BOGOR –RADAR BOGOR,Sebanyak 171 pemilik unit Apartemen Bogor Valley meminta Pemkot Bogor turun tangan menengahi kisruh antara penghuni dan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) Bogor Valley.
Sebab, mereka menilai bahwa pengurus apartemen di Jalan Sholeh Iskandar (Sholis) tersebut mencoba meraup untung dari penghuni.
“Kami menilai pengurus P3SRS yang baru tidak lain hanya kepanjangan tangan dari pengembang,” ujar Pengawas Paguyuban Warga Bogor Valley, Johan Wirdjanto.
Dia membeberkan banyak bukti jika pengelola meraup untung dari penghuni. Misalnya, pada 2015. Ketika itu, pemillihan P3SRS diadakan di Kabupaten Bogor, bukan di Kota Bogor. Padahal seharusnya bisa diadakan di Apartemen Bogor Valley.
“Hal ini menunjukan ada hal yang ingin disembunyikan. Kemudian, yang menjadi masalah juga adalah para pengurus P3SRS bukan pemilik. Mereka hanya pemegang surat kuasa,” imbuhnya.
Dia juga menilai, adanya kesengajaan agar hasil rapat tidak mengakomodasi kepentingan warga. Johan menegaskan, sampai sekarang, akta pendirian P3SRS tidak disahkan oleh wali kota Bogor. Padahal, itu diwajibkan oleh Perda No 15 Tahun 2006 tentang Rumah Susun. “Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa organisasi ini masih ilegal, belum boleh beroperasi,” ucapnya.
Kezaliman lain, papar Johan, P3SRS juga melakukan praktik yang merugikan warga. Misalnya, penetapan biaya iuran pemeliharaan lingkungan (IPL) seenaknya. Tidak ada laporan secara berkala yang wajib diserahkan kepada para pemilik.
“Selama tiga tahun di sini saya tidak menerima apa pun. Padahal itu diwajibkan dalam peraturan. Bahkan, dalam AD/ART yang mereka buat sendiri,” ucapnya.
Tak sampai di situ, fasilitas apartemen tidak seusai dengan biaya yang dikutip. Contohnya, kualitas servis yang menyedihkan. Setiap lorong banyak lampu dimatikan. Air kolam renang pun tidak terawat.
“Kesabaran anggota pemilik unit tentu ada batasnya. Kami yang jelas pemilik yang mimiliki identitas domisili pada tahun 2018 sepakat membuat P3SRS yang sesuai aturan berlaku,” ucapnya.
Sementara itu, penghuni Bogor Valley, Ferry Kusmawan mengaku, sejak tinggal selama tujuh bulan, dia tidak pernah menerima laporan keuangan. Ketika warga menanyakan hal tersebut pengurus P3SRS selalu menghindar. “Makanya, warga sepakat untuk membuat pengurus tandingan, untuk mengganti pengelola, karena semena-mena,” ucapnya.
Sebelumnya, Ketua P3SRS yang baru, Budi Setianto menuturkan, pengurus resmi telah memberi peluang untuk mengajukan calon pada saat rapat umum tahunan (Ruta) 2018 pada 11 Mei lalu.
“Namun, mereka justru membuat paguyuban baru sebagai tandingan. Padahal, jika mereka ingin masuk kepengurusan kami menerima kok,” ujarnya.
Menurut dia, aksi walk out yang dilakukan sebagian penghuni apartemen dalam rapat tahunan, merupakan keputusan mereka. Artinya, mereka sudah menyerahkan kepada warga yang ikut dalam pemilihan. Sebab, sistem pemilihan P3SRS sudah menggunakan nilai perbandingan proposional (NPP). Aturan itu sesuai dengan pasal 14 ayat 1 Anggaran Rumah Tangga.
“Sehingga rujukan hukum pasal 14 ayat 1 telah sesuai dengan ketentuan hukum dalam hal perhimpunan memutuskan sesuatu berkaitan dan kepemilikan dan kepengeloaan dalam Ruta,” imbuhnya.
Dia menyebutkan, pada tahap awal developer memfasilitasi pembentukan P3SRS sesuai ketentuan Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang No 20 Tahun 2011 tentang Rusun. Di dalam aturan itu, lanjut Budi, pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya P3SRS. “Paling lambat sebelum masa transisi sebagaimana dimaksud Pasal 59 Ayat (2) UU No 20 Tahun 2011 berakhir,” bebernya.
Budi juga membantah adanya tudingan konspirasi antara P3SRS dengan pengelola. Sebaliknya, pelaksanaan registrasi pendaftaran peserta dilakukan secara terbuka dan transparan, serta disaksikan seluruh warga Bogor Valley. (don/c)