CIBINONG-RADAR BOGOR,Sidang perdana pembunuhan Grace Gabriella Bimusu (5) dengan terdakwa RFP (15) di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong, kemarin (4/6) berlangsung ricuh. Puluhan keluarga dan kerabat korban mengamuk begitu melihat pelaku.
Pantauan Radar Bogor di lokasi, suasana di pengadilan sudah memanas selama proses persidangan. Sejak pukul 10.00 WIB, kerabat dan keluarga korban sudah berkumpul di luar ruang sidang. Bahkan tidak sedikit di antara mereka menunggu di parkiran mobil tahanan milik Kejaksanaan Negeri Cibinong yang membawa terdakwa.
Benar saja, begitu terdakwa akan memasuki mobil tahanan, massa yang merupakan keluarga dan kerabat korban langsung mengejar. ”Hukum mati saja,” teriak mereka.
Untungnya, polisi yang sudah bersiaga bisa mengamankan terdakwa hingga menuju mobil tahanan. Tidak sampai di situ. Mobil tahanan yang membawa terdakwa keluar dari pengadilan pun sempat dikejar massa.
Terdakwa menjalani sidang perdana pkul 11.00 WIB dengan agenda pembacaan dakwaan. Terdakwa dijerat dengan pasal alternatif. Di antaranya Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, Pasal 76 d jo Pasal 81 ayat 1 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Terakhir, Pasal 76 c jo Pasal 80 ayat 3 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
”Pelaku juga didakwa sudah melakukan persetubuhan hingga mengakibatkan korban meninggal dunia,” kata Humas PN Kelas I Cibinong Bambang Setyawan kepada wartawan, kemarin.
Dalam sidang ini, hakim menghadirkan 11 saksi, termasuk orang tua terdakwa. Ia juga menyebut jika sidang lanjutan pada Jumat (8/6) mendatang harus segera putus. ”Cepat prosesnya, karena pelakunya kan anak, jadi mendapat perhatian lebih,” ucapnya.
Sementara itu, kuasa hukum keluarga Grace, Tobbyas Ndiwa mengaku kecewa karena menurutnya pihaknya selama ini terlalu mengalah. Sebab, sejak awal kematian korban, sudah banyak kejanggalan, mulai dari konstruksi bahkan hingga hasil autopsi yang pihak keluarga tidak diberi tahu.
”Kami yakin sekali itu bukan kekerasan biasa, kami yakin ada tindak pidana tambahan. Permasalahannya, kita tidak dilibatkan dalam proses rekonstruksi dan lainnya,” beber Tobbyas.
Ia pun menganggap peradilan ini terlalu parsial atau dipaksakan. ”Sebagai korban, kami seakan ditekan dan tidak dikasih ruang. Bahkan pelaku seperti diperlakukan spesial. Kita tahu polisi punya kewenangan, tapi dari pihak kami setidaknya diberitahu,” tandasnya.(wil/c)