25 radar bogor

Semangat Kartini di Tahun Politik

Oleh: Hj. Ade Yasin, SH, MH (Calon Bupati Bogor 2018)

Sebagai salah satu tokoh nasional yang tercatat sebagai penggerak emansipasi wanita generasi awal, pemikiran-pemikiran Raden Ajeng Kartini tidak saja berbicara mengenai keadilan dan kesetaraan gender semata. Akan tetapi, pe­mi­kiran-pemikiran Kartini juga menyangkut kebangsaan seka­ligus perjuangan kemer­dekaan Indonesia.

Pada zamannya, pemiki­ran Kartini bukanlah se­suatu yang sederhana. Sebagai perempuan Jawa yang secara kultural terikat dengan berbagai aturan dan kebu­dayaan, Kartini tampil dalam ranah pemikiran yang jauh melebihi zamannya, khususnya di Indonesia.

Dalam catatan sejarah Indo­­nesia, Kartini merupakan tokoh perempuan yang menarik untuk dikaji. Kemunculannya di zaman feodalisme dan imperialisme semakin menambah daya tarik masyarakat untuk terus belajar dan mengenang jasa-jasa dari seorang Kartini, terlebih bagi kaum wanita di Indonesia.

Gagasan Kartini yang dibukukan JH Abendanon pada 1911, Door Duisternis Tot Licht, dan diterjemahkan Armijn Pane pada 1938 menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang, kental dengan pesan emansipasi perempuan dalam pembebasan diri melawan konservatisme politik.

Dalam suratnya kepada sahabat penanya di Belanda: Stella, Kartini menginginkan kebebasan. Menurutnya, hukum, politik dan pendidikan hanya milik laki-laki belaka. Namun jalan kebebasan perempuan berbatu-batu dan terjal.

Di era kemajuan seperti sekarang ini, pesan emansipasi dan pembebasan melawan kekolotan dan kebodohan dalam berpolitik masih juga mendapatkan tantangan dari konservatisme politik yang justru membelenggu kegiatan publik perempuan.

Kelahiran berbagai peraturan daerah (Perda) yang tidak “pro perempuan” dan penolakan pemimpin perempuan dalam politik elektoral adalah salah satu indikasinya.

Memang emansipasi perempuan sebagaimana cita-cita Kartini sudah mengalami banyak kemajuan di berbagai bidang sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain. Berbagai jabatan publik di lembaga legislatif dan eksekutif, saat ini sudah banyak diisi perempuan.

Dalam Undang-Undang tentang Pemilu, sejak 2004 telah diatur affirmative action keterwakilan 30 persen perempuan dalam susunan daftar calon legislator (caleg) dan keterwakilan 30 persen perempuan dalam kepengurusan partai politik. Tujuannya untuk meningkatkan partisipasi dan peran politik perempuan di lembaga-lembaga politik seperti DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Di Indonesia, perempuan punya peran strategis dalam sistem demokrasi elektoral karena jumlahnya yang besar dan relatif berimbang dengan pemilih laki-laki. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Pemilu legislatif (Pileg) 2014, pemilih perempuan berjumlah 93.172.645 orang dan pemilih laki-laki 93.439.610 orang. Sementara dalam Pemilu Presiden 2014 jumlah pemilih laki-laki 95.220.799 dan pemilih perempuan 95.086.335.

Namun pada Pileg 2014 juga menghasilkan berkurangnya perolehan kursi caleg perempuan yang memperoleh 96 kursi dari 560 kursi di DPR atau 17,32 persen. Hasil ini lebih rendah dari Pileg 2009 yang mencapai 102 kursi atau 18,39 persen. Sementara di tingkat DPRD provinsi persentase perempuan 16,14 persen dari total anggota DPRD. Di tingkat kabupaten/ kota jumlahnya lebih rendah lagi, yaitu sekitar 14 persen.

Jumlah keterwakilan perempuan di legislatif pada 2014 ini lebih rendah daripada data UN Women 2015 yang mencatat 22 persen keterwakilan perempuan dari seluruh anggota parlemen di tingkat nasional di seluruh dunia.

Negara Rwanda mencatatkan jumlah anggota parlemen terbanyak perempuan, yaitu 63,8 persen. Rata-rata jumlah anggota parlemen perempuan di negara Skandinavia adalah 41,5 persen. Di Amerika Serikat angkanya 26,3 persen dan di Asia 18,5 persen.

Oleh karena itu, pada peringa­tan Hari Kartini ini ada hal strategis yang harus dipikirkan di tahun politik 2018-2019, yaitu bagaimana menjadikan pemilih perempuan dan keterwakilan perem­puan tidak terjebak dalam rayuan manis partai politik yang mela­hirkan kebijakan diskri­minatif atas perempuan.

Kaum perempuan dengan jumlahnya yang besar sebagai pemilih, bila digunakan dengan cerdas dan bijak, akan menjadi kekuatan yang dapat mencegah konservatisme politik makin berkembang. Pada perempuan yang cerdas politik, nasib bangsa ini juga akan ditentukan. (*)