25 radar bogor

Menghayati Museum of Innocence Karya Orhan Pamuk di Istanbul

DARI NOVEL KE MUSEUM: Detail kamar yang ditinggali Kemal 2000-2007. (Foto kiri) Tulisan tangan Orhan Pamuk sebelum diketik ulang menjadi novel Museum of Innocence.
DARI NOVEL KE MUSEUM: Detail kamar yang ditinggali Kemal 2000-2007. (Foto kiri) Tulisan tangan Orhan Pamuk sebelum diketik ulang menjadi novel Museum of Innocence.

(MoI) adalah penggambaran atas novel Orhan Pamuk dengan judul serupa. Karakter yang terlibat dalam cerita dihidupkan lewat barang sehari-hari. Mulai puntung rokok, SIM, hingga botol soda.

CANDRA KURNIA, Istanbul

ANDAI Fusun benar pernah ada, dia pasti terharu saat melihat cara Kemal Basmaci mengabadikan satu babak tak tergantikan dalam perjalanan cinta keduanya. Sebuah museum didirikan demi menyimpan kenangan apa pun yang pernah menghiasi kisah kasih sepanjang sembilan tahun itu.

Museum of Innocence (MoI) berdiri kukuh di ujung blok permukiman syahdu di kawasan Cukurcuma Cadessi, Beyoglu, Istanbul, Turki. Jalanan paving sepanjang gang menuju rumah kuno dari abad ke-19 itu terbilang sempit. Hanya cukup untuk papasan dua mobil.

Dari kejauhan, museum yang resmi dibuka sejak 2012 itu terlihat mencolok. Sebab, dindingnya dilabur warna merah hati.

Kaan menyapa dari balik jendela berterali yang difungsikan untuk ruang penjualan tiket museum yang didirikan penulis ternama Turki Orhan Pamuk itu.

”Wah, jauh sekali,” sambutnya setelah Jawa Pos mengatakan datang langsung dari Indonesia.

Museum sedang sepi. Hanya Jawa Pos yang datang pada Selasa pagi lalu itu (29/5). Di dalamnya, juga hanya ada dua pekerja. Kaan salah satunya. Seorang lainnya pria paro baya yang duduk di samping Kaan.

Dia bertugas mengawasi layar monitor yang tersambung dengan CCTV di setiap sisi lantai museum. ”Boleh foto, tapi jangan pakai flash, ya!” pesan dia.

Aturan itu memang lazim diberlakukan di banyak museum di dunia. Demi merawat koleksi agar tidak rusak.

MoI yang dirilis pada 2008, dua tahun setelah Pamuk dianugerahi Nobel Sastra, bercerita tentang cinta, kejujuran, kemunafikan, dan kehilangan yang mendalam. Tersebutlah Kemal yang mengenal Fusun saat sudah bertunangan dengan Sibel.

Di saat rasa cintanya kian mendalam kepada Fusun, Kemal terus berusaha membohongi diri sendiri bahwa pernikahannya dengan Sibel dan hubungan gelapnya dengan Fusun akan bisa berjalan beriringan.

Sebuah upaya yang terbukti gagal. Yang berbuntut kerinduan panjang Kemal terhadap Fusun ketika si gadis penjaga toko itu menghilang.

Saat mereka kembali bertemu, Fusun telah menikah. Dia bersedia menemui Kemal, tapi memperkenalkannya kepada sang suami sebagai saudara jauh.

Selama sembilan tahun, si ”saudara jauh” itu merawat cintanya kepada Fusun dengan terus berkunjung ke rumah yang ditempati Fusun bersama suami. Tiap kali pulang dari rumah itu pula, dia membawa barang demi barang yang terkait dengan Fusun.

Yang kelak, ketika keduanya berpisah lagi, setelah sempat bertemu dan bercinta dengan hangat, barang-barang itulah yang menjadi pengisi rumah Fusun yang diubah Kemal menjadi museum.

Washington Post memuji novel itu sebagai kisah manusia yang sangat manusiawi. ”Lewat buku ini, bisa dibilang Pamuk seperti meletakkan cinta di tangan kita,” tulis koran terkemuka Amerika Serikat itu.

Dan, cinta itulah yang diembuskan Pamuk ke dalam museum. Fusun ”dihidupkan” di sini. Barang sehari-hari yang kadang terlihat sepele, tapi sejatinya mengandung cerita.

Pamuk, saat pembukaan museum, sebagaimana dikutip Reuters, menyebutnya sebagai museum yang melambangkan kehidupan sehari-hari di Istanbul.

Keseharian itu sudah langsung tertangkap mata begitu masuk. Ada koleksi ribuan puntung rokok. Diletakkan dalam display kaca berukuran 9 meter persegi.

Jumlah pastinya adalah 4.213 batang. Satu per satu puntung ditu­suk dengan jarum. Lalu dita­namkan ke dalam tembok.

Puntung rokok tersebut ditata berbaris sesuai tahun. Mulai 1976 hingga 1984.

Ada catatan pengingat di mana dan kapan rokok itu diisap. Bahkan, di ujung beberapa puntung masih tertinggal bekas lipstik.

Semua puntung rokok tersebut diyakini pernah tersentuh bibir Fusun. Kemal yang begitu terobsesi dengan Fusun menyimpan semuanya.

Di tembok samping dekat lemari kaca tersebut, tertanam sembilan monitor mini yang menampilkan video yang menggambarkan jari-jari Fusun –tanpa wajah– sedang mengapit rokok-rokok tersebut.

Itu baru di lantai dasar. Total, ada lima lantai di museum tersebut. Naik ke lantai 1, siapa saja akan bersirobok dengan semua koleksi yang punya kaitan dengan kisah novel The Museum of Innocence dari bab 1–51.

Pada display nomor 1 yang berjudul The Happiest Moment of My Life tersebut, kembali lagi pembaca diingatkan pada kisah ketika Kemal dan Fusun kali pertama memadu kasih. Di rumah yang kemudian dijadikan museum tersebut.

Saat keduanya sedang bercumbu, salah satu anting yang dipakai Fusun terlepas, terlempar ke udara, kemudian jatuh ke lantai. Dikisahkan, anting berbentuk kupu-kupu tersebut hilang.

Di MoI, sebelah anting Fusun itu disimpan dengan rapi di lemari kaca. Berlatar belakang kain kelambu putih. Seakan menutupi adegan dalam novel tersebut.

Ada pula koleksi berupa surat izin mengemudi milik Fusun. Tercantum nama lengkap pemilik dengan tulisan tangan bertinta biru, Fusun Masume Keskin. Nama ayah,
Tarik. Nama ibu, Nesibe. Dia lahir pada 12 April 1957 di Istanbul.

Alamatnya, Dalgic, Cikmazi No 2 Cukurkuma Caddesi, Beyoglu, Istanbul. Tepat seperti alamat museum tersebut. Sebenarnya terpampang juga foto Fusun di sana. Tapi, wajahnya kabur, tak terlihat.

Di sisi lain, ada sebuah botol tergantung di dalam lemari kaca. Ada narasi jelas di sebelahnya.

”Ini adalah botol soda yang diminum Fusun saat nonton di sebuah bioskop ruangan terbuka di Istanbul pada 1976. Botol ini berdiri di samping meja dekat tempat tidur Kemal sampai berhari-hari berikutnya.”

MoI, sebagaimana umumnya dalam karya-karya Pamuk, juga berisi eksplorasi mendalam tentang dunia Barat dan Timur yang bertemu di Istanbul. Modernitasnya, kekayaan sejarahnya.

”Kalau sejarah tidak dilihat sebagai suatu yang statis, karya-karya Orhan Pamuk bisa menjadi jawaban karena dia mampu meniupkan napas baru bagi objek-objek sejarah dan kenangan,” tulis Bernando J. Sujibto, peneliti sosial kebu­dayaan Turki, alumnus Uni­versitas Selcuk, dalam resen­sinya di Jawa Pos terhadap karya
Pamuk lainnya, The Red-Haired Woman.

Semua barang di museum itu dikumpulkan Pamuk dari Pasar Loak Cukurcuma, Istanbul. Juga dari sumbangan keluarga dan donor.

Naik ke lantai 3 museum, novel MoI dalam berbagai bahasa langsung menyambut. Ada empat yang dipajang. Yakni, bahasa Italia, Inggris, Spanyol, dan Prancis.

Selain itu, semua benda yang dikisahkan dalam bab 52–79 ada di sana.

Adapun lantai paling atas berupa ruangan yang ditata seperti kamar Kemal di dalam novel. Ada satu ranjang tempat baju tidur Kemal masih tersampir.

Pada salah satu dindingnya tertulis sebuah keterangan. ”Antara 2000–2007 Kemal Basmaci tinggal di kamar ini, di mana Orhan Pamuk duduk dan mendengarkan kisahnya. Kemal Basmaci meninggal pada 12 April 2007.”

Pada ruangan itu pula cerita di balik layar penulisan novel MoI terungkap. Ratusan manuskrip cerita yang ditulis tangan oleh Pamuk dipajang. Pada beberapa artikel yang beredar di dunia daring menyebut MoI ditulis setelah Pamuk menerima Nobel Sastra pada 2006.

Sejatinya informasi tersebut tak sepenuhnya benar. MoI ditulis jauh sebelum itu. Memang MoI adalah novel Pamuk pertama yang lahir setelah 2006. Tapi, proses menulisnya dimulai jauh sebelum itu.(*/c11/ttg)

Pamuk mulai menulis MoI pada 2002. Membutuhkan waktu enam tahun hingga menyelesaikannya pada 2008. ”Pamuk kembali menulis novel tersebut pada awal 2004. Setelah beristirahat antara musim semi 2002 dan akhir 2003, ketika dia menulis, lalu menerbitkan Istanbul: Memorial of a City.” Demikian bunyi keterangan tertulis di sana.

Masih menurut keterangan tertulis itu, Pamuk menentukan kalimat pembuka MoI pada 18 Maret 2002. Saat penulis 10 novel itu berkunjung ke New York. ”Dia duduk di sebuah perpustakaan di Jalan 42 dan menuliskannya berulang-ulang,” lanjut keterangan tertulis tersebut.

Pamuk juga terus menulis saat harus meninggalkan Turki pada Februari 2005 karena tekanan politik. Seperti diketahui, otoritas Turki mengenakan tuduhan kriminal terhadap Pamuk setelah dia menuduh pemerintah melakukan pembunuhan lebih dari satu juta orang Armenia dan 30.000 orang Kurdi di Anatolia.

Dua bulan setelah menerima Nobel pada 12 Oktober 2006, penulis 65 tahun itu menulis beberapa halaman dari bab 63 yang kemudian tidak masuk ke dalam novel. Bahkan, di hari saat profesor perbandingan literatur di Universitas Columbia itu didapuk menjadi juri Festival Film Cannes, dia masih menyempatkan diri melanjutkan menulis novel tersebut.

Kalau sedang suntuk menulis, Pamuk juga menggambar apa pun yang bisa dilihatnya dari jendela. Di mana pun dia berada. Sampai akhirnya, kalimat terakhir MoI ditulis pada akhir April 2008.

Pamuk menghabiskan dana USD 1,5 juta untuk membangun museum tersebut. Termasuk membeli rumah yang kini digunakan untuk menyimpan barang-barang Fusun. Sebagian dananya didapatkan dari hadiah ketika menerima Nobel Sastra pada 2006.

Inspirasinya datang setelah Pamuk mengunjungi ratusan museum di seluruh penjuru dunia. Salah satu yang paling menginspirasinya adalah Bagatti Valsecchi Museum di Milan, Italia. Jika biasanya kisah novel roman difilmkan, Pamuk mewujudkannya dengan museum.

”Kehidupan sehari-hari kita itu layak dirayakan dan barang-barang yang terkait dengannya mesti dirawat. Museum ini tidak melulu tentang kebesaran masa lalu (sebagaimana umumnya museum, Red), tapi tentang orang dan benda milik mereka yang punya makna,” kata Pamuk saat membuka museum tersebut. (*/c11/ttg)