25 radar bogor

Jadi Tamu Rukai, Suku Asli Taiwan di Permukiman Rinari Buang Kesialan dengan Buah Pinang dan Makan Tempe Goreng Crispy

MAKANAN PEMBUKA: Sajian sayur-sayuran ini menggunakan proses pembakaran untuk mematangkannya. (Foto kanan) Tetua suku Rukai bersama istrinya menyambut para tamu di depan rumah mereka.

Ketika di jadwal acara yang dibagikan tertulis ”Mengunjungi Kucapungane (suku Hao Cha)”, yang terbayang adalah desa dengan rumah tradisional, jalan bebatuan bertanah, dan warga yang mengenakan baju etnik. Tetapi, kenyataannya berbeda. Berikut laporan wartawan Jawa Pos DWI SHINTIA yang baru kembali dari Pingtung, Taiwan.

BUKAN hanya saya. Sebagian besar jurnalis asing yang meng­­ikuti undangan Kementerian Luar Negeri Taiwan dengan label Indigenous People Culture Program pekan lalu juga mem­bayangkan hal yang sama.

Tetapi, begitu kami sampai lokasi, bayangan itu langsung bubar. Terbang. Tidak ada rumah tradisional, jalan berbatu, atau warga dengan baju khas. Yang terlihat adalah permukiman rapi dan teratur dengan jalan aspal mulus plus bersih.

Rumah-rumah yang berdiri bergaya Eropa. Bertingkat dua, bahkan tiga. Dengan pagar yang tidak terlalu tinggi, setiap rumah memiliki taman yang rimbun. Hampir di setiap rumah memiliki garasi dengan mobil dan sepeda motor. Rak-rak sepatu yang diletakkan di teras depan berisi sepatu lari, sandal santai, sampai high heels. Mana suku aslinya?

”Ini kami. Kami suku aslinya,” kata Li Jinlong, pemandu utama yang menemani rombongan jurnalis begitu sampai permukiman tersebut.

Dikatakan Li yang mem­butuhkan bantuan penerjemah untuk mengartikan bahasa Mandarin yang diucapkannya menjadi bahasa Inggris, permukiman mereka memang jauh dari kesan suku asli.

Itu tak lepas dari pembangunan kembali kawasan tersebut setelah badai Morakot melanda Taiwan pada 10 Agustus 2009. Dalam bencana hebat itu, tiga desa dari dua suku asli Taiwan, Paiwan dan Rukai, hancur lebur. Tiga desa di Pingtung Utara, sekitar satu setengah jam dari pusat Kota Kaohsiung, Taiwan, tersebut tidak lagi bisa ditinggali.

Pemerintah kemudian membangun permukiman baru dan menamainya Rinari yang berarti tempat kita semua menuju. Penduduk dari tiga desa –Dashe di Sandimen, Majia di Majia, dan Haocha di Wutai– lantas pindah ke Rinari.

Rumah-rumah modern kemudian menggantikan rumah-rumah asli yang terbuat dari tumpukan batu dan kayu. Sentuhan rumah asli mereka tetap ada di rumah-rumah pengganti tersebut. Beberapa rumah memiliki pagar dengan tembok yang terbuat dari batu-batu pipih yang ditumpuk. Demikian halnya dengan aksesori dan gambar-gambar yang terpasang di depan rumah.

”Hiasan yang dipasang di tembok depan dan atap menggambarkan posisi keluarga tersebut dalam hierarki suku,” sambung lelaki ramah itu.

Li membawa kami ke sebuah rumah yang tepat berada di ujung salah satu jalan. Rumah tanpa pagar depan tersebut memiliki lebih banyak hiasan dan ukiran daripada rumah lainnya. Di bagian kanan depan ada tembok dengan gambar seorang lelaki membawa tombak.

”Ini adalah rumah tetua kami,” ujar Li.

Dari rumah itulah, perjalanan mengenal salah satu suku asli Taiwan dimulai. Para jurnalis yang menjadi tamunya mendapat sambutan khas suku Rukai. Tetua suku bersama istrinya keluar rumah untuk menyambut tamu-tamunya.

Mengenakan pakaian tradisional mereka, upacara penyambutan dilakukan dengan meminta setiap tamu masuk ke rumah. Dengan sebelumnya mengucapkan doa keselamatan dan kesehatan untuk keluarga, teman, serta kelancaran bisnis.

Di dalam ruang tamu, sang tetua membawa guci yang harus disentuh para tamu. Saat menyentuhnya, kita diharapkan mengucapkan doa yang sangat ingin dikabulkan. Tiap prosesi dijelaskan dalam bahasa Rukai yang diterjemahkan dalam bahasa Mandarin, kemudian dalam bahasa Inggris.

Setelah itu, tamu diminta keluar rumah dan duduk di taman samping rumah. Upacara dilanjut­kan dengan mengunyah pinang. Pinang adalah buah yang dianggap istimewa oleh suku Rukai. Tetua bernama Juang An itu menjelaskan bahwa pinang adalah bintang dalam sajian Rukai.

”Saat meminang calon istri, misalnya. Binatang ternak atau perhiasan yang Anda bawa tidak akan ada artinya jika Anda tidak memiliki pinang,” katanya.

Pinang terasa sepat dengan sedikit pahit. Tidak boleh ditelan. Pinang yang sudah dikunyah tersebut kemudian dimuntahkan di taman di depan rumah ke arah barat.

”Itu sebagai pertanda membuang kesialan dan hal-hal buruk yang ada pada Anda,” sambungnya.

Upacara kemudian diakhiri dengan meninum arak beras. ”Teri­ma kasih atas kunjungan Anda. Semoga Anda sekalian mendapatkan pengalaman baik di tempat kami,” kata Juang An.

Setelah upacara penyambutan yang resmi itu, agenda selanjutnya kesukaan saya. Makan. Kami menuju rumah dengan kursi-kursi kayu di depannya.

”Dulu kami tidak mengenal minyak goreng. Semua makanan dimasak dengan dibakar atau direbus. Dan, sajian itulah yang akan kita makan sekarang,” kata Li.

Makanan pembuka adalah semangkuk sayuran yang terdiri atas ubi, labu, terong, paprika, dan kubis yang dimasak dengan cara dipanggang. Sajian itu dilengkapi dengan saus kacang yang gurih. Setelah itu, muncul tumis jamur dan sawi putih dengan telur. ”Berikut ini adalah tumis terong dengan kacang kedelai yang sudah difermentasi,” ujar Li.

Kacang kedelai yang sudah difermentasi itu ternyata tempe! Rasanya pun sama dengan tempe di Indonesia. Kejutan tidak hanya di situ, masakan yang disajikan tidak hanya dibakar atau ditumis. Ada juga yang digoreng.

”Ini adalah kacang kedelai fermentasi yang digoreng kering dengan saus pedas,” sambungnya.

Yang keluar adalah tempe goreng tepung crispy yang dilengkapi semangkuk saus ala sambal dabu-dabu. Yaitu, cabai yang diiris dengan potongan tomat dan daun kemangi.

Kemudian, makanan lain yang akan keluar dijelaskan Li dengan kalimat, ”Kentang goreng berbalut saus telur yang sudah disimpan lama dalam garam.” Itu kentang goreng saus telur asin. Hahaha…

Rasa saus telur asinnya pun tidak beda jauh dengan saus telur asin yang membalut ayam goreng restoran siap saji di Indonesia berikon eyang-eyang itu. Semangkuk nasi putih hangat, tempe goreng sambal dabu, plus kentang goreng saus telur asin itu menutup siang yang panas dengan sempurna. Lupa sudah kalau saat itu saya berada di Taiwan.(*/c10/ttg)