25 radar bogor

FH Unpak Kritisi Hak Informasi Publik

DIALOG INTERAKTIF: Staf Ahli Komite III DPD RI Dyah Aryanti, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan Muhammad Mihradi (tengah) dan Ketua Program Konsentrasi Hukum Pemerintahan FH Unpak Edi Rohaedi.

Selama ini masyarakat kesulitan mengakses informasi publik dari lembaga pemerintah maupun swasta. Hal ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Agar hal itu tak terus menjadi polemik, Fakultas Hukum Universitas Pakuan (FH-Unpak) mengadakan dialog interaktif dengan tema ”Hak Atas Informasi Publik” di RRI Pro 1 FM, belum lama ini.

Dalam dialog tersebut menghadirkan narasumber, yakni mantan Komisioner Komisi Informasi Pusat dan Staf Ahli Komite III DPD RI, Dyah Aryani, serta Ketua Program Konsentrasi Hukum Pemerintahan FH Unpak serta Dekan FH Unpak Muhammad Mihradi.

Menurut Dyah, akses informasi publik ini menjadi penting, karena jika terbuka luas akan banyak manfaat yang didapat.

”Seperti kejahatan korupsi dapat diminimalisasi. Dengan terbukanya informasi publik, masyarakat bisa mengontrol pemerintah. Kemudian pelayanan publik seperti perizinan dapat lebih transparan. Tak perlu lagi mengeluarkan uang yang tidak jelas,” beber Dyah.

Ia pun menjelaskan, pihak yang berkewajiban memberikan akses informasi publik tidak selalu badan publik dalam pengertian lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun, organisasi nonpemerintah, bahkan swasta bisa dimintakan akses informasi.

Yakni, sepanjang menerima dana dari APBN atau APBD maupun sumbangan dari masyarakat.

”Komisi Informasi pernah menangani sengketa informasi antara masyarakat dengan perusahaan waralaba salah salah satu minimarket. Akhirnya diputuskan wajib membuka informasi mengenai penerima dana donasi publik dari sisa kembalian uang transaksi,” ungkapnya.

Sementara itu, Mihradi berpandangan, tradisi keterbukaan informasi memiliki akar kuat di masyarakat. Seperti masjid, misalnya.

Sebelum salat Jumat lazim diumumkan total jumlah sumbangan jamaah. Ini menunjukkan bahwa transparansi sudah melembaga lama di tradisi agama.

Meski begitu, lanjut Mihradi, di masyarakat masih sering terjadi kekeliruan. Ada informasi publik yang dianggap rahasia negara.

Sebaliknya, ada yang seharusnya rahasia negara, malah dinilai informasi publik.

Di dalam Pasal 17 UU KIP diatur, kategori apa saja informasi publik yang dikecualikan tidak bisa diakses. Seperti taktik dan strategi intelijen menyangkut keamanan negara tidak bisa diakses publik. Demikian pula informasi yang dapat mengganggu proses penyidikan tindak pidana, juga tidak dapat diakses. Dengan begitu, terda­pat kejelasan informasi publik seperti apa yang bisa diakses dan mana yang tidak,” jelasnya.

Sedangkan, Ketua PK Hukum Pemerintahan pada FH Unpak, Edi Rohaedi melihat jaminan atas akses informasi publik dapat mencegah pemerintah melakukan maladministrasi.

Seperti memperlambat layanan sehingga merugikan publik.

”Apabila ada seseorang yang dihalangi mendapatkan informasi publik, maka dapat dilindungi melalui pengajuan sengketa informasi ke Komisi Informasi. Apabila tidak selesai di Komisi Informasi, dapat menggugat ke Pengadilan Negeri maupun ke PTUN,” tukasnya.(rur)