25 radar bogor

Butuh 300 Ribu Mubalig

Hanung Hambara/Jawa Pos SEMRINGAH: Wakil Presiden Jusuf Kalla (empat kiri) di dampingi oleh Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nasir (kiri), Rektor UMS Sukardino dan Ketua PP Aisyiyah Noordjannah Djohantini (kanan) membuka gedung At Tauhid Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) belum lama ini.

JAKARTA–RADAR BOGOR,Daftar 200 mubalig yang dikeluarkan Kementerian Agama yang menuai kontroversi bakal diperbaiki. Kemarin (22/5) Wakil Presiden Jusuf Kalla bertemu Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin untuk membicarakan kriteria mubalig tersebut.

JK yang juga Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia itu menegaskan bahwa setidaknya butuh 300 ribu mubalig. Jumlah itu sesuai dengan jumlah perkiraan masjid di Indonesia. Nah, nama-nama 200 mubalig itu tentu jauh dari cukup. ”Kita sudah bicarakan agar dibuat pola yang lebih baik, lebih efisien, lebih cepat,” ujar JK di kantor Wakil Presiden.

JK menuturkan perlu dibuat kode etik atau kriteria untuk para mubalig. Dia mencontohkan banyak profesi punya kode etik termasuk jurnalis. Sehingga kelak tidak akan sampai membuat mublig lain merasa dikesampingkan.

”Tidak hanya untuk memberikan seumpamanya kriteria dan kode etik. Sama dengan Anda, wartawan kan Anda punya organisasi dan kode etik, perlu terdaftar,” ujar dia.

Sebelum bertemu dengan wapres, Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin juga bertemu dengan pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lukman menuturkan, MUI dalam waktu dekat akan mengundang sejumlah ormas Islam. Mereka akan berdiskusi untuk melengkapi, menyempurnakan, dan menambah daftar yang telah dirilis Kemenag.

”MUI merasa juga ingin ikut memperbaiki bagaimana agar mekanisme akses masyarakat untuk bisa mendapatkan para penceramah yang baik ini dilakukan juga dengan cara (baik),” kata dia.

Dia mengungkapkan, daftar nama itu sebenarnya bermula dari keingintahuan masyarakat perihal tokoh-tokoh atau mubalig yang hendak diundang ceramah. Ada nama yang ditanyakan kepada Kemanag melalui ormas atau takmir masjid. ”Kemudian kami himpun, dan kami sampaikan dalam bentuk rilis itu,” kata dia.

Itulah yang membuat daftar tersebut hanya sejumlah 200 orang. Lukman menyebut tentu jumlah tersebut tidak merepresentasikan ratusan ribuan penceramah di Indonesia. Masih banyak nama ulama besar yang belum masuk ke daftar itu.

”Sangat bisa dimaklumi, karena rilis itu bukanlah seleksi, bukanlah untuk memilah-milah bahwa ini penceramah yang ini dan di luar itu, bukan untuk menyeleksi, bukan standarisasi, apalagi akreditasi, apalagi sertifikasi,” kata dia.

Sementara itu, Wakil Ketua MUI Zainut Tauhid Suudi mengungkapkan, MUI dan Kemenag akan bekerja sama untuk membangun program peningkatan kompetensi dai atau mubalig. Program peningkatan kompetensi dai akan dilakukan dengan sistem sertifikasi. Meskipun, Zainut tak menyebutkan detail mekanisme sertifikasi tersebut.

”MUI dan Kemenag sepakat untuk membangun program peningkatan kompetensi dai/mubalig baik dari aspek materi maupun metodologi melalui program dai bersertifikat,” jelas Zainut.

Dalam rangka membahas program ini, Zainut mengatakan, MUI dalam waktu dekat akan mengundang ormas-ormas Islam untuk membahas dan mendalami bersama agar bisa menjadi kebijakan bersama.

Zainut berharap kepada semua pihak untuk tidak memperpanjang polemik terkait dengan rilis 200 nama mubalig tersebut karena dikhawatirkan dapat menimbulkan kesalahpahaman dan fitnah.

Sementara itu, kalangan DPR justru mengkritik perbuatan Kemenag dan MUI ini. Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay meminta agar Kemenag menghentikan kegiatan rilis merilis daftar mubalig. Menurutnya, itu hanya akan membikin kegaduhan.

”Kemenag dinilai memecah belah mubalig yang terdaftar dengan yang tidak terdaftar,” katanya.

Jika hal ini diteruskan, akan ada kesan bahwa Kemenag tutup telinga terhadap kritikan dari masyarakat. Ini tentunya akan berdampak pada pemerintahan presiden secara kolektif.

Selain itu, menurut Saleh, sertifikasi dai itu juga tidak dibutuhkan. Dalam pelaksanaannya pasti akan ditemui kesulitan teknis. Sertifikasi ribuan bahkan puluhan ribu penceramah pasti tidak mudah.

Selain itu, Saleh khawatir akan banyak juga yang tidak mau mengikuti sertifikasi karena berbagai alasan. “Akibatnya, program dan wacana sertifikasi itu pun bisa jadi terkendala dan berhenti di tengah jalan,” kata Saleh.(jun/tau)