25 radar bogor

Wawancara Eksklusif Iwan Sarjana, Polisi yang Selamat dari Penyandraan Teroris

MULAI PULIH: Bripka Iwan Sarjana saat menjalani perawatan pasca menjadi korban kesadisan teroris di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok.

Tahanan dan narapidana teroris memperlakukan anggota Polri dengan keji. Bripka Iwan Sarjana, anggota Densus 88 yang selamat dari penyanderaanselama 40 jam pada Selasa–Kamis lalu, mengisahkan bagaimana dirinya disiksa di dalam rutan Mako Brimob.

Berikut wawancara eksklusif wartawan Jawa Pos ILHAM DWI RIDLO WANCOKO dengan Iwan.

Apa kabarnya Mas Iwan?
(Iwan tidak langsung menjawab. Dia menghela napas beberapa detik sebelum merespons) Baik Mas. Saya sudah mulai sembuh.

Semoga cepat sembuh ya?
Amin, makasih Mas.

Saat ini masyarakat ingin mengetahui bagaimana awal mula kejadian penyanderaan itu?
Saat itu saya sedang di ruang pemeriksaan. Mendengar ada ribut-ribut di luar ruangan. Tapi, saya pikir itu hal yang biasa saja. Sebab, memang Rutan Mako Brimob ini berbeda dengan rutan atau penjara lainnya.

Bedanya apa?
Bila di rutan atau penjara biasa, tahanan dan napi itu segan terhadap polisi. Tapi, kalau di Rutan Mako Brimob ini, tahanan dan napinya kasus terorisme. Mereka marah, tidak suka, melawan kalau dengan polisi. Makanya, setiap ada anggota lewat sel, mereka teriak-teriak. Biasanya mereka meneriakkan kata thogut (orang yang melebihi batas, red), klaim sepihak kelompok teror.
Nah, teriakan-teriakan semacam itu biasa didengar setiap hari. Saya mengiranya yang biasanya ini. Tapi, ternyata berbeda dari biasanya. Saat saya keluar ruang pemeriksaan di lantai atas dan turun melalui tangga, ternyata banyak tahanan dan napi yang mengepung.

Saat dikepung itu bagaimana kondisinya?
Mereka mencoba melukai dan melumpuhkan saya dengan berbagai barang yang keras. Batu, meja, kursi, dan sebagainya. Belasan hingga puluhan orang. Tapi saya berusaha menyelamatkan diri. Saya masuk ke ruangan penyidik atau ruang staf. Di sana sudah ada beberapa rekan saya, seperti almarhum Pak Yudi Rospuji, Almarhum Fandy Setyo Nugroho, dan dua rekan lainnya seingat saya.

Kami berupaya untuk menghalau tahanan dan napi masuk ke ruang penyidik. Gagang pintu saat itu sudah jebol. Kami berupaya untuk menahan mereka masuk dengan menggeser kursi dan meja besi di depan pintu.

Kondisi sudah crowded atau penuh sesak. Napi mengepung dari segala penjuru. Jendela kaca juga dipecah dengan kursi besi. Tapi, kami semua satu tim masih terus bertahan selama mungkin.

Apakah saat itu membawa senjata dan menembak?
Saya dan anggota membawa senjata. Kami belum memiliki niat untuk menembakkannya karena kami merasa mampu untuk bisa menghalaunya dengan berbagai barang dan dengan tangan. Mereka saat itu hanya membawa barang keras, kursi, batu dan sebagainya.

Saya sendiri merasa harus menjaga hak asasi manusia (HAM). Setiap peluru yang saya muntahkan itu dipertanggungjawabkan. Kalau salah bisa dihukum. Saya dan rekan-rekan tidak ingin melanggar HAM.

Bahkan, senjata kami sembunyikan dari tahanan dan narapidana. Tentunya, agar tidak direbut. Namun, ternyata kondisi semakin parah, saya dan rekan-rekan diseret banyak orang, tahanan dan napi. Saya sudah tidak bergerak melawan. Saya diseret sekitar ratusan meter dari ruang penyidikan ke Rutan Blok A.

Berapa orang yang menyeret?
Lebih dari sepuluh orang. Kalau dengan yang memukul dan menendang saya bisa puluhan orang. Saat diseret itu saya baru melihat mereka membawa pisau, entah dari mana. Gembok dan rantai.

Apa hal terkeji yang dilakukan teroris itu?
Tidak hanya dipukul, ditendang. Rantai itu dipukulkan ke saya. Bahkan, setelah sampai di sel Blok A, mata ditutup kain dan tangan diikat. Saya disuruh menghadap tembok.

Selanjutnya, byur, air mendidih disiramkan ke punggung. Saya berteriak, tapi tetap mencoba bertahan. Sakit bukan kepalang, tapi saya yakin ini akan berlalu.

Dari mana air mendidih itu?
Saya tidak mengetahuinya, saya jarang sekali masuk ke sel tahanan dan napi. Mungkin mereka habis masak atau bagaimana.

Apakah benar tahanan protes soal makanan?
Makanan di rutan itu dari pemerintah sangat baik. Lalu, dengan alasan kemanusiaan, kami memperbolehkan napi mendapatkan makanan dari keluarga yang membesuk karena kemanusiaan. Tapi, bukan berarti tidak diseleksi. Sebab, alasan keamanan, jangan sampai memasukkan sesuatu yang berbahaya.

Akhirnya, setiap makanan yang dibawa pembesuk diperiksa. Hal itu biasa dalam proses pengamanan. Kami tetap ingin manusiawi kepada tahanan dan napi, tapi kami juga harus mempertimbangkan keamanan.

Apakah peristiwa ini membuat trauma?
Saya trauma, tapi saya sebagai anggota Polri harus tabah dan kuat.(idr/ang)