25 radar bogor

Mengunjungi Kawasan Muslim di Bo-Kaap, Cape Town, Afrika Selatan

NYAMAN: Tana Baru, kompleks pemakaman muslim di Cape Town, Afrika Selatan.

Tuan Guru. Karamats. Tana Baru. Deretan kata dalam bahasa Indonesia itu saya temukan ketika mengunjungi Bo-Kaap, salah satu daerah di Cape Town yang mayoritas penduduknya muslim.

Any Rufaidah, Cape Town

Ketika menginjakkan kaki di Cape Town, Afrika Selatan, dua pekan lalu, saya memang ingin mengunjungi Bo-Kaap. Sebab, daerah dengan kontur tanah naik turun itu terkenal dengan rumah-rumah berwarna cerah. Merah, kuning, biru, hijau, dan warna menyala lainnya membuat permukiman itu terlihat menonjol di tengah kota. Mirip konsepnya dengan perkampungan warna-warni di beberapa kota di Indonesia.

Menurut panduan tur yang saya ikuti, warna-warna tersebut menunjukkan simbol kebebasan. Ratusan tahun lalu, mereka yang tinggal di sana adalah budak. Dan sebagai budak, mereka tak berhak mengenakan baju warna-warni. Kini, setelah tak ada lagi perbudakan, mereka merayakannya melalui cat rumah yang berwarna mencolok mata.

”Bisa juga begitu. Tapi, pada dasarnya kami memang suka warna-warni. Bikin happy,” ujar Kaashief, driver Uber, lantas tersenyum ketika saya konfirmasi mengenai cerita di balik warna-warni bangunan rumah di Bo-Kaap.

Bapak dua anak itu warga asli Bo-Kaap. Saya bertemu dengan dia tanpa sengaja. Driver taksi online tersebut kebetulan mengambil order saya menuju Museum Bo-Kaap. Di museum itu ada cerita tentang perkembangan umat muslim di Afrika Selatan yang berasal dari warga Melayu.

Mereka sudah mendiami kawasan tersebut ratusan tahun lamanya. Lokasinya sangat strategis. Berada di pusat Kota Cape Town dan dekat dengan wilayah yang kerap dikunjungi turis, V&A Waterfront.

Di dalam museum, selain perkakas dapur, ada Alquran, sajadah, dan tasbih yang dipajang. Bangunan yang dimanfaatkan sebagai museum pun sudah berusia ratusan tahun.

”Ini bangunan asli dari lama,” kata Ponto, penjaga Museum Bo-Kaap. ”Mereka dulu rata-rata perajin. Ada yang bikin baju. Ada yang bikin sepatu,” lanjutnya.

Kini kawasan tersebut masih didominasi muslim Melayu. Namun, ada juga penduduk nonmuslim yang kini tinggal di kawasan itu. Tidak banyak hal menarik yang bisa saya dapatkan dari museum tersebut. Saya pun memutuskan untuk beranjak.

Mengetahui saya muslim dan berasal dari Indonesia, Kaashief mengajak berkeliling Bo-Kaap. ”Kamu mungkin familier dengan ini,” katanya sembari melajukan mobilnya.

Sekitar lima menit kemudian, sampailah kami di sebuah kompleks pemakaman yang cukup terawat. Namanya Tana Baru. Sebagian ulama yang menyebarkan agama Islam di Afrika Selatan memang berasal dari Malaysia dan Indonesia yang dulu sama-sama dijajah Belanda. Karena itu, tidak heran jika ada beberapa kosakata Afrika Selatan yang hampir sama dengan bahasa Indonesia.

Di dalam kompleks tersebut ada beberapa makam ulama. Salah satunya yang dipanggil Tuan Guru. Sosok bernama asli Imam Abdullah Kadi Abdus Salaam itu adalah pangeran dari Tidore, Indonesia, yang ditangkap Belanda dan dibuang ke Afrika Selatan pada April 1780. Bentuk makamnya sederhana dengan nisan kecil yang ditutupi kain putih. Ada papan bertulisan karamats. Artinya hampir sama dengan kata keramat dalam bahasa Indonesia.

”Apakah warga setempat sering mengunjungi tempat ini?” tanya saya. Tentu saja saya merujuk pada kebiasaan ziarah ke makam ulama seperti yang kerap saya temukan di Indonesia.

”Kenapa harus dikunjungi? Saya yang rumahnya dekat saja tidak pernah ke sini. Warga lain juga rasanya tidak ada yang ke sini,” tanya Kaashief balik dengan nada heran.

Tuan Guru itu pula yang menginisiatori berdirinya madrasah atau sekolah Islam di Cape Town. Beliau pula yang memperjuangkan berdirinya Masjid Al Auwal, masjid pertama di Bo-Kaap, Cape Town, pada 1794.

Kaashief lantas mengajak saya mengunjungi masjid tersebut. Tidak ada halaman luas atau kubah cantik layaknya masjid yang sering saya temukan di Indonesia. Bangunan Masjid Al Auwal sangat sederhana.

”Ada sembilan masjid di sini. Kamu mau lihat semuanya?” tanya Kaashief yang langsung saya sambut dengan anggukan.

Perjalanan keliling masjid pun kami mulai. Hanya beberapa menit dari Masjid Auwal, kami bertemu dengan Masjid Jamia. Masjid tersebut juga tergolong tua karena berdiri sejak 1850. Masjid Jamia memiliki teras dan kubah. Cantik. Saat saya sampai di sana, kebetulan banyak jamaah yang baru keluar dari masjid sesudah menunaikan salat Duhur. Rata-rata mengenakan celana kain dan baju tunik panjang hingga menyentuh lutut.

Lalu, berturut-turut kami mengunjungi Masjid Burhanul Islam, Masjid Syafei, Masjid Nurul Huda, dan Masjid Nurul Mugammadiah. Tidak salah ketik. Memang demikian ejaannya. Tapi dilafalkan seperti membaca Muhammadiyah.

”Mungkin pengaruh ejaan Belanda. Saya juga tidak tahu pasti,” ujar Kaashief.

Selama perjalanan, beberapa kali pria penggemar seafood itu menghentikan mobilnya dan menyapa orang-orang yang melintas. Kalau melihat wajah dan penampilan mereka, rasanya saya sedang berada di Malaysia. Tapi, kemudian mereka bercakap-cakap dengan bahasa Afrika Selatan. ”Kalau orang tua seperti kami masih pakai bahasa asli. Kalau remaja sukanya pakai bahasa Inggris,” terangnya.

Hanya enam di antara sembilan masjid di Bo-Kaap yang dapat kami kunjungi karena keterbatasan waktu. Saya harus mengunjungi Museum District Six sebelum hari beranjak gelap. Beberapa kenalan menyarankan agar saya tidak berkeliaran di Cape Town saat malam. Untuk warga asli, Cape Town memang aman karena mereka tahu tujuan.

Tapi, untuk wisatawan, jika berjalan dan tersesat lantas bertanya kepada warga, tidak ada masalah jika yang ditanyai adalah orang baik-baik. Namun, runyam jadinya jika yang ditemui adalah orang yang berniat jahat.

”Jangan pernah berjalan dengan melihat HP kalau malam hari. Bisa mengundang petaka,” pesan Milley, pengurus hotel backpacker tempat saya menginap di Cape Town.

Saat mengantarkan saya ke Museum District Six, Kaashief lantas bercerita, dulu kakeknya memiliki rumah di sebelah Museum Bo-Kaap yang berada di jalan raya utama. Tapi, ketika politik apartheid terjadi, dia dipaksa pindah ke perbukitan.

Masih di Bo-Kaap, tapi agak jauh dari jalan utama. Sebab, rumah-rumah di jalan utama tersebut akan digunakan warga kulit putih. Warga dipaksa menjual rumahnya.

Afrika Selatan memang tidak bisa dipisahkan dari politik apartheid, ketika kelompok kulit putih datang dan meminggirkan warga kulit hitam serta Melayu yang ada di negara itu. Hal tersebut berlangsung puluhan tahun. Politik itulah yang memunculkan nama Nelson Mandela, tokoh kulit hitam yang memperjuangkan penghapusan diskriminasi terhadap kaumnya serta kelompok kulit berwarna lainnya.

Di Museum District Six sebagian bukti kekejaman apartheid bisa ditemukan. District Six adalah kawasan yang direnggut paksa oleh pemerintah Afrika Selatan dari warga pribumi. Mereka dipaksa pindah, secara baik-baik maupun kekerasan. Puluhan ribu warga kehilangan rumahnya. Sebagian besar bahkan tak sempat membawa perlengkapan apa pun.

Kini apartheid tidak ada lagi. Pemisahan antara kulit putih dan kulit hitam serta kulit berwarna lainnya tidak senyata sebelum-sebelumnya. Tapi tetap terasa. Gap antara kelompok yang miskin dan yang kaya sangat lebar. Mereka yang mampu berdiam di rumah besar dengan fasilitas lengkap. Sedangkan yang miskin harus berdesak-desakan di permukiman yang kumuh.

Saat melaju dari Bandara Internasional Cape Town menuju pusat kota, kompleks permukiman kumuh akan mudah ditemukan. Mereka tinggal di rumah-rumah dari seng dengan fasilitas minim. Dan bisa ditebak, warga kulit putih mendominasi kelompok yang kaya.

Saat tiba di Museum District Six, Kaashief mengantar saya hingga ke dalam bangunan.

”Saya hanya ingin memastikan kamu dalam kondisi aman saat saya tinggal,” katanya sembari membuka pintu museum. Ketika saya hendak membayar ongkos Uber yang saya gunakan untuk muter-muter, Kaashief menolak. ”Saya muslim, kamu muslim. Anggap saja ini traktiran dari saudara muslim,” tegas dia, lantas meninggalkan saya. (*/c9/ang)