25 radar bogor

Polisi yang Gugur di Mako Brimob Disebut ‘Monyet Berseragam Bencong’, Ini Balasan Kombes Sabilul Alif

Petugas polisi tengah berjaga di Mako Brimob pasca kerusuhan.

RADAR BOGOR-Postingan Ustaz Maaher at-Thuwalibi yang menyebut anggota kepolisian yang gugur pada kerusuhan di Mako Brimob Kelapa Dua Depok, ‘monyet berseragam bencong’ langsung dibalas Kapolresta Tangerang, Kombes Pol M. Sabilul Alif,.

Lewat akun Fanpage Facebook Kombes Pol M. Sabilul Alif, SH, SIk, MSi, ia menyebut pernyataan Ustadz Maaher terkait kerusuhan di Mako Brimob, sangat menyakitkan.

Menurut Sabilul Alif, meski Ustad Maheer menggunakan metafora untuk menggambarkan napi teroris dan polisi dalam kerusuhan Mako Bimob, namun arah tulisannya sangat mudah ditebak.

Ustad Ini Sebut Anggota Polri yang Gugur pada Kerusuhan Mako Brimob ‘Monyet Berseragam Bencong’

Terlebih, kata dia, Ustad Maheer juga pernah menyebut pernah memetaforkan polisi dengan sebutan “monyet berseragam cokelat”.

“Maka, saat ia menyebut “gerombolan monyet”, kiranya tak sulit menebak bahwa yang ia maksud adalah aparat kepolisian,” tegas Sabilul Alif, Jumat (11/5/2018).

Berikut postingan lengkap Kombes Pol M. Sabilul Alif, SH, SIk, MSi:

Di tengah suasana duka atas gugurnya 5 anggota Polri pada insiden di Rutan Mako Brimob, ada seorang yang bergelar ustad membikin statment, yang bagi kami lumayan menyakitkan.

Melalui akun facebook Ustad Maheer at-Thuwalibi, ia menuliskan bahwa kejadian di Rutan Mako Brimob ialah kejadian yang menggembirakan. Gugurnya bhayangkara seakan seperti itu indah seindah pagi hari ketika Idul Fitri.

Dalam tulisannya, sang ustad memang tidak sedikit mempergunakan ungkapan metafor. Ia mecatat “gerombolan monyet berseragam bencong”, “pahlawan dari bumi lancang kuning gugur dijemput makhluk surgawi menuju alam keabadian abadi”.

Akan tetapi, ragam gaya bahasa yang dipakai kiranya amat lumayan bagi publik guna menerka kemana penjuru tulisan sang ustad. Ia membikin dikotomi bengis, yaitu “pasukan berjubahkan pahlawan” dan “gerombolan monyet berseragam bencong”.

Banyak waktu lalu, sang ustad pun pernah memetaforkan polisi dengan sebutan “monyet berseragam cokelat”. Maka, ketika ia menyebut “gerombolan monyet”, kiranya tidak sulit menebak bahwa yang ia maksud ialah aparat kepolisian.

Tulisan itu papar ialah bentuk glorifikasi atau pengagungan atas tindakan terorisme. Sikap sebagaimana itulah yang makin merekahkan paham radikal dan gerakan teror di Indonesia.

Dengan congkak ia mengilustrasikan meninggalnya teroris dengan predikat “pahlawan dari bumi lancang kuning gugur dijemput makhluk surgawi menuju alam keabadian abadi”. Sedangkan, bagi anggota Polri yang gugur ia menyebut “monyet berseragam bencong dikabarkan meninggal dunia mengenaskan”.

Meninggalnya anggota Polri ia sambut dengan ucapan tahmid. Ia mengucap “alhamdulillah” atas gugurnya anggota Polri dalam tugas. Aku menanyakan, di mana sisi insaniyah sang ustad? Kalau juga tidak suka dengan polisi, apakah pantas menyebutnya dengan “monyet”? Bukankah seorang ustad harusnya berdakwah dengan full hikmah, tutur kata yang santun?

Dan, apakah pantas mengucap “alhamdulillah” guna kematian orang lain? Andai misalnya, rumah tetangga aku kebakaran dan rumah aku tak, pantaskah aku mengucap “alhamdulillah”? Apalagi, mengucap “alhamdulillah” guna merayakan wafatnya sesama insan yang bekerja guna negara, menafkahsi anak dan istrinya?

Bukankah ucapan tahmid itu lebih terhadap merendahkan harkat dan martabat insan sekaligus keagungan Yang Maha Kuasa daripada pujian kepada-Nya?

Betapa bahagianya sang ustad atas kejadian itu. Ia luput memikirkan perasaan keluarga korban, anak korban, istri korban, bahkan bagian anggota yang gugur, anaknya lahir sehari seusai ia wafat. Bagaimana Islam dapat seperti itu bengis dan antagonis di pikiran sang ustad itu?

Sang ustad juga melabelkan predikat munafik terhadap siapa juga yang tidak gembira atas insiden itu. Di tangan dan mulut ustad sebagaimana ini, lihatlah Islam yang rahmatan lil ‘alamin sebagai dipersepsikan angkuh, congkak, jemawa, dan tidak berperikemanusiaan. Bagaimana bisa jadi kita wajib bergembira atas kematian saudara kita?

Ia menyebut, meninggalnya anggota bakal mengurangi hitungan total anggota yang, kata si ustad, eksistensi Polri cuma menyebarkan marabahaya bagi kehidupan insan dan peradaban Duniya.

untuk aku, dan bagi yang berpikiran waras, yang wajib berkurang ialah populasi pemikiran dan sikap sebagaimana yang sang ustad pertontonkan. Maka, aku juga heran ketika sang ustad malah kabarnya bakal diberi panggung oleh bagian stasiun televisi swasta pada Ramadan nanti.

Bayangkan, di layar kaca ia memperoleh kesempatan mengakses guna menyebarkan pahamnya yang tidak cukup ajar itu menuju seluruh penjuru negeri. Tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan, dan siapa saja dapat terkontaminasi pemikiran kotornya.

Kalau ia meyakini bahwa gerakan teror ialah gerakan jihad, kenapa tak ia yang paling pertama menjemput kematian? Bila ia mengamalkan bahwa menghabisi jaminannya surga, kenapa tidak ia yang berangkat terlebih dahulu kesana?

Malah, ia malah meracuni orang-orang yang punya niat tulus belajar agama. Ia korban jiwa-jiwa yang sedang mencari Tuhan untuk ambisi menghabisi sesama insan.

Padahal, seorang yang berilmu yang fanatik kepada suatu mazhab (pemahaman/ajaran) maka kondisi orang berilmu itu jauh lebih buruk daripada orang bodoh. Sebab, ketika ia secara aktif fanatik pada pemahamannya, ia sejatinya tak sedang fanatik kepada Islam melainkan fanatik kepada pemahamannya.

Maka, menolak pemikiran sang ustad tidak artinya menolak ajaran Islam. Memerangi gerakan radikal dan teroris tidak sedang memerangi Islam. Dan mengutuk aksi teror tak sedang mengutuk Islam.

Karena, pemikiran radikal tidak pemikiran Islam. Paham radikal dan gerakan teror sama sekali tak merepresentasikan Islam. Oleh sebab itu, kami menginginkan supaya pihak stasiun Tv meninjau ulang kebijakkannya memberi slot terhadap sang ustad.

Masih tidak sedikit pendakwah yang dakwahnya sejuk yang bisa mendamaikan sekaligus mempersatukan Indonesia. Salam.

Kombes Pol M. Sabilul Alif, SH, SIk, MSi. (one/ysp)