi sekitar 42 kepala keluarga,” tuturnya.

Untuk tahun ini, Satpol PP akan berkoordinasi dengan instansi terkait lainnya. ”Melakukan penjangkauan bagi para PMKS jalanan, khu­­­susnya pengemis, gelandangan, anak jalanan, dan wanita komersial dari kaum urban,” tukas Dian.(all/c)