25 radar bogor

APPSI Keluhkan Perubahan Perda KTR

KONTRAS: Meski sudah ada spanduk dilarang merokok, orang masih saja merokok di lingkungan Balaikota Bogor. foto:nelvi/radar bogor
KONTRAS: Meski sudah ada spanduk dilarang merokok, orang masih saja merokok di lingkungan Balaikota Bogor. foto:nelvi/radar bogor

BOGOR–RADAR BOGOR,Sejumlah poin dalam Revisi Peraturan Daerah (Perda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Bogor, dinilai sangat memberatkan pedagang. Terutama, poin larangan memajang dan menjual rokok di area pasar tradisional, yang diyakini pedagang bakal membuat penghasilan mereka turun drastis.

Perubahan Perda KTR Nomor 12 Tahun 2009 yang direncanakan rampung di tahun ini, masih menuai polemik di masyarakat. Seperti yang dikeluhkan pemilik toko kelontong, Juli Priantono (32).

”Bisa bangkrut. Rokok paling laris kok. Ada-ada saja peraturannya, segala tidak boleh jualan rokok. Pabriknya saja ditutup kalau mau,” kesalnya kepada Radar Bogor.

Keluhan dan aspirasi para pedagang seperti Juli ditampung Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) dan disampaikan kepada Pemerintah Kota Bogor, pekan kemarin.

“Bagaimanapun APPSI ingin mendengar keluhan, masukan, dan saran dari pedagang pasar terkait Perda KTR ini, serta menyampaikan aspirasi itu kepada Pemda Kota Bogor,” ujar Ketua Bidang Litbang APPSI Sjukrianto Yulia, pada diskusi terbuka di aula Pasar Induk Jambu Dua, Kota Bogor, pekan kemarin.

Keluhan pelaku usaha seperti Juli dapat dimaklumi. Pasalnya, sebagian besar pendapatan mereka berasal dari produk tembakau. Karenanya, ia berharap keputusan pemerintah terkait KTR tetap memper­timbangkan nasib para pedagang kecil.

Sjukrianto memastikan bahwa kepentingan pedagang pasar yang ada di Kota Bogor akan terancam terkait pemberlakuan perda tersebut. “Apabila pasar tradisional ditetapkan sebagai KTR, maka mereka tidak boleh berjualan rokok. Kalau tidak boleh berjualan rokok, kan mengancam pendapatan dan penghasilan hidup mereka,” ungkap Sjukrianto.

Larangan pemajangan rokok pun sudah sangat merugikan pedagang tradisional. Saat ini mereka menghadapi situasi pasar yang sulit dan menguji keberlangsungan usaha. Kebijakan pemerintah seperti raperda KTR dianggap tidak mendukung upaya bertahan tersebut.

Anggota DPRD Kota Bogor, Najamudin mengatakan bahwa penguatan perda harus ditinjau dari segala aspek, termasuk dalam hal ekonomi. Menurut politisi PKS ini, segala aspek peraturan yang berpotensi merugikan masyarakat perlu menjadi bahan pertimbangan sebelum diputuskan.

“Jika secara aturan main ternyata akan merugikan masyarakat, maka perlu menjadi pertim­bangan,” kata dia.

Namun, menurutnya, para pedagang tak perlu khawatir. Dalam poin revisi perda KTR, belum tentu memuat larangan menjual rokok, melainkan tidak boleh memajang rokok di warung atau kios tempat berjualan.

Pemkot Bogor diharapkan dapat menuntaskan polemik Perda KTR ini sesegera mungkin dengan mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi serta masukan dari berbagai pihak yang terdampak.

Dengan demikian, program pengenda­lian perokok pemula oleh Pemerintah Kota Bogor dapat berjalan, tanpa harus merusak iklim usaha, terlebih merugikan ribuan pedagang kecil. Hal ini mendesak, mengingat para pedagang kecil ini umumnya berasal dari masyarakat lapisan bawah yang mengandalkan usahanya untuk kehidupan sehari-hari.(fik/c)