25 radar bogor

Ramadan dan Kesalehan Sosial

 

Ramadan adalah momen­tum yang tepat untuk mengasah sejauh mana kesalehan kita sebagai pribadi mukmin yang bertakwa. Tidak hanya beramal baik untuk dirinya sendiri (ke­salehan individual), melainkan juga untuk memberikan man­faat bagi orang lain (kesalehan sosial).

Sebuah hadis hasan yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Di antara amalan dan kebaikan seorang mukmin yang terus mengalir setelah meninggal dunia adalah mengajarkan ilmu, meninggalkan anak yang saleh, mewariskan mushaf Alquran, membangun masjid, mem­buatkan rumah untuk ibnu sabil, membuat irigasi, atau menge­luarkan sedekah dari hartanya ketika masih se­hat. Pahala dari semua itu akan mengikuti pelakunya se­telah ia meninggal dunia.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)

Di era sekarang ini, ketika materialisme dan hedonisme serta individualisme mengge­rogoti pribadi umat Islam, masih ada di antaranya yang peduli dan empati terhadap sesama. Di samping belanja untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya, ia juga memperhatikan nasib saudara dan sesamanya.

Selain berusaha untuk mencukupi dan meme­nuhi angan-angannya, ia juga beraksi untuk membantu mereka yang membutuhkannya. Tidak hanya saleh secara indi­vidual, ia juga saleh secara so­sial.

Sikap merasakan apa yang dirasakan orang lain termasuk tuntunan Rasulullah Saw dalam sabdanya: “Perum­pamaan kaum beriman dalam hal berkasih sayang bagaikan satu tubuh, ketika ada anggota tubuh yang sakit, anggota tubuh yang lain ikut merasakannya dengan tidak tidur dan demam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari al-Nu’man bin Basyir).

Dalam potret yang berbeda, ada orang yang bekerja keras untuk meraih ambisinya. Ia gunakan seluruh waktunya untuk mengejar impiannya. Ia be­rangkat pagi buta, pulang senja, bahkan ketika hari sudah gelap gulita demi memenuhi kepen­tingan pribadi dan keluarganya semata.

Ia hidup bertetangga dengan orang yang miskin papa, namun tidak terpanggil untuk meringankan bebannya. Ia salat berjamaah di masjid yang minim keleng­kapannya, namun tidak turun tangan untuk meleng­kapinya.

Ia melihat madrasah yang nyaris runtuh atapnya, namun bergeming untuk me­nyum­bangkan hartanya. Padahal ia telah berhaji dan berangkat um­rah berkali-kali. Namun ti­dak ada nyali untuk berbagi.

Penggunaan lafadz wa ‘amilush shalihat (dan beramal saleh) yang digandengkan dengan lafadz alladzina amanu (orang-orang yang beriman) tersebar di dalam Alquran sebanyak 53 tempat di 52 ayat. Salah satunya dalam surah Al-Ashr ayat 3.

Hal ini menun­jukkan bahwa keimanan seseorang tidak menjaminkan kebahagiaan di akhirat jika tidak diikuti dengan amal saleh. Keimanan akan bernilai hampa jika tidak teraktualisasi dalam perbuatan yang nyata.

Kesalehan berarti kebaikan. Jika seorang mukmin hanya sibuk mengurus dirinya tanpa memperhatikan orang-orang atau lingkungan di sekitarnya, maka perilakunya belum menunjukkan kebaikan. Karena kesalehan yang dituntut dalam Islam, tidak hanya bersifat individual, namun harus menyentuh pada level sosial.

Kemiskinan dan kelaparan yang terjadi di mana-mana, namun di sisi lain kalangan yang mapan dan berkecukupan semakin banyak jumlahnya, menunjukkan bahwa keimanan dan kesalehan masih berkutat pada tataran individual.

Per ta­hun, 350 juta manusia meng­alami depresi (data WHO), namun di sisi lain sekian ratus juta orang berlomba untuk korupsi. Hal ini menunj­ukkan bahwa keyakinan dalam beragama di kalangan masya­rakat kita belum merasuk pada tataran sosial.

Sebuah kaidah fikih menga­takan, “al-Muta’addi khairun wa afdhal minal qashir.” Artinya bahwa amalan yang berdampak sosial lebih baik dan lebih utama nilainya dari amalan yang hanya bersifat individual. Memen­tingkan (itsar) kepen­tingan orang lain lebih utama dari memen­tingkan kepen­tingan sendiri.

Bukankah Rasu­lullah Saw lebih mengutamakan nasib para Sahabatnya (umat Islam) da­ripada diri beliau dan keluar­ganya? Bahkan menjelang wafat pun, beliau terus meng­kha­watirkan bagaimana nasib umat Islam sepeninggalnya.

Inilah suri teladan kita. Rama­dan se­bagai bulan pendidikan sejatinya dapat mendidik kita untuk melakukan amal-amal sosial yang tidak kalah banyak­nya dengan amal-amal indi­vidual. Wallahu a’lam.