25 radar bogor

Teladan Pak Parmin

ilustrasi (pexels.com)

Mencurigai. Betapa tidak enaknya perbuatan ini. Bahkan terhadap orang yang patut dicurigai sekalipun. Mencurigai sepertinya mengungkit nilai-nilai negatif yang sebenarnya tertanam dalam pengalaman batin kita sendiri. Membongkar perbendaharaan pikiran-pikiran kotor, khayalan-khayalan busuk, menderetkan segala kemungkinan terburuk. Lalu mencocok-cocokkan perbuatan khayali kita dengan perilaku orang yang kita curigai.

Lebih tidak enak lagi kalau orang itu adalah Parmin. Tukang kebun yang rajin dan tidak banyak cakap itu. Yang kerjanya cekatan, dengan wajah senantiasa memancarkan kesabaran. Tak pernah kedapatan sedikit saja membayang kemarahan pada wajah itu. Namun, tertawa berke­panjangan pun jarang lepas dari mulutnya. Senyum, itu saja. Senyum yang bisa muncul pada banyak kesempatan. Saat ia bicara. Saat ia menerima tugas, menerima gaji. Juga saat mami memberitahu bahwa gaji akan dibayarkan terlambat, misalnya. Rasanya senyum itu lebih demi membahagiakan orang lain dari pada ungkapan kebahagiaan dirinya sendiri. Itu pula yang terkadang membangkitkan rasa iba, tanpa dia bersikap meminta.

Tapi keadaan telah berubah. Semenjak pesta ulang tahun papi beberapa hari yang lalu. senyum itu tak lagi akrab dengan wajah lugunya. Tak ada yang bisa memaksa Parmin untuk mengatakan sesuatu sehu­bungan dengan kemu­rungannya itu selain ucapan,

“Saya tidak apa-apa.” Rasanya berat untuk berpikiran bahwa orang seperti dia bisa melaku­­kan tindakan tak terpuji. Tapi apa boleh buat, ada dugaan kuat bahwa paling tidak dia telah berbuat salah yang membuatnya begitu resah. Dan inilah peristiwa yang mengawali kecurigaan itu, seperti berulang kali diceritakan mami.

Adalah Himan yang bertugas mengamati Parmin secara khusus. Anak nomor dua ini (yang menjadi penganggur karena setelah lulus SMA tahun kemarin tidak diterima di perguruan tinggi negeri mana­ pun dan papi memutuskan “sekalian sekolah di luar negeri saja”) memang banyak waktu luang, terutama untuk hal-hal yang menurutnya berbau spionase. Dia pula yang kemudian melihat, betapa tangan Parmin gemetaran memegang gelas-gelas, serta berkali-kali es krim yang dituang ke dalamnya tumpah ke lantai.

Arisan memang berjalan lancar, namun tak urung mami terbawa-bawa jadi gelisah. Dan, entah mesti disyukuri ataukah disesal­kan, rekonstruksi ternyata berjalan persis yang dinanti. Parmin, suatu ketika, melintas cepat dari dapur ke garasi. Himan siaga. Sempat ia melihat Parmin mema­sukkan sesuatu ke dalam tasnya. Hanya sekilas. Karena secepat itu pula Parmin mela­rikan sepedanya keluar.

“Kejar!” mami berteriak.

Jam menunjukkan pukul lima sore ketika Himan meloncat ke atas sepeda balapnya sendiri, melesat ke jalanan mengejar Parmin.

Maka nampaklah dua sepeda mencoba berpacu, berkelit di antara ratusan mobil yang berhenti ataupun melata pelan, di tengah jalanan Jakarta yang macet, tanpa ada yang tahu persis siapa mengejar siapa. Yang jelas Parmin tak tahu bahwa ia di kejar sementara Himan sendiri lama-lama menjadi kurang yakin bahwa Parmin pantas untuk dikejar-kejar. Sebab tak pernah satu kali pun Parmin menoleh ke belakang, lebih-lebih mencoba menyembunyikan diri.

Sampai kemudian Parmin nampak menyusuri dinding sebuah rumah petak, separuh bangunan batu dan sebelah atas dinding kayu. Di ujung sana Parmin memasukkan sepedanya. Himan cepat me­nyusul. Tapi yang dihadapinya kemudian memaksanya untuk berhenti melangkah, urung menyer­gap.

“Bapak pulang! Bapak datang!”

Tiga anak kecil keluar dari dalam merubung Parmin. Seseorang meninju-ninju kaki bapaknya, seorang ber-breakdance tak keruan, dan yang satu lagi menarik-narik tas.
“Hati-hati ada isinya!”

Serentak ketiga bersorak. “Mak! Mak! Tas bapak ada isinya!”

Istri Parmin keluar, membawa segelas teh yang nampaknya sudah disiapkan sejak tadi. Sementara itu tas dibuka. Ada bungkusan plastik. Bungkusan dibuka. Ada kantong plastik. Kantong plastik dibuka. Si bungsu merebut. Plastik pecah. Isinya sebagian tumpah!
“Maak! Es kriim!

“Cepat ambil gelas!”

Gelas, itulah yang tepat. Sebab es krim itu tinggal berupa cairan putih yang tak jauh beda dengan air susu, menetes deras ke lantai. Oleh sang ibu lalu ditadah ke dalam gelas yang dipegang erat oleh masing-masing anak. Serentak semua diam. Semua tegang menanti bagian. Cuma kedengaran si bungsu berulang menyedot ingus. Lalu selesailah pembagian itu, masing-masing sepertiga gelas lebih sedikit. Tangan-tangan mungil itu mulai memasukkan sendok kecil ke dalam gelas.
“He, he, kalau sudah begini lupa berdoa, ya?”

“Berdoa kan buat kalau mau makan nasi, Mak.”

“Ya sudah, sekarang mengucap terima kasih saja,” Parmin menyambung.

“Yang memberi es krim ini tante Oche, tante Ucis sama Oom Himan. Ayo, gimana?”

Dengan takzim ketiganya mengucapkan pelan, satu anak menyebut satu nama.
“Terima kasih Tante Oche.”

“Terima kasih Tante Ucis.”

“Terima kasih Oom Himan.”

Himan melangkah surut. Diambilnya sepedanya, lalu pelan ia menyusuri gang yang remang oleh sisa-sisa cahaya lampu dari dalam rumah-rumah petak yang jendelanya masih terbuka. Setiap kali ia berpapasan dengan tukang bakso pulang kerja, juga penjual minyak tanah, penjual siomay, kondektur bus kota, sopir bajaj.

Bila nanti Himan sulit men­ceritakan segala yang baru dilihatnya, tentu bukan karena sekonyong-konyong ia kehilangan kata-kata, namun perbendaharaan kata itu me­mang belum pernah dimilikinya, ialah untuk sekadar bercerita tentang orang-orang yang bahkan begitu dekat dengan kehidupannya. Kehidupan kita juga, barangkali.

Sumber: Parmin, Kumpulan Cerpen Jujur Prananto
dunia-nabi.blogspot.com