Ramadan adalah momentum yang tepat untuk mengasah sejauh mana kesalehan kita sebagai pribadi mukmin yang bertakwa. Tidak hanya beramal baik untuk dirinya sendiri (kesalehan individual), melainkan juga untuk memberikan manfaat bagi orang lain (kesalehan sosial).
Sebuah hadis hasan yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Di antara amalan dan kebaikan seorang mukmin yang terus mengalir setelah meninggal dunia adalah mengajarkan ilmu, meninggalkan anak yang saleh, mewariskan mushaf Alquran, membangun masjid, membuatkan rumah untuk ibnu sabil, membuat irigasi, atau mengeluarkan sedekah dari hartanya ketika masih sehat. Pahala dari semua itu akan mengikuti pelakunya setelah ia meninggal dunia.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Di era sekarang ini, ketika materialisme dan hedonisme serta individualisme menggerogoti pribadi umat Islam, masih ada di antaranya yang peduli dan empati terhadap sesama. Di samping belanja untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya, ia juga memperhatikan nasib saudara dan sesamanya.
Selain berusaha untuk mencukupi dan memenuhi angan-angannya, ia juga beraksi untuk membantu mereka yang membutuhkannya. Tidak hanya saleh secara individual, ia juga saleh secara sosial.
Sikap merasakan apa yang dirasakan orang lain termasuk tuntunan Rasulullah Saw dalam sabdanya: “Perumpamaan kaum beriman dalam hal berkasih sayang bagaikan satu tubuh, ketika ada anggota tubuh yang sakit, anggota tubuh yang lain ikut merasakannya dengan tidak tidur dan demam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari al-Nu’man bin Basyir).
Dalam potret yang berbeda, ada orang yang bekerja keras untuk meraih ambisinya. Ia gunakan seluruh waktunya untuk mengejar impiannya. Ia berangkat pagi buta, pulang senja, bahkan ketika hari sudah gelap gulita demi memenuhi kepentingan pribadi dan keluarganya semata.
Ia hidup bertetangga dengan orang yang miskin papa, namun tidak terpanggil untuk meringankan bebannya. Ia salat berjamaah di masjid yang minim kelengkapannya, namun tidak turun tangan untuk melengkapinya.
Ia melihat madrasah yang nyaris runtuh atapnya, namun bergeming untuk menyumbangkan hartanya. Padahal ia telah berhaji dan berangkat umrah berkali-kali. Namun tidak ada nyali untuk berbagi.
Penggunaan lafadz wa ‘amilush shalihat (dan beramal saleh) yang digandengkan dengan lafadz alladzina amanu (orang-orang yang beriman) tersebar di dalam Alquran sebanyak 53 tempat di 52 ayat. Salah satunya dalam surah Al-Ashr ayat 3.
Hal ini menunjukkan bahwa keimanan seseorang tidak menjaminkan kebahagiaan di akhirat jika tidak diikuti dengan amal saleh. Keimanan akan bernilai hampa jika tidak teraktualisasi dalam perbuatan yang nyata.
Kesalehan berarti kebaikan. Jika seorang mukmin hanya sibuk mengurus dirinya tanpa memperhatikan orang-orang atau lingkungan di sekitarnya, maka perilakunya belum menunjukkan kebaikan. Karena kesalehan yang dituntut dalam Islam, tidak hanya bersifat individual, namun harus menyentuh pada level sosial.
Kemiskinan dan kelaparan yang terjadi di mana-mana, namun di sisi lain kalangan yang mapan dan berkecukupan semakin banyak jumlahnya, menunjukkan bahwa keimanan dan kesalehan masih berkutat pada tataran individual.
Per tahun, 350 juta manusia mengalami depresi (data WHO), namun di sisi lain sekian ratus juta orang berlomba untuk korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa keyakinan dalam beragama di kalangan masyarakat kita belum merasuk pada tataran sosial.
Sebuah kaidah fikih mengatakan, “al-Muta’addi khairun wa afdhal minal qashir.” Artinya bahwa amalan yang berdampak sosial lebih baik dan lebih utama nilainya dari amalan yang hanya bersifat individual. Mementingkan (itsar) kepentingan orang lain lebih utama dari mementingkan kepentingan sendiri.
Bukankah Rasulullah Saw lebih mengutamakan nasib para Sahabatnya (umat Islam) daripada diri beliau dan keluarganya? Bahkan menjelang wafat pun, beliau terus mengkhawatirkan bagaimana nasib umat Islam sepeninggalnya.
Inilah suri teladan kita. Ramadan sebagai bulan pendidikan sejatinya dapat mendidik kita untuk melakukan amal-amal sosial yang tidak kalah banyaknya dengan amal-amal individual. Wallahu a’lam.