25 radar bogor

Gawat! KPK Dalam Bahaya, R-KUHP Ancam Pemberantasan Korupsi

ilustrasi penangkapan oleh KPK
ilustrasi penangkapan oleh KPK

JAKARTA-RADAR BOGOR, Isi Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (R-KUHP) dipandang bisa mengancam pemberantasan korupsi. Posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun dalam bahaya.

Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Esther menuturkan, posisi KPK dalam keadaan bahaya itu terjadi karena DPR dan pemerintah akan segera mengesahkan R-KUHP pada 17 Agustus 2018 mendatang.

Letak bahayanya, menurut dia, pertama, jika R-KUHP disahkan maka KPK tidak lagi memiliki kewenangan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Kewenangan KPK tercantum dalam UU KPK yang secara spesifik menyebutkan bahwa KPK berwenang menindak tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor, dan bukan dalam KUHP.

“Jika delik korupsi dimasukkan dalam KUHP, maka hanya kejaksaan dan kepolisian yang dapat menangani kasus korupsi. Pada akhirnya KPK hanya akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi,” terangnya.

Aturan ini sekaligus menjadi kontra produktif dengan kinerja KPK yang telah teruji selama ini.

Lalola memaparkan, sudah triliunan uang negara berhasil diselamatkan, puluhan koruptor telah dijaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT), seluruh terdakwa korupsi yang dijerat dan dibawa ke persidangan selalu dinyatakan terbukti bersalah oleh hakim (100 percent conviction rate); pelaku korupsi yang ditangkap adalah koruptor kelas kakap mulai dari Ketua DPR, Ketua DPD, sampai Ketua Mahkamah Konstitusi.

“Tidak hanya KPK, akan tetapi Pengadilan Tipikor pun terancam keberadaannya,” imbuhnya.

Lalola menerangkan, selama ini Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili kejahatan yang diatur dalam UU Tipikor. Maka jika R-KUHP ini disahkan kejahatan korupsi akan kembali diperiksa dan diadili Pengadilan Negeri.

“Sudah menjadi rahasia umum bahwa pada masa lalu Pengadilan Negeri kerap memberikan vonis ringan bahkan tidak jarang membebaskan pelaku korupsi,” katanya.

Kedua, sejumlah ketentuan delik korupsi dalam R-KUHP justru menguntungkan koruptor. Ancaman pidana penjara dan denda bagi koruptor dalam R-KUHP lebih rendah dari ketentuan yang diatur dalam UU Tipikor.

Lebih ironis, kata dia, adalah koruptor yang diproses secara hukum dan dihukum bersalah tidak diwajibkan mengembalikan hasil korupsinya kepada negara karena R-KUHP tidak mengatur hal ini.

“Selain itu pelaku korupsi cukup mengembalikan kerugian keuangan negara agar tidak diproses oleh penegak hukum,” ujarnya.

Menurut dia, mengakomodir delik korupsi masuk ke dalam R-KUHP hanya akan menimbulkan citra buruk bagi rezim pemerintah dan parlemen saat ini.

“Presiden juga ingkar janji dengan poin ke-4 Nawacita-nya, yang menyatakan akan memperkuat penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Pemerintahan Jokowi dan Partai Politik yang ada di DPR nantinya akan tercatat sebagai lembaga yang melemahkan KPK dan upaya pemberantasan korupsi,” tutur Lalola.

Oleh karena itu, ICW pun membuat petisi agar menyelamatkan KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Isinya, pertama, agar Presiden Joko Widodo dan ketua DPR serta ketua umum dari partai politik di DPR untuk segera menyelamatkan KPK dari bahaya dengan segera menarik seluruh aturan atau delik korupsi dalam R-KUHP,” ujarnya.

Kedua, pemerintah dan DPR agar lebih memprioritaskan pada pembahasan regulasi atau RUU yang mendukung upaya pemberantasan korupsi seperti Revisi UU Tipikor, RUU Pembatasan Transaksi Tunai dan RUU  Perampasan Aset hasil kejahatan.

“Selamatkan KPK, Selamatkan Tipikor, Selamatkan pemberantasan korupsi di Indonesia,” pungkasnya. (ysp)