25 radar bogor

Ke Pesantren Al Hidayah, Tempat Anak-Anak Pelaku Tindak Terorisme Diajari Deradikalisasi (1)

FOTO : KHAFIDLUL ULUM/JAWAPOS ARAHAN: Khairul Ghazali, Pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah Deli Serdang Sumatera Utara sedang memberikan arahan kepada para santri yang merupakan anak mantan teroris.
Di Pesantren Al Hidayah, puluhan anak para pelaku tindak terorisme dibentengi dari pemahaman jihad yang salah. Rasa dendam dan bencinya dikikis. Jawa Pos pun berkesempatan menjadi pengajar dadakan bagi para santri.
KHAFIDLUL ULUM, Deli Serdang
SEBAGIAN di antara mereka terlihat mengantuk. Berkali-kali menguap. Sebagian yang lain asyik berbincang dengan sesama.
Ruang kelas di Pondok Pesantren Al Hidayah, Deli Serdang, tempat anak-anak berusia 13–14 tahun tersebut berada, memang dikelilingi kebun hijau. Tapi, di siang seterik itu, dalam suasana berpuasa, wajar mereka butuh sedikit pengusir rasa kantuk.
’’Ayo kita tepuk semangat,’’ ajak saya pada Senin lalu itu (15/1).
Satu kali beri semangat, prok. Dua kali beri semangat, prok, prok. Tiga kali beri semangat, prok, prok, prok. Empat kali beri semangat, prok, prok, prok, prok.
Mereka pun kembali bersemangat. Dan, itu otomatis menular kepada saya. Yang pada siang itu diberi kesempatan membagikan pengalaman kepada para santri. Di sela mereka menunggu pergantian mata pelajaran dalam ujian akhir semester.
***
Al Hidayah khusus mendidik anak-anak pelaku tindak terorisme. Menderadikalisasi mereka. Membentengi dari pemahaman jihad yang salah.
Dan, semua itu bermula saat sang pemimpin pondok, Khairul Gazali, masih mendekam dalam penjara. Di balik kerangkeng Lapas Medan, tempat dia menjalani hukuman enam tahun, narapidana kasus pembobolan bank dan penyerangan Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, itu sadar. Bahwa apa yang dia kerjakan selama ini salah.
Amaliah jihad yang dia laksanakan memakan banyak korban. Terutama orang-orang yang tidak bersalah.
’’Ide mendirikan pesantren itu muncul waktu awal-awal di penjara,’’ ucapnya saat ditemui di kantor pesantren pada Senin lalu (21/5).
Inspirasi tersebut datang setelah mengetahui banyak anak ikhwan jihadi yang putus sekolah karena tidak ada biaya. Banyak pula yang menjadi korban perundungan.
Kebetulan, saat itu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga menggagas program deradikalisasi. Keinginan Ghazali mendirikan pesantren pun semakin kuat.
’’Kalau dibiarkan, akan sangat berbahaya. Sebab, mereka pasti akan mewarisi semangat jihad yang salah. Terorisme akan terus berlanjut,’’ terangnya.
Komitmen tersebut akhirnya dia realisasikan ketika bebas bersyarat pada 2015. Di kampung halamannya, Desa Sei Mencirin, Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang,
Gazali pun merintis pesantren yang awalnya diberi nama Pesantren Darusy Syifa’.
Yang pertama dibangun adalah musala kecil berukuran 5 x 5 meter yang terbuat dari kayu mindi. Musala tanpa dinding itu sampai sekarang masih berdiri.
’’Dana tidak ada. Jadi, kami bangun tanpa dinding. Yang penting bisa untuk salat,’’ tutur dia.
Pada 2016, Gazali mulai membangun asrama berukuran 5 x 7 meter. Asrama tersebut dia bangun dengan biaya pribadi dari royaltinya menulis tiga buku bertema
kontraradikalisme.
Selanjutnya, Gazali pun membawa anak-anak mantan teroris tinggal di pesantren kecil tersebut. Ada 10 anak yang menjadi santri. Mereka berasal dari berbagai daerah di Sumatera Utara. Yang paling banyak dari Medan.
Masuk 2017, dia membangun asrama lagi. Santri pun bertambah menjadi 20 orang sampai sekarang. ***
Pesan itu berkali-kali ditekankan Gazali kepada saya sebelum mengisi kelas. ’’Tolong, jangan ditanyakan tentang orang tua mereka. Apalagi tanya bagaimana ayah
mereka meninggal,’’ katanya.
Dia terus mewanti-wanti itu karena selain tak sejalan dengan semangat deradikalisasi, juga berdasar pengalaman tak mengenakkan. Suatu waktu, tutur dia, pernah seorang jurnalis datang ke Pesantren Al Hidayah bersama rombongan pejabat.
Wartawan itu menemui seorang santri dan langsung bertanya tentang nama orang tua dan seperti apa sepak terjang mereka selama menjadi teroris. Dan yang paling mengoyak jiwa anak-anak adalah ketika si wartawan itu bertanya bagaimana orang tua mereka meninggal.
Santri tersebut tidak bereaksi. Hanya diam. Tapi memendam perasaan yang menggelora. Rasa sedih dan dendam bercampur ketika masa lalu orang tuanya diungkit.
Sejak kejadian itu, Gazali selalu mewanti-wanti tamu yang datang agar tidak menanyakan masa lalu orang tua santri. ’’Sebab, yang kami lakukan di sini justru berupaya menghilangkan rasa dendam dan kebencian di hati para santri,’’ tegasnya. (*/c5/ttg)