25 radar bogor

Perjuangan Fransiska Nadia Mengerjakan Soal Ujian Sendiri

SEMANGAT: Fransiska sedang mengerjakan soal-soal ujian didampingi pengawas, kemarin.

Memiliki kondisi fisik berbeda dari yang lain, tak membuat siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) Dharma Wanita Kota Bogor menerima soal ujian dengan konten berbeda. Salah satu siswanya yang tunanetra, Fransiska Nadia Gandasasmita bahkan merasa kesulitan meraba soal berkonten gambar-gambar bangun datar.

Laporan: Fikri Setiawan

Sejak pukul 06.30 WIB, gadis yang akrab disapa Siska ini sudah hadir di sekolahnya, Jalan Malabar Ujung, Kelurahan Tegallega, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, kemarin (24/4). Padahal, ujian baru dimulai pukul 07.30 WIB. Bukan ingin belajar bersama terlebih dahulu bersama teman-temannya. Sebab, di Ruang 1 SLB Dharma Wanita, Siska hanya seorang diri mengikuti ujian nasional berbasis kertas dan pensil (UNKP).

Siska datang lebih dulu lantaran harus berangkat bareng dengan saudaranya di SMP Regina Pacis. Penglihatannya yang tidak berfungsi memang membuat ia merasa aman dan nyaman ketika bepergian bersama saudara maupun rekannya sendiri.

Namun, saat ujian berlangsung, ia terpaksa mengerjakakan seorang diri. Meja di sebelah kanan dan kirinya kosong melompong, lantaran siswa tunanetra di SLB Dharma Wanita hanya Siska seorang.

Meski begitu, pelaksanaan ujiannya tetap dalam pengawasan. Sedikitnya ada dua orang pengawas perempuan yang mendampingi Siska selama mengisi soal-soal yang disajikan dengan huruf braille itu.

Meski sudah terbiasa mengandalkan indra perabanya, Siska masih kesusahan saat mendapati soal-soal ujan matematika dengan konten gambar-gambar bangun datar. Saat itu pula ia pesimistis bisa mengisi dengan benar soal-soal yang dilengkapi dengan konten gambar itu.

“Bisa diraba, cuma ketuker antara jajar genjang dan trapesium. Awal-awal gampang banget, tapi nomor 20 ada jajar genjang karena gak ada bentuknya jadi bingung,” ujarnya ketika diwawancara Radar Bogor usai ujian kemarin.

Tak hanya soal matematika, soal mata pelajaran bahasa Indonesia di hari pertama ujian pun, menurutnya sulit untuk diisi. Struktur kalimat yang terlalu panjang membuat daya rabanya harus dilakukan dengan maksimal.

“Bahasa Indonesia, seperti menjebak, misalnya arti dari merogoh apa,” beber Siska.

Ia berharap, hasil dari ujiannya bisa mengantarkannya pada gerbang sekolah menengah atas (SMA) favorit. Siska bercita-cita bisa diterima di SMA Negeri 66 dan SMA Negeri 36 di Lebak Bulus, Jakarta. Namun, ia pesimistis keinginannya itu dapat terwujud. Bukan karena kemampuannya, melainkan karena dilarang oleh kedua orang tuanya untuk melanjutkan sekolah di Jakarta.

Meski begitu, ia memiliki pilihan sekolah alternatif jika dilarang sekolah di Jakarta. Pilihannya antara SMA Negeri 3 dan SMA Negeri 4 Kota Bogor.

Di tempat yang sama, Kepala SLB Dharma Wanita Kota Bogor, Nono Wiata membenarkan bahwa soal yang dikerjakan oleh siswanya serupa dengan soal ujian di tingkat SMP dan MTs lainnya. Ia juga menyayangkan hal itu yang masih terjadi dari tahun ke tahun.

“Soal ujiannya sama. Harusnya memang dibuat berbeda. Ini mah jangankan anak tunarungu wicara, gurunya aja susah,” bebernya.

Nono mengusulkan agar ke depan pemerintah bijak memberikan soal yang berbeda, dengan alasan kondisi siswa-siswinya yang juga berbeda dari anak-anak pada umumnya. Sebab, metode yang ia ajarkan pada siswa-siswinya juga berbeda, yakni dua kali lipat lebih intens dari yang guru biasa ajarkan.

“Frekuensi lebih lama, misalkan di sekolah biasa hanya satu pertemuan, di sini bisa dua kali pertemuan,” terang Nono.(/d)