25 radar bogor

Beretika di Dunia Maya Cegah Cyberbullying

ilustrai (dok.jawapos)
ilustrai (dok.jawapos)

SEKARANG gawai bukan lagi barang mewah. Tiap orang setidaknya memiliki satu ponsel plus beragam aplikasi dan akun media sosial di dalamnya. Menurut psikolog Phebe Illenia Suryadinata SPsi MPsi, hal itu berpengaruh pada pola komunikasi.

”Interaksi face-to-face berganti via medsos. Dampaknya jelas besar,” ucapnya.

Salah satunya, urusan komentar. Banyak orang yang bertukar kabar dan pendapat di media sosial. Artinya, semua pengikut –kenal atau tidak, berkepentingan maupun tidak– bisa membaca dan ikut menyumbang komen tar. Padahal, Phebe menuturkan, setiap orang memiliki persepsi berbeda soal komentar. Bahasa yang digunakan pun macam-macam. Ada yang tidak kentara hingga yang kasar.

Dia mencontohkan, komentar soal penampilan fisik. ”Misalnya, ada komentar ’Gendutan ya sekarang’. Ada yang mungkin oke-oke saja, tapi ada juga yang mungkin marah. Kita kan enggak tahu, kalimat itu diucapkan seperti apa dan apa yang dipikirkan si pemilik akun waktu membaca,” terang psikolog RKZ Surabaya tersebut.

Phebe mengungkapkan, meski kerap dianggap sepele, hal itu bisa tergolong cyberbullying. Sebab, ada unsur menyudutkan salah satu pihak. Apalagi jika komentar tersebut disertai ancaman atau intimidasi.

”Yang berbahaya, kalau kasus ini terjadi pada anak-anak atau remaja serta orang yang karakternya memang mudah terbawa perasaan,” tegasnya.

Alumnus Universitas Airlangga, Surabaya, itu menyatakan, dampak komentar dunia maya tersebut bisa berlanjut ke dunia nyata. Seseorang bisa down dan berlanjut depresi. Dampak lebih buruknya, orang sekitar pun ikut menghakimi orang tersebut gara-gara akun media sosial itu. Sebab, segala hal bisa viral di dunia maya. Bukan hanya korban, orang ter dekat pun berisiko ikut dirundung.

Psikolog klinis itu menyarankan, sebelum bermedia sosial, ada baiknya setiap pemilik akun diedukasi tentang etika berkomunikasi yang baik. Dari segi hukum, cyberbullying dapat perhatian khusus.

Indonesia telah memiliki perundangan khusus. Yakni, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 yang merupakan perubahan dari Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Menurut Dr Go Lisanawati SH MHum, tidak semua komentar negatif lantas perlu dilaporkan.

”Cukup sulit menakar kapan komentar tersebut dianggap jahat. Yang pasti, jika ada unsur mengancam, anjuran seperti ’Mati aja’, maupun konten merujuk ke pornografi, laporkan,” tegas dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya itu.

Selain mengganggu privasi, hal tersebut mengancam keselamatan pemilik akun maupun orang terdekat. Go Lisana menambahkan, tuduhan tanpa bukti kuat bisa dilaporkan sebagai fitnah. Misalnya, menuduh seseorang sebagai pelaku kejahatan. Tetapi, tidak ada bukti maupun saksi lain yang mendukung hal tersebut.

Dia mengakui, cukup sulit untuk melabeli sebuah komentar sebagai perundungan. ”Soalnya, bahasa adalah rasa. Bergan­tung pada yang membaca atau mengarti­kan. Tidak semua orang punya ketahanan batin yang sama,” ujar Go Lisana.

Alumnus program dok­toral Universitas Brawi­jaya, Malang, itu menjelas­kan, cyberbullying bukan masalah sepele. Dia men­contohkan, kasus perun­dungan di media sosial yang disertai anca­man hingga membuat korban­nya depresi bisa berujung pidana, merujuk pada UU No 19 Tahun 2016.

”Di pasal 29, ancaman pidana pengiriman infor­masi elektronik berisi ancaman keke­rasan atau menakut-nakuti bisa dipidana paling lama empat tahun dan/atau den­da paling banyak Rp 750 juta,” te rang­nya.(fam/c25/nda)