25 radar bogor

Nasi Bungkus

 

Di suatu sore, pada saat aku pulang kantor dengan mengendarai sepeda motor, aku disuguhkan suatu drama kecil yang sangat menarik. Seorang anak kecil berumur lebih kurang sepuluh tahun dengan sangat sigapnya menyalip di sela-sela kepadatan kendaraan di sebuah lampu merah perempatan jalan di Jakarta.

Dengan membawa bungkusan yang cukup banyak diayun­kannya sepeda berwarna biru muda, sambil membagikan bungkusan tersebut, ia menyapa akrab setiap orang, dari tukang koran, penyapu jalan, tunawisma sampai pak polisi.

Pemandangan ini membuatku tertarik, pikiranku langsung melayang membayangkan apa yang diberikan si anak kecil tersebut dengan bungkusannya. Apakah dia berjualan? “Kalau dia berjualan, apa mungkin seorang tunawisma menjadi langganan tetapnya atau…?? Untuk membunuh rasa pena­­saranku, aku pun membuntuti si anak kecil tersebut sampai di seberang jalan. Setelah itu aku langsung menyapa anak ter­sebut untuk aku ajak ber­bincang-bincang.

”Dek, boleh kakak bertanya?” tanyaku.

“Silahkan kak,” jawab adik kecil.

“Kalau boleh tahu yang barusan Adik bagikan ke tukang koran, tukang sapu, peminta-minta bahkan pak polisi, itu apa?” tanyaku dengan heran.

“Oh… itu bungkusan nasi dan se­dikit lauk Kak… memang ke­napa, Kak?” dengan sedikit heran, sambil ia balik bertanya.

”Oh… tidak! Kakak cuma tertarik cara kamu membagikan bungkusan itu, kelihatan kamu sudah terbiasa dan cukup akrab dengan mereka. Apa kamu sudah lama kenal dengan mereka?”

Lalu, adik kecil ini mulai bercerita, “Dulu… aku dan ibuku sama seperti mereka hanya seorang tunawisma. Setiap hari bekerja hanya mengharapkan belas kasihan banyak orang, dan seperti kakak ketahui hidup di Jakarta begitu sulit. Sampai kami sering tidak makan, waktu siang hari kami kepanasan dan waktu malam hari kami kedinginan ditambah lagi pada musim hujan kami sering kehujanan.”

“Apabila kami mengingat waktu dulu… kami sangat-sangat sedih, namun setelah ibuku membuka warung nasi, kehidupan keluarga kami mulai membaik. Maka dari itu, ibu selalu mengingatkanku, bahwa masih banyak orang yang susah seperti kita dulu. Jadi, kalau saat ini kita diberi rezeki yang cukup, kenapa kita tidak dapat berbagi kepada mereka.”

”Yang ibuku selalu katakan ‘hidup harus berarti buat banyak orang’, karena pada saat kita kembali kepada Sang Pencipta tidak ada yang kita bawa, hanya satu yang kita bawa yaitu kasih kepada sesama serta amal dan perbuatan baik kita. Kalau hari ini kita bisa mengamalkan sesuatu yang baik buat banyak orang, kenapa kita harus tunda.”

”Karena menurut ibuku, umur manusia terlalu singkat, hari ini kita memiliki segalanya, namun satu jam kemudian atau besok kita dipanggil Sang Pencipta, apa yang kita bawa?”

Kata-kata adik kecil ini sangat menusuk hatiku, saat itu juga aku merasa menjadi orang yang tidak berguna, bahkan aku merasa tidak lebih dari seonggok sampah yang tidak ada gunanya, dibandingkan adik kecil ini.

Aku yang selama ini merasa menjadi orang hebat dengan pendidikan dan jabatan tinggi, namun untuk hal seperti ini, aku merasa lebih bodoh dari anak kecil ini, aku malu dan sangat malu. Ya.. Tuhan, ampuni aku, ternyata kekayaan, kehebatan dan jabatan tidak mengantarku kepada-Mu.

Hanya kasih yang sempurna serta iman dan pengharapan kepada-Mu lah yang dapat mengiringiku masuk ke surga. Terima kasih adik kecil, kamu adalah malaikatku yang menyadarkan aku dari tidur nyenyakku.

(Oleh: Laila Nurul Muna)

jiwasedekah.blogspot.co.id