25 radar bogor

Produktivitas Fayanna Ailisha Davianny Hasilkan 42 Buku di Usia 13 Tahun

-Foto : Ferlynda Putri/jawa pos PRODUKTIF: Fayanna Ailisha Davianny dan ayahnya, Martono Asmari, usai diskusi tentang literasi di Jakarta Mei lalu.
-Foto : Ferlynda Putri/jawa pos
PRODUKTIF: Fayanna Ailisha Davianny dan ayahnya, Martono Asmari, usai diskusi tentang literasi di Jakarta Mei lalu.

Kunci produktivitas Fayanna Ailisha Davianny terletak pada kedisiplinan menulis minimal satu halaman tiap hari. Sukses sekarang diraih tanpa kehilangan masa anak-anak. Prestasi di sekolah juga tetap terjaga.

FERLYNDA PUTRI, Jakarta

CERITA yang tertulis di buku tulis itu mengagetkan Martono Asmari. Sebab, setelah dia baca, logika bertuturnya runtut. Padahal, yang menulis masih kelas I sekolah dasar (SD).

”Fayanna masih suka nulis di buku tulis waktu itu. Baru setelahnya saya beri laptop untuk menulis,” kenang Martono tentang kejadian sekitar enam tahun silam tersebut.

Bahkan, setelah kekagetannya itu, juga sesudah anak pertamanya tersebut rutin menulis di laptop, Martono tak pernah menyangka dia bakal jadi penulis. Yang sangat produktif.

Bayangkan, di usianya yang baru 13 tahun saat ini, Fayanna sudah menghasilkan 42 buku. Kalau dirata-rata, dengan karya pertama lahir saat berusia 8 tahun, tiap tahun dia menelurkan 5–6 buku. Atau kira-kira 1 buku tiap dua bulan.

Diawali dengan Juiceme: Tersandung Hobiku yang terbit kala dia berusia 8 tahun sampai yang terakhir Kerudung untuk Mama lima tahun berselang. Genrenya pun terus meluas. Dari semula lebih banyak soal persahabatan, belakangan Fayanna juga merambah horor. ”Ke depan juga ingin nulis buku motivasi,” katanya.

Apa yang dicapai siswi kelas VII SMP Dian Didaktika Depok, Jawa Barat, tersebut sekarang sejatinya adalah buah dari bibit yang ditanam orang tuanya. Martono dan sang istri Intan Indah terbiasa membacakan sang buah hati buku cerita sejak dia berusia 1 tahun. Nyaris tak pernah absen. Tiap hari.

Setiap sang anak menjelang tidur, mereka bergantian mem­­bacakan buku. ”Belum tahu artinya tidak apa-apa. Yang terpen­ting dibacakan dulu,” tutur Martono saat bertemu Jawa Pos (Grup Radar Bogor) di Jakarta pertengahan Mei lalu.

Perlahan tapi pasti, kebiasaan dibacakan cerita itu membentuk Fayanna jadi sosok yang suka membaca. Buku menjadi teman akrabnya. Menurut Martono, setiap ulang tahun, putrinya tersebut tidak pernah meminta kado mainan atau hal lain. ”Hanya buku,” ucapnya.

Bermula dari buku tulis, lalu laptop, menginjak usia 8 tahun, Fayanna mulai ikut lomba menulis cerpen yang diadakan penerbit Mizan. Dia langsung menyabet juara kedua.

”Karyaku diterbitkan menjadi buku yang dijual di toko-toko buku seluruh Indonesia. Semenjak saat itu aku makin semangat menulis, makin mencintai dunia literasi,” ungkap Fayanna saat ditemui bersama sang ayah.

Keberhasilan tersebut tak membuat gadis kelahiran 6 Maret 2005 itu berpuas diri. Dia terus menulis. Setiap ada lomba berskala nasional, dia selalu ikut. Hingga akhirnya beberapa penerbit meminta langsung karya Fayanna untuk diterbitkan.

”Buku pertama saya (bukan karya kumpulan peserta lomba, Red) terbit Oktober 2013 dan kini saya sudah menghasilkan 42 buku,” ungkapnya bangga.

Rahasia produktivitas Fayanna memang terletak pada kedisiplinannya untuk terus menulis. Dia mengaku selalu menyempatkan minimal menulis satu lembar atau halaman tulisan per hari. Jika libur, barulah dia mengebut menulis. Tentu semua itu dikerjakan setelah pekerjaan rumah selesai.

Idenya? Bisa dari mana saja. Buku-buku yang dia baca. Cerita papa-mama. Atau bahkan saat jalan-jalan bersama keluarga. Entah itu saat ke toko buku atau nonton film di bioskop. Agar ide tak menguap begitu saja, Fayanna memiliki kebiasaan mencatatnya dalam notes.

”Menggunakan handphone saja kalau pas muncul ide, tapi belum menemukan waktu untuk menulis,” ucapnya.

Hasilnya, itu tadi, karya dengan beragam tema. Mengutip situs penerbit Gramedia, yang berte­ma horor misalnya Misteri Hitu­ngan Kesepuluh, Lorong Berhantu, dan Ghost School Days Mix Ed: Temen Misterius.

Capaian di jagat literasi itu pun telah membawa kakak Ferrico Arroyan Devandra tersebut menerima berbagai penghargaan. Saat kelas III SD, contohnya, Fayanna men­dapatkan penghargaan sebagai Penulis Paling Berbakat-Pendatang Baru Terbaik pada acara yang diadakan Kemen­terian Pendidikan dan Kebudayaan serta Mizan.
Fayanna juga tiga kali berturut-turut ikut dalam Konferensi Penulis Cilik Indonesia mewakili Jawa Barat.

”Saya pernah wawancarai Pak Jokowi dan menteri Kabinet Kerja karena berhasil menjadi reporter cilik terbaik,” bebernya.

Raihan tersebut telah pula membawanya terbang ke Korea Selatan. Itu terjadi pada 2016 saat dia mendapatkan penghar­gaan KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya) Mizan Goes to Korea.

”Alhamdulillah berkesempatan mendapatkan pengalaman luar biasa dengan wisata edukasi ke Korea,” ujarnya.

Yang paling anyar, April lalu Fayanna berhasil menjuarai 1st Asian Story Writing Challenge. Lawannya adalah penulis cilik dari 18 negara di Asia. ”Akhir April aku mewakili Indonesia sebagai penulis cilik yang ditunjuk untuk menjadi pembicara termuda dalam Kuala Lumpur International Book Fair. Aku hadir di panggung utama,” jelas pengurus Forum Anak Jawa Barat tersebut.

Semua itu diraih Fayanna tanpa harus kehilangan serunya masa anak-anak yang beranjak remaja. Teman-temannya banyak. Selalu ada waktu untuk bermain, berbagi cerita, dan bersenda gurau dengan mereka. Karena itu pula, banyak karyanya yang bertema persahabatan.

”Teman-teman banyak jadi sumber ide,” ungkapnya.

Prestasinya di sekolah juga bisa berjalan beriringan dengan raihan literasinya. Sejak SD Fayanna selalu masuk 10 besar. Bahkan, di sekolahnya dia mendapat penghargaan Grateful Appreciation Medal Award untuk kategori sains dan teknologi, seni budaya dan keterampilan, serta akhlak dan budi pekerti.

Pihak sekolah juga sangat mendukung sepak terjangnya di dunia literasi. Bahkan, ketika buku Fayanna terbit, kepala sekolah memberikan kesempatan untuk promosi. ”Dipanggil saat upacara, lalu dikasih kesempatan bicara, mempromosikan buku,” bebernya.

Sekarang Fayanna mulai bisa menikmati hasil kerja kerasnya selama ini. Membeli buku yang diinginkan. Dengan uang sendiri. Dia juga kelak bercita-cita memberangkatkan haji kedua orang tua dari hasilnya menulis. ”Kami tidak mencampuri apa yang dia dapat. Hanya menga­­rahkan agar jangan sampai ter­buang sia-sia,” kata Martono.

Fayanna pun bertekad untuk terus mengembangkan kemam­­puan menulis. Caranya tentu de­ngan semakin banyak mem­baca buku. Sayang, jumlah penulis anak dan buku anak di sini masih minim. ”Padahal, men­jadi penulis harus sering mem­­baca,” tuturnya. (*/c9/ttg)