25 radar bogor

Mengeksplorasi Istanbul sembari Berpuasa 17 Jam

MEGAH: Tampilan depan Masjid Biru yang dibangun pada 1609 dan baru selesai 1616.
MEGAH: Tampilan depan Masjid Biru yang dibangun pada 1609 dan baru selesai 1616.

Istanbul kaya destinasi yang sayang dilewatkan jika tengah singgah di ibu kota Turki itu. Wartawan Jawa Pos CANDRA KURNIA menjelajahinya mulai beberapa jam setelah sahur sampai datangnya waktu berbuka pada setengah sembilan malam.

AZAN salat Subuh dari Mas­jib Biru, Istanbul, itu berku­mandang lantang pukul 03.30 waktu setempat. Santap sahur dengan menu sarapan yang dimajukan telah selesai.

Hanya beberapa jam lagi, Jawa Pos akan menjajal mengeksplorasi ibu kota Turki yang kaya destinasi itu. Sembari berpuasa. Yang durasinya lebih lama ketimbang di tanah air: sekitar 17 jam.

Pagi tiba pada Selasa dua pekan lalu itu (29/5), tantangan langsung datang begitu keluar hotel sekitar pukul 08.30.

Sebuah restoran Italia, yang berada tepat si seberang jalan, sudah siap menjamu tamu. Aroma yang dibawa angin dari sana, hmmm… Jangan ditanya. Maknyus.
Karena semalam tiba di hotel pas menjelang dini hari, barulah tersadar bahwa sepanjang jalan menuju Masjid Biru berjajar restoran dan kafe. Baik tradisional Turki maupun makanan Eropa.

Tidak ada yang tutup. Semuanya buka seperti biasa. Semua menu dipampang di depan restoran.

Sebagian pemilik atau pekerja di restoran yang berjaga di depan menawari setiap orang lewat untuk mampir. Menikmati menu andalan.

Tidak ada satu pun restoran yang menjadi lebih ”sopan” dengan memasang kelambu penutup seperti di Indonesia. Semakin tertantang bukan?

Pemandangan serupa tampak di sekitar taman indah di antara Masjid Biru dan Museum Hagia Sophia. Selain restoran, belasan gerobak penjual simit (roti khas Turki) dan jagung rebus berdiri di mana-mana. Aroma jagungnya menusuk-nusuk hidung.

Padahal, magrib masih pukul 20.30. Masih 12 jam lagi.

”Sabar, ini ujian,” gumam Jawa Pos dalam hati.

Perhentian pertama di Masjid Sultan Ahmet Camii alias Masjid Biru. Sayang, kurang beruntung. Sebab, masjid terkenal itu tengah direnovasi pada beberapa bagian. Tampak scaffolding berdiri mengelilingi salah satu menara di bagian belakang.

Di dalam masjid, sebagian langit-langit dan dinding masjid yang berlukis indah kebiruan itu tertutup papan karena sedang ada pengecoran di beberapa titik. Namun, rasa kagum tetap saja tak bisa tertutupi saat menyaksikan setiap sudut masjid yang dibangun selama tujuh tahun pada 1609–1616 tersebut. Terutama pada ornamen dinding yang dilukis tangan pada zamannya tersebut.

Semakin tidak beruntung karena Hagia Sophia yang masyhur tersebut juga tengah direnovasi bagian dalamnya. Pada sisi kiri di depan mimbar, pengerjaan konstruksi sedang berjalan.

Banyak juga bagian di dalam museum yang ditutup. Jadi, kurang Instagramable buat foto-foto. Namun, tujuan utama ke Istanbul memang untuk merasakan suasana dan tantangan berpuasa di sana.

Setelah dua jam menghayati sejarah di Hagia Sophia, Jawa Pos melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya. Di sekitar area Sultan Ahmet terdapat sejumlah makam sultan Turki. Pengunjung bisa masuk ke sana untuk berziarah. Sekaligus mengenal sejarah dari masing-masing raja Turki itu. Gratis.

Tujuan berikutnya adalah Istana Topkapi. Ketidakberun­tungan ternyata berlanjut. Setelah berjalan sekitar 700 meter, sesampai di gerbang, ada pemberitahuan bahwa istana sedang ditutup bagi pengunjung. Jawa Pos baru bisa menikmati Topkapi keesokan harinya.

Pada titik itu, sekitar pukul 14.00, tenaga mulai terkuras. Panas di luar lumayan menyengat. Sebe­­nar­nya, lapar tak terlalu jadi soal.

Masalah utama pada kerong­­kongan yang kering. Tapi, tekad untuk berpuasa di tanah Ottoman kembali menguatkan. Apalagi, tujuan berikutnya ikut membang­­kitkan semangat. Yaitu, Grand Bazaar.

Dengan menggunakan trem yang nyaman, Grand Bazaar bisa dicapai dengan cepat. Sudah mafhum di kalangan traveller bahwa siapa pun yang kali pertama datang ke pusat perbelanjaan terbesar di dunia itu pasti tersesat. Saking besarnya.

Jadi, Jawa Pos memang sengaja menyasarkan diri di dalamnya. Tentu dengan memegang satu pesan dari seorang teman.

”Selalu ingat pintu di mana pertama masuk ke pasar tersebut,” kata si teman.

Paling gampang adalah melalui Stasiun Trem Beyazit. Jadi, saat sudah ingin pulang tapi masih tersesat, tinggal tanya pedagang di sana di mana pintu pertama itu.
Ya, Grand Bazaar berhasil mengalihkan pikiran dari haus dan lapar. Kering di kerongkongan pindah ke kantong. Lapar di perut pindah ke mata.

Bahkan, jika seharian pun menghabiskan waktu di sana, tetap saja kurang. Tak terasa sudah pukul 19.00. Hari masih sangat terang layaknya siang. Magrib masih satu setengah jam lagi. Saya memilih kembali ke kawasan Sultan Ahmet untuk ngabuburit di sana.

Ternyata, di depan halaman Masjid Biru ratusan orang sudah berkumpul. Mereka duduk di kursi-kursi yang disediakan berjajar sepanjang 50 meter.

Ada sebagian yang sedang memesan makanan di restoran-restoran semipermanen di sekitar situ. Sepanjang Ramadan memang ada bazar yang buka sejak siang.

”Ada beberapa iftar (buka puasa) yang gratis dibiayai pemerintah. Tapi, yang di sini bayar sendiri.” Begitu kata seorang petugas polisi yang ditemui Jawa Pos.

Setelah menikmati suasana festival di sekitar halaman Masjid Biru, Jawa Pos memesan makanan. Satu paket seharga TRY 30 atau Rp90 ribu. Isinya dua potong besar daging ayam panggang plus kentang goreng. Satu mangkuk sup, 2 roti tawar, 1 gelas air mineral, dan 1 gelas besar yoghurt.

”Tiga menit lagi, Brother,” ujar Beth, seorang pria yang duduk di samping saya.

Orang-orang Turki memang ramah-ramah. Sering di dalam perjalanan mereka menyapa dan mengajak ngobrol apa saja.

Begitu azan terdengar, ratusan orang yang berada di sana terdengar mengucap hamdalah dan membaca doa bersama. Syahdu rasanya. Haru sekali bisa berbuka bersama secara massal dengan ratusan orang meski tak saling kenal. Lebih haru lagi karena berhasil melewati tantangan berpuasa 17 jam.(*/c10/ttg)