25 radar bogor

Mengenal Kujang Kanjeng Kyai Birawa yang Pecahkan Rekor MURI

BANGGA: Jaya Suprana duduk di depan keris raksasa (foto kiri). Sementara, Fadli Zon (tengah) memperlihatkan kujang kepada para tamu undangan kemarin.

Kujang merupakan senjata tradisional masyarakat Sunda yang sudah diakui dunia. Terlebih di Bogor, kujang begitu berarti. Kehebatannya mampu mewariskan kearifan lokal yang sudah tertanam sejak zaman nenek moyang.

Laporan: Andika Try Wiratama

Dari berbagai jenis, Kujang Kanjeng Kyai Birawa bisa menjadi penyemangat baru. Dengan tubuhnya yang besar, kujang seberat 1,4 ton itu menjadi primadona baru bagi masyarakat di tanah Sunda.

Koordinator pengrajin Kujang Kanjeng Kyai Birawa, Zainal Arif bercerita, proses pembuatan Kujang Kanjeng Kyai Birawa sama dengan membuat kujang pada umumnya. Melalui proses tempa dan pemanasan dengan campuran nikel, besi, dan baja.

“Komposisinya tidak terhitung, jadi kalau kurang, ya kita tambah (bahan­nya), untuk mencukupi bahannya. Kita pakai juga empat batang pohon akasia sebagai warangka kujang (gagang pada kujang),” ceritanya.

Kujang Kanjeng Kyai Birawa dibuat bukan sebentar. Butuh dua tahun untuk merampungkan jenis keris raksasa itu. Pembuatannya pun dilakukan 2016 hingga 2018 ini.

Kujang Kanjeng Kyai Birawa memiliki panjang 13 meter. Kata Zainal, tak ada kendala yang dialami dia dan lima pekerja lainnya yang ikut membuat kujang raksasa.


“Kendalanya hanya paling soal api. Karena apinya kadang besar kadang kecil, tidak seimbang,” sambungnya.

Winih (benih) pamor atau bahan dasar pembuatan kujang besar ini dibuat di Rumah Budaya Sunda Paseban, Desa Cilember, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor.

Setelah itu, pembuatan kujang raksasa dilanjutkan di Sumenep untuk dibawa kembali dan menjadi koleksi ke Rumah Budaya Sunda Paseban. Yang tak kalah menarik,
saat di Sumenep, kujang dibawa menggunakan truk besar untuk pulang ke Bogor.

Di tempat yang sama, Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) Basuki Teguh Yuwono menjelaskan budaya kujang yang sedemikian kental di masyarakat Sunda. Di Indonesia, kata dia, ada dua puncak karya seni tanpa logam.

“Kujang lahir dari kristalisasi perkakas–perkakas masyarakat nusantara. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa kujang kemudian ketika ditelisik dari segi visual memiliki multifungsi yang sangat universal,” papar Basuki.

Selanjutnya, masih kata Basuki, prinsip kujang mampu digunakan untuk menyayat, mengiris, mengkapak, menggergaji dan lain sebagainya. Kujang diramu sedemikian rupa, ditampilkan secara indah, di situ tersirat sebuah koridor makna nilai yang begitu mendalam.

“Nilai dalam kujang itulah yang menjadi salah satu pedoman baku soal adat istiadat, etika, norma yang membentuk identitas dan karakteristik dari masyarakat Sunda,” tuturnya.

Keistimewaan kujang itulah yang akhirnya menginspirasi banyak orang untuk mengkreasikan kujang sebagai warisan budaya di Indonesia. Kujang besar itu jadi koleksi baru rumah budaya yang dijadikan museum tersebut. Bahkan, kujang tersebut dicatatkan di Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai kujang terbesar.

Penghargaan diterima Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon dengan tiga kategori. Di antaranya, Penggagas dan Kolektor Kujang Raksasa (Kujang Terbesar dan Terpanjang), Penggagas Pusaka Kelujang dan Prototipe Rumah Bambu Sunda Terlengkap.

Ketua MURI Jaya Suprana menegas­kan bahwa dirinya adalah pe­ngagum kebudayaan. Ia ber­pesan bahwa sehebat apa pun kese­nian dan kebudayaan, itu tetap merupakan karya manusia.

“Saya sadar bahwa di atas kesenian, dan di atas kebudayaan masih ada mahakarsa dan mahakarya yang lebih birawa dan lebih agung dan indah. Yaitu mahakarya Yang Maha Kuasa. Semua itu menciptakan manusia,” kata Jaya.

Selain kujang raksasa, rekor MURI juga diberikan untuk kelu­­jang, yaitu bentuk baru pusaka abad ke-21 gabungan dari keris, celurit, dan kujang. Kelujang sudah didaftarkan ke HAKI dan kini mulai diproduksi.

Dasar penciptaan kelujang adalah penggabungan dari tiga jenis senjata tradisional atau kebudayaan yang merupakan ageman masyarakat nusantara.

Akulturasi budaya Jawa, Madura, Sunda yang digagas oleh Fadli Zon melalui kelujang ini merupakan lambang persatuan dan kesatuan budaya Indonesia yang selama ini semakin memudar. Harapannya, melalui pusaka kelujang dapat memperkuat jati diri pemiliknya secara khusus dan bangsa Indonesia secara umum.

Tak habis di situ, rekor yang ketiga untuk Prototipe Rumah Bambu Sunda Terlengkap. Fadli Zon yang juga pencinta budaya bambu mengaku belajar dan mengetahui seputar bambu dari Ki Jatnika. Menurutnya budaya bambu merupakan bagian dari budaya Indonesia.

“Banyak tipe rumah Sunda yang memakai bambu sudah hilang. Sehingga bambu perlu dilestarikan, salah satunya caranya dengan mewujudkan Kampung Budaya Bambu yang ramah lingkungan ini,” ujar Fadli.

Menurut Fadli, keris telah diakui Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Dunia (UNESCO) sebagai warisan budaya sejak 2005. Lalu, diikuti benda budaya lain, semisal batik dan wayang.

Penghargaan tersebut, menurut Fadli, harus dijaga dengan cara membuat berbagai kegiatan pelestarian keris, termasuk kegiatan pembuatan kujang naga raksasa di Madura.

“Selain memiliki nilai keindahan yang unik, pusaka keris di kalangan penggemarnya diyakini memiliki sifat kandel,” terang Fadli dalam sarasehan budaya, kemarin (19/4).

Dalam acara tersebut juga diramaikan dengan penampilan pencak silat seperti Silat Cimande, Silat Balebat, Silat Pamonyet, Silat Pamacan dan Silat Klujang. Sejumlah keris pun dipamerkan.(/d)