25 radar bogor

Setelah Dua Kali Tertunda, Pasangan Belia di Bantaeng Akhirnya Menikah

RESEPSI: Syamsuddin dan Fitrah Ayu dalam balutan pakaian pengantin adat Bugis-Makassar pada saat melangsungkan pernikahan di kediaman mempelai perempuan.

Budaya malu di kalangan adat setempat jadi salah satu pertimbangan Pengadilan Agama Bantaeng mengabulkan dispensasi untuk pasangan Syamsuddin dan Fitrah Ayu. Ayu yang masih duduk di kelas II SMP akhirnya memilih tak melanjutkan sekolah.

MUHAMMAD IKHSAN-ARDIANSYAH

WAJAH pasangan yang baru selesai menjalani ijab kabul itu tampak berseri. Agak malu-malu, tapi banyak mengumbar senyum.

”Nanti umur 17 tahun baru mau (punya momongan),” kata Fitrah Ayu, mempelai perempuan, saat ditanya Fajar (Jawa Pos Group) apakah sudah berencana punya anak.
Senin lalu itu (23/4), saat resmi menjadi Nyonya Syamsuddin, Ayu memang baru berusia 14 tahun 9 bulan. Baru duduk di kelas II SMP dan kini memutuskan tak melanjutkan sekolah lagi. Sang suami yang bersekolah hanya sampai kelas 5 SD cuma sekitar setahun lebih tua. Persisnya 15 tahun 10 bulan.

Pernikahan Syamsuddin-Fitrah Ayu ini ramai menjadi sorotan. Karena usia, Kantor Urusan Agama (KUA), Kecamatan Bantaeng, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, menolak permohonan pernikahan keduanya pada 11 April lalu. Padahal, undangan sudah kadung disebar.

Jadilah keduanya, dengan dukungan keluarga, bersikeras meneruskan rencana. Setelah mendapat blangko N9 atau penolakan pencatatan dari KUA, mereka mengajukan permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama (PA) Bantaeng.

Di Pengadilan Agama, permohonan dispensasi mereka dikabulkan. UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memang mengatur norma dispensasi pernikahan untuk pasangan di bawah umur.

Untuk kedua kali, Syamsuddin dan Ayu pun mengagendakan pernikahan. Rencananya di KUA Kecamatan Bantaeng. Tanggal pernikahan dipilih Senin, 16 April, lalu.

Namun, dispensasi dari Pengadilan Agama Bantaeng ternyata tak otomatis memuluskan langkah keduanya menjadi pasangan suami istri sah. Pemerintah Kecamatan Bantaeng selaku pemerintah setempat belum memberikan dispensasi.

Akhirnya pernikahan itu terwujud Senin lalu. “Dengan adanya dispensasi itu mereka bisa menikah. Jadi, kami bukan menikahkan anak di bawah umur, tetapi menikahkan karena dispensasi,” kata Kepala KUA Kecamatan Bantaeng Muslimin.

Dispensasi, kata dia, telah diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2017 yang mengatakan bahwa 10 hari pasca pendaftaran nikah, bisa melangsungkan pernikahan. Meskipun tidak mendapatkan dispensasi atau izin dari pemerintah kecamatan.

Plt Ketua Pengadilan Agama (PA) Bantaeng Ruslan Saleh menuturkan, PA mengabulkan permohonan sejoli itu berdasarkan regulasi yang ada dan berbagai pertimbangan. ”Berdasarkan regulasi yang ada pasal 7 ayat 1 bahwa perempuan di bawah 16 tahun dan laki-laki di bawah 19 tahun pada dasarnya tidak boleh menikah. Namun, pada ayat 2 jika ingin menikahi harus melalui pengadilan dengan perkara dispensasi dan kita kabulkan,” jelasnya.

Salah satu alasan pengadilan mengabulkan permohonan tersebut berdasarkan berbagai pertimbangan dan keterangan saksi serta keluarga. Juga faktor adat istiadat.

”Adat di sini sangat mengedepankan siri na pacce. Kalau anak-anak mereka sering jalan berduaan, harus dinikahkan segera,” ungkapnya.

Siri na pacce (budaya malu) itu juga yang memang menjadi pertimbangan keluarga untuk menikahkan keduanya. Meski, seperti diakui Nurlina, tante Fitrah Ayu, prestasi kemenakannya itu di sekolah terbilang bagus. Di sisi lain, Syamsuddin yang hanya lulusan kelas 5 SD mencari nafkah dengan menjadi kuli bangunan.

”Kami khawatir dengan pergaulan mereka. Apalagi selama Ayu tinggal di rumah orang tuanya, pengawasan kurang karena bapaknya sering keluar daerah bekerja,” jelas Nurlina yang turut merawat Ayu semasa kecil karena ibu kandungnya, Darmawati, telah meninggal.

Akad nikah pasangan belia itu digelar secara sederhana di kediaman orang tua Ayu di Jalan Sungai Celendu, Kecamatan Bantaeng. Mempelai pria diwakili sang ayah, Dg Sangkala, dan kakaknya Sinta. Sementara dari keluarga perempuam hadir sang bapak, M. Idrus Saleh dan tantenya Nurlina.

Syamsuddin yang mengenakan kemeja biru dan kopiah tampak tegang saat mengucapkan ijab kabul. Fitrah yang mengenakan jilbab dan baju pink pun terlihat tersipu malu di samping sang suami.
Ucapan janji suci Syamsuddin sempat diucapkan dua kali. Sebab, penghulu mengucapkan kalimat ijab kabul dalam bahasa Indonesia, sementara Syamsuddin menggunakan bahasa daerah (Makassar).

“Saya yang urus semua pernikahannya selama ini. Banyak perjuangan dan kesabaran yang dilalui dan alhamdulillah akhirnya mereka sah,” kata Nurlina.

Ayu mengenal Syamsuddin melalui seorang teman pada awal tahun lalu. Saat itu, dia hendak pulang dari sekolah. Setelah berkenalan, dia lalu diantar Syamsuddin pulang ke rumah.

Dari perkenalan itu, mereka kemudian sering berkomunikasi melalui Facebook. Hubungan pun kian terjalin. Berlanjut menjadi pacaran hingga akhirnya memutuskan untuk menikah.

”Setelah lima bulan pacaran, saya kasih kenal orang tua dan akhirnya memutuskan untuk menikah,” ungkap Syamsuddin.

Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK) Indonesia Sulsel mencatat 333 kasus pernikahan anak selama 2017 di seluruh Sulsel. Penyebab umumnya faktor keluarga yang memaksakan anak maupun kehamilan di luar nikah.

Di Pengadilan Agama Watampone, Kabupaten Bone, misalnya, mencatat 127 anak di bawah umur melangsungkan pernikahan selama 2016 lalu. Berlanjut ke 2017, angkanya naik menjadi 154 anak.

Merespons masih tingginya angka pernikahan dini ini, pemerintah merasa perlu menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang perkawinan. Perppu tersebut diharapkan bisa menjadi pengganti UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dinilai sudah tidak relevan.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yambise menyatakan, Presiden Jokowi sudah menyetujui rencana pembahasan perppu itu.(*riz-zuk/JPG/ttg)