25 radar bogor

Upaya Menyelamatkan Nasib Anak-Anak Para Terduga Teroris

ISTIMEWA SEBATANG KARA: Ais, putri Tri Murtiono, pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya, dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya.

Agar tak terinfiltrasi radikalisme, menurut KPAI, selain kondisi psikologis, harus diperhatikan betul siapa yang akan mengasuh anak-anak itu kelak. Selama ini mereka tak pernah disekolahkan secara formal.

WAHYU Z. BUSTOMI-BAYU PUTRA-SALMAN M

SATU per satu teman-teman les HA itu kembali ke rumah sang guru, Siti Muniroh. Rata-rata dengan ekspresi ketakutan. Sebab, mereka mengaku mendengar bom. ”Lho, di mana ada bom itu,” tanya Iro –sapaan Siti Muniroh– kepada para murid.

Bom yang dimaksud para murid Iro itu disita dari rumah kontrakan Dedy Sulistiantono yang kemudian di-disposal Densus 88. Sebelumnya, Dedy tewas ditembak karena, menurut polisi, melawan saat akan ditangkap pada Selasa malam lalu itu (15/5).

HA, anak bungsu Dedy, sama sekali tak tahu bahwa kehebohan tersebut berlangsung di rumahnya di kawasan Jalan Sikatan IV, Manukan Kulon, Surabaya. Karena itu, ketika pertanyaan sang guru tentang bom yang didengar para murid tadi belum terjawab, HA berucap, seperti ditirukan Iro.

”Lho, lek aku sing ketemu gawe bom, pasti tak injek-injek (kalau aku ketemu yang buat bom, pasti sudah tak injak-injak, red).”

Sampai kemudian, datanglah sang kakak, DNS. Begitu melihat kakak sulungnya itu menangis, pecahlah juga tangis HA. Berdua mereka berpelukan, sembari ditenangkan Iro.

Barulah Iro tahu apa yang terjadi di rumah kakak-adik itu. Saat penangkapan yang akhirnya menewaskan sang ayah, DNS tengah berada di lantai 2. Bersama adiknya yang lain, AISP. Sedangkan sang ibu diamankan Densus 88.

Rentetan bom dan penang­­kapan terduga teroris di Surabaya dan Sidoarjo pada Minggu (13/5) sampai Selasa (15/5) tak hanya menimbulkan korban jiwa. Tapi, juga meninggalkan anak-anak para pelaku pengeboman dan terduga teroris.

Saat ini ada tujuh anak yang traumanya sedang dipulihkan psikolog Polda Jatim. Selain DNS (14), AISP (10), dan HA (6), yang merupakan anak-anak Dedy alias Teguh, ada pula Ais (8), putri pelaku teror bom Mapolrestabes Surabaya Tri Murtiono. Juga, AR (15), FP (11), dan GHA (10) anak-anak Anton Ferdiantono, terduga teroris yang tewas di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah mene­gaskan bahwa mereka adalah korban. Termasuk Ais yang dilibatkan secara langsung dalam penyerangan di Mapolrestabes Surabaya pada Senin (14/5).

Menurut Ketua KPAI Susanto, sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak, anak-anak tersebut perlu mendapat atensi khusus. Selain kondisi psikologis, yang harus menjadi perhatian adalah orang-orang di sekitar mereka.

Yakni, keluarga yang akan mengasuh anak-anak tersebut setelah orang tua mereka tewas. ’’Jangan sampai teralihkan ke orang yang terinfiltrasi radikalisme,’’ ujar Susanto.

Trauma dan mungkin juga stigma bisa jadi masih menghantui ketiga anak Dedy.

Dedy merupakan adik kandung Anton. Menurut polisi, mereka merupakan bagian dari jaringan Jamaah Ansharut Daulah. Di Surabaya, ketuanya adalah Dita Oepriarto yang mengajak istri dan keempat anaknya mengebom tiga gereja pada Minggu lalu.

Pada kejadian Selasa malam lalu itu, DNS mengaku bapaknya memang menyuruh dirinya dan si adik, AISP, agar tetap di lantai 2. Ketika petugas menghampiri mereka, DNS pun menanyakan keberadaan sang adik, HA.

Karena adiknya diketahui sedang les, diantarlah DNS oleh salah seorang petugas ke rumah Iro. Sedangkan AISP tetap di rumah.

Sebelum dibawa ke RS Bhayangkara, mereka lebih dulu ke Sat Brimob Polda Jatim. Kemudian, mereka diajak berangkat lagi. Kali ini menuju Polda Jatim.

Karena DNS berkeberatan, petugas pun merayu mereka. ’’Ayo katanya mau cari ibu, kalian kan belum ketemu ibu,’’ kata sang petugas.

Di polda, mereka bertemu dengan sang paman, Adhi Hartono yang biasa dipanggil Dodik. Dodik juga tinggal di Rusunawa Wonocolo, di lantai yang sama dengan si kakak, Anton. Hanya beda kamar.

Menurut Iro, sehari-hari DNS, AISP, dan HA tidak bersekolah. Sama dengan anak-anak Anton yang tinggal di Rusunawa Wonocolo.

’’Saya juga pernah tanya ke ibu mereka kenapa tidak disekolahkan. Jawabannya karena biaya,’’ terang Iro.(*/ano/ttg)