25 radar bogor

Kali Ketiga Purnomo, Mantan Sprinter Terbaik Indonesia, Bertarung Melawan Kanker

PURNOMO FOR JAWA POS TETAP SEMANGAT: Purnomo saat dijenguk para mantan atlet di MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, Jakarta.

Harus kembali berhadapan dengan kanker kelenjar getah bening tak sampai menyurutkan perhatian Purnomo kepada nasib sesama atlet. Sempat jalani kemoterapi lima hari nonstop, kini tiap pekan dia masih harus kontrol ke dokter.

NURIS ANDI P, Jakarta

SUDAH puluhan tahun Purnomo gantung sepatu sebagai sprinter alias pelari jarak pendek. Tapi, determinasi dan kegigihannya sebagai atlet masih tersisa sampai sekarang.

”Bahkan, dokter yang merawat saya bilang, kalau bukan mantan atlet, mungkin saya sudah ’lewat’ lebih dahulu,” kata Purnomo saat ditemui Jawa Pos (Grup Radar Bogor) di kediamannya di Bintaro, Jakarta, Sabtu (12/5).

Maklum, untuk kali ketiga mantan pemegang rekor nasional nomor 100 meter itu harus bertarung melawan kanker kelenjar getah bening alias limfoma non-hodgkin. Sebuah pertarungan yang tidak mudah, tentu saja. Dan, sudah pasti pula tidak murah.

Pria bernama lengkap Purnomo Muhammad Yudhi itu kali pertama didiagnosis menderita limfoma non-hodgkin pada 2015. Setelah menjalani serangkaian pengobatan, setahun berselang, dia dinyatakan sembuh.

Tapi, kanker yang sama kembali muncul pada awal 2017. Lewat perjuangan selama 9 bulan, masalah tersebut terselesaikan.

Baru saja menarik napas lega, pada Maret 2018, pria kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, 12 Juli 1962, itu harus menerima kenyataan getir. Untuk kali ketiga harus menghadapi penyakit yang sama.

”Yang ketiga ini cukup berat. Sebab, sempat lima hari nonstop saya harus jalani kemo,” kata Purnomo.

Ayah empat anak itu adalah andalan Indonesia di lintasan lari nomor 100 meter dan 200 meter pada era 1980-an. Dia pernah menjadi orang tercepat kedua di Asia ketika meraih perak 100 meter di Kejuaraan Atletik Asia 1985 di Jakarta. Di sektor 200 meter, medali yang sama berhasil dia sabet.

Saat itu Purnomo juga mencatatkan namanya sebagai pelari tercepat di Indonesia dengan catatan waktu 10,33 detik di nomor 100 meter. Rekor tersebut baru bisa dipecahkan Mardi Lestari di PON 1989 Jakarta dengan catatan waktu 10,20 detik.

Setahun sebelumnya, Purnomo juga berbicara di level dunia. Dia menjadi satu-satunya wakil Asia yang bertahan sampai semifinal di nomor 100 meter Olimpiade 1984. Catatan waktunya kala itu 10,51 detik.

”Kalau dulu saya rela jalan kaki, naik angkot, untuk jadi juara, sekarang juga sama. Sama-sama harus disiplin untuk bisa ’juara’ alias sembuh kembali,” imbuhnya.

Mengutip situs Alodokter, limfoma non-hodgkin adalah kanker yang berkembang di kelompok sistem limfatik alias getah bening. Yaitu, pembuluh dan kelenjar yang tersebar di seluruh tubuh yang berfungsi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh.

Di dalam pembuluh limfatik, mengalir cairan bening yang disebut cairan limfe. Cairan itu mengandung salah satu jenis sel darah putih yang disebut limfosit yang berfungsi melawan infeksi. Kelainan limfosit itu merupakan awal mula terjadinya limfoma (kanker kelenjar getah bening).

Limfoma dibedakan menjadi dua, yaitu limfoma hodgkin dan limfoma non-hodgkin, berdasar bentuk kelainan sel kanker yang dilihat di bawah mikroskop.

Seperti umumnya mereka yang menjalani kemoterapi, Purnomo mengaku efek yang paling dia rasakan adalah nyeri. Pada 23-29 April lalu, dia sempat tirah baring (bed rest) di rumah sakit.

Pada masa tirah baring itulah dia juga menjalani kemoterapi selama lima hari nonstop. Kini dia harus kontrol setiap akhir pekan. Saat ditemui Jawa Pos, dia juga tengah bersiap kembali menjalani kemoterapi.

Tapi, dengan segala perjuangan melawan kanker itu, semangatnya tetap menyala. Dalam wawancara selama sekitar sejam dengan Jawa Pos, senyum nyaris tak pernah lepas dari wajah Purnomo.

Intonasi pria yang pernah bekerja di salah satu apparel itu bahkan terdengar mengge­bu begitu berbicara tentang masa depan atlet. Maklum, sam­pai kini dia masih aktif di Indonesia Olympian Association (IOA).

Purnomo termasuk peng­ga­gas organisasi nonprofit yang berisi mantan peserta Olimpiade dari Indonesia yang ber­konsentrasi untuk kemajuan olahraga dan kesejahteraan atlet itu.

Menurut Purnomo, meski kini pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga menggaransi bonus besar bagi peraih medali di berbagai ajang multievent, termasuk Olimpiade, itu belum cukup. ”Kalau ganti pemerintahan, bisa saja kebijakan berganti,” ujarnya.

Untuk itu, dibutuhkan payung hukum. Salah satunya melalui perubahan Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) yang tengah digodok Komisi X DPR.

Purnomo bersyukur IOA saat ini dipimpin Yayuk Basuki, mantan petenis na­sional yang juga anggota Komisi X DPR. Gayung ber­sambut. Apa yang disuara­kan Purnomo dan para olimpian lainnya itu juga didukung penuh oleh Yayuk.(*/c5/ttg)