25 radar bogor

Korban Teror Dapat Kompensasi

TERLUKA: Korban bom, Frank Feulner saat memberikan keterangan kepada wartawan, beberapa waktu lalu.

JAKARTA–Terorisme begitu keji. Tak hanya merenggut korban jiwa, tapi juga membuat korban yang selamat menanggung luka fisik dan trauma sepanjang hidupnya.

Karena itu, revisi Undang-Undang Terorisme tak hanya berkutat pada pencegahan dan pemberantasan terorisme, tapi juga mencakup aturan pemberian kompensasi untuk korban.

Wakil Ketua Panitia Khusus revisi UU Terorisme Supiadin Aries Saputra mengatakan, saat ini, kompensasi atau ganti rugi untuk korban teror harus menunggu keputusan pengadilan, sehingga butuh waktu lama. ”Dengan UU Terorisme yang baru, tidak perlu lagi menunggu putusan Pengadilan,” ujarnya usai diskusi tentang terorisme di Jakarta kemarin (19/5).

Menurut Supiadin, uang kompensasi memang tidak akan bisa mengobati kepedihan dan luka korban teror. Namun, setidaknya bisa membantu meringankan beban korban maupun keluarga yang ditinggalkan.

Karena itu, lanjut dia,  besaran kompensasi untuk korban teror juga akan ditetapkan nilainya. Mulai kategori luka ringan, luka berat, hingga meninggal dunia. ”Untuk korban luka sekitar Rp75 juta,” sebutnya.

Supiadin mengatakan, karena yang dibahas saat ini adalah revisi UU  Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maka pemberian kompensasi itu akan berlaku surut. ”Mulai korban bom Bali 2002,” katanya.

Sebagaimana diketahui, UU Terorisme 2003 merupakan respons atas kasus bom Bali 2002 yang kemudian disebut dengan Bom Bali I. Itu adalah  rangkaian tiga peristiwa pengeboman yang terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002.

Dua ledakan pertama terjadi di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali. Adapun ledakan terakhir terjadi di dekat kantor konsulat Amerika Serikat.  Lalu, ada lagi  pengeboman dalam skala yang jauh lebih kecil yang juga bertempat di Bali pada tahun 2005 yang disebut Bom Bali II.

Kasus Bom Bali ini menjadi perhatian internasional karena merenggut 202 korban jiwa dan ratusan lainnya luka-luka. Mayoritas adalah wisatawan asing yang sedang berlibur di Bali.

Menurut Supiadin, bagi korban teror yang kasusnya sudah diputus di pengadilan, proses ganti rugi akan mengacu pada putusan itu. Namun bagi   korban yang kasusnya belum diputus, akan mendapat kompensasi berdasar rekomendasi penyidik dan keterangan   saksi di lapangan.

Misalnya, ada kasus seseorang meninggal karena mendengar ledakan bom. Maka perlu rekomendasi, apakah dia termasuk korban atau bukan. ”Kalau misal korban itu awalnya sehat, tapi meninggal karena serangan jantung saat mendengar bom, maka itu masuk kategori korban teror,” jelasnya.

Aturan kompensasi untuk korban teror ini kembali mengemuka saat sidang    pimpinan ideologis Jamaah Ansorut Daulah (JAD) Oman Rocham alias Amman Abdurrahman. Selain tuntutan hukuman mati, jaksa penuntut umum (JPU) juga meminta kompensasi  untuk para korban. Total ada 16 nama korban yang dimasukan dalam berkas tuntutan dengan nilai puluhan hingga ratusan juta.

Dari 16 korban itu, 13 diantaranya adalah korban atau keluarga korban dari bom Thamrin pada Januari 2016 lalu. Sedangkan tiga korban lainya dari bom di Terminal Kampung Melayu pada Mei 2017. Dua bom itu disebut terkait dengan Amman Abdurrahman.

Nilai ganti rugi terbesar diajukan oleh Frank Feulner sebanyak Rp 379.333.313. Warga negara Jerman itu menjadi korban bom saat berada di Starbucks Cafe Menara Skyline Sarinah.

Permintaan tersebut dibacakan Jaksa Anita Dewayanti dalam sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat (18/5). Dia meneruskan permohonan para korban bom di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat dan bom di Kampung Melayu, Jakarta Timur.

”Agar majelis hakim dalam putusannya membebankan kepada negara melalui menteri keuangan untuk memberikan hak kompensasi para korban yang perhitungan dan pengajuannya disampaikan melalui LPSK,” kata jaksa Anita.

Saat dihubungi Jawa Pos kemarin, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Lili Pintauli Siregar mengatakan, pihaknya sudah memasukan kerugian korban akibat terorisme kepada jaksa penuntut umum (JPU). Sampai saat ini, total kerugian itu sebesar Rp 1,5 miliar. ”Mayoritas sudah divonis bersama dengan perkara pokoknya,” ujarnya.

Menurut Lili, mekanisme ganti rugi untuk korban terorisme itu secara umum diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Pada pasal 37 PP tersebut menjelaskan mekanisme pemberian bantuan kepada korban terorisme. Salah satunya mengajukan surat tertulis kepada LPSK.

Lili merinci pengajuan kompensasi yang dikabulkan dalam vonis itu antara lain kasus terorisme bom Thamrin, Kampung Melayu, dan bom Samarinda. Nah, baru-baru ini, pengajuan serupa juga dilakukan untuk perkara Amman Abdurahman. ”Untuk bom Thamrin dan Kampung Melayu ada 16 korban yang mengajukan kompensasi lewat LPSK,” terangnya.

Lili menjelaskan, nominal kompensasi yang diajukan memang bervariasi. Hal itu merujuk pada bukti-bukti yang disertakan dalam pengajuan. Misal, bukti kuitansi pembayaran berobat dan lain-lain yang masih berkaitan dengan dampak kasus terorisme. ”Tentu saja bukti yang bisa diyakini hakim,” ucapnya.

Sementara itu, terkait penyelesaian revisi UU Terorisme, Supiadin  optimistis revisi undang-undang itu bisa benar-benar selesai paling lambat pekan kedua Juni. Pansus akan menggelar rapat pada Rabu (23/5) pekan depan dengan wakil dari pemerintah.

”Kalau sudah (revisi undang-undang) ini sah atau sepakat akan menggelar raker (rapat kerja) dengan pemerintah. Leading sector-nya Kemenkum­ham, hadir juga nanti Panglima TNI, Kapolri, dan menteri pertahanan untuk menanggapi ini,” ujarnya.

Setelah semua sepakat, maka draft revisi undang-undang itu akan dibawa ke pimpinan DPR dan dibahas di Badan Musyawarah yang dihadiri pimpinan fraksi. Bila lancar akan diajukan ke Rapat Paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.

”Selambat-lambatnya dalam waktu 100 hari pemerintah sudah menerbitkan peraturan pemerintah penjabaran dari undang-udang,” ungkapnya.(jun/tyo/owi)