25 radar bogor

Kisah Yesaya, Satpam yang Gagalkan Pengebom Masuk GKI Diponegoro

 

Ledakan pertama di GKI Diponegoro menyalak saat Yesaya Bayang memegangi si pengebom agar tak masuk ke gereja. Dikenal disiplin, baik saat bertugas maupun ketika di rumah.

EDI SUSILO-NURUL QOMARIYAH-JOS RIZAL,

PERTANYAAN Yesaya Bayang itu tak berjawab. ”Ibu mau ke mana?” ulang satpam Gereja Kristen Indonesia (GKI) Diponegoro tersebut.

Bukannya menjawab, tiga orang itu, seorang dewasa dan dua anak-anak, malah kian mempercepat langkah menuju pintu gereja di Jalan Diponegoro, Surabaya, tersebut. Bahkan sudah setengah berlari.

Melihat gelagat mencurigakan itu, dengan segera Yesaya yang bertugas bersama Antonius mengejar ketiganya. Namun, tetap saja tiga orang yang berpakaian serba gelap, longgar, dan hanya memperlihatkan kedua mata tersebut tak mau berhenti.

Yesaya pun spontan langsung memegang si dewasa. Yang dipegang berontak. Karena mendapatkan perlawanan, Yesaya pun memegang lebih erat. Saat itulah ledakan keras langsung terdengar.

”Daarrr…!”

***
Tak ada yang dirasakan tak lazim oleh Yeni Widiastuti pada Minggu pagi kemarin itu. Semua berjalan seperti biasa. Saat suaminya, Yesaya, hendak pergi ke GKI, tempat dia bekerja 12 tahun terakhir, Yeni pun mencium tangan dan men­doakannya. Seperti yang sudah bertahun-tahun dia lakukan.

Pasangan tersebut telah dikaruniai dua anak: Gerrard Cillion (12), dan Pavel Cillion (13). ”Papanya anak-anak itu disiplin dan suka berolahraga. Dia sering olahraga bareng anak-anak,” kata Yeni tentang suaminya yang berusia 40 tahun dan berasal dari Alor, Nusa Tenggara Timur, itu.

Sekitar dua jam setelah sang suami berangkat, barulah Yeni mendapat kabar yang merobek hati tersebut. ”Sekitar jam 08.00 dikabarin kalau suami saya kena bom dan dilarikan ke rumah sakit,” katanya.
***

Sekitar semenit setelah ledakan pertama, terdengarlah ledakan kedua. Jemaat di dalam gereja pun panik. Langsung semburat keluar. Mencoba mencari tahu apa yang terjadi. ”Saya kira tadi ban mobil meletus,” kata Octavianus Rewah, salah seorang jemaat.

Saat itu Rewah melihat ada beberapa orang yang tergeletak. Di antaranya seorang berpakaian serba hitam dengan posisi tengkurap. Rewah sebenarnya ingin menolong orang yang hanya terlihat kakinya tersebut.

Namun, tindakan menolong itu dia urungkan. Sebab, dia takut melihat banyak asap yang keluar di sekitar orang yang tergeletak. Teriakan jemaat gereja lain agar tetap berada di dalam ruang gereja juga membuatnya ragu menolong.

Persis saat hendak masuk gereja, ledakan ketiga terdengar. Rewah mengaku melihat sumber ledakan itu dari orang yang tergeletak tersebut. Ledakan membuat tubuh orang yang memakai baju hitam dan sepatu hitam itu terpelanting ke atas. ”Sampai 4 meter,” ungkapnya.
Suasana area parkir tempat ledakan itu terjadi sudah berserak tidak keruan. Asap putih membubung tinggi. Beberapa orang terlihat bersimbah darah. Tergeletak di lantai. Salah satunya Yesaya. ”Tolong saya, tolong saya. Tolong saya, Tuhan Yesus,” teriak Yesaya yang terdengar Anton, sapaan Antonius.

Namun, Anton tidak berani mendekat untuk menolong Yesaya. Sejak ledakan pertama terdengar, lelaki 38 tahun itu telah menjauh dari lokasi. Setelah ledakan ketiga terdengar, dia baru kembali ke lokasi. Dilihatnya rekan kerjanya tersebut bersimbah darah di telinga, tangan, dan kaki

“Kalau tidak ada Bang Yesaya, mungkin saya bakal jadi korban,” kata Anton. Anton tak membayangkan seandainya Yesaya gagal mencegah ketiganya masuk ke gereja. ”Mungkin bakal banyak jatuh korban jika bom meledak di dalam,” terangnya.(*/c9/ttg)