25 radar bogor

Perjuangan Sekolah-Sekolah di Perbatasan Indonesia-Timor Leste Melayani Siswa (1)

BAYU PUTRA/JAWA POS TELATEN: Maria Victoria Mau mendampingi dua muridnya, Diego Novito Bau dan Kornelia Zania Mau di SD Inpres Manulor, Belu (8/3).

Karena banyak warga usia produktif yang merantau, sejumlah sekolah di Belu harus menghadapi problem kelangkaan murid. Kepala sekolah sampai harus berkeliling kampung meyakinkan orang tua untuk menyekolahkan anak mereka.

BAYU PUTRA, Belu

JARUM jam belum menunjuk pukul 09.00 Wita. Aktivitas belajar masih berlangsung. Tapi, dua siswa itu sudah tampak berada di luar kelas.

Seorang guru perempuan kemudian meminta Diego Novito Bau dan Kornelia Zania Mau, dua bocah tersebut, masuk kembali ke dalam kelas. Karena memang belum waktunya istirahat.

”Kalau mereka mau, ya ayo belajar. Kalau sedang tidak mood, ya berhenti dulu,” kata Maria Victoria Mau, guru kelas I di Sekolah Dasar Inpres (SDI) Manulor, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu.

Mau tidak mau Maria memang mesti berkompromi. Sebab, hanya dua siswa itulah muridnya di kelas I. Sejak didirikan pada 2001, baru di tahun ajaran 2017–2018 inilah sekolah yang terletak di kabupaten yang berbatasan dengan Timor Leste itu hanya menerima dua siswa baru.

”Bahkan, sebetulnya tahun ini hanya satu (murid baru), yakni Vito,” ungkap Kepala SDI Manulor Marianus Rasi Manu saat ditemui Jawa Pos di sekolahnya 8 Maret lalu.

Seharusnya, Zania merupakan kakak kelas Vito. Namun, sepanjang tahun ajaran sebelumnya, dia ogah sekolah. Tahun ini barulah dia mau bersekolah lagi dan duduk sekelas bersama Vito.

Sekolah langka murid mungkin memang bukan problem spesifik di Belu atau NTT saja. Banyak terjadi pula di berbagai kota di tanah air. Tapi, di Belu kelangkaan itu sekaligus menggambarkan problem berlapis yang dihadapi sekolah-sekolah di kawasan terdepan Indonesia. Mulai minimnya fasilitas, sulitnya akses, sampai persoalan ekonomi.

SDI Manulor berada di ujung perkampungan di Dusun Mukloi, Desa Kewar, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu. Tidak jauh dari perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste.

Dari Bandara Atambua, jaraknya kurang lebih 50 kilometer. Sekitar 10 kilometer di antaranya merupakan jalan tanah yang di sejumlah titik dipenuhi batuan dan hanya cukup dilewati maksimal satu mobil. Konturnya pun naik turun karena memang Desa Kewar berada di kawasan perbukitan.

Sekolah dengan perkampungan juga masih dipisahkan sungai kecil selebar 3 meter. Di atas sungai itu terdapat jembatan darurat selebar 1 meter berupa empat batang kayu gelondongan yang dijajar.

Sela-sela kayu diberi bambu untuk mencegah kaki terperosok. Kemudian, di kedua sisinya dibuatkan pegangan dari bambu. ”Itu jembatan baru, dibuatkan warga kampung. Yang lama ambrol beberapa minggu lalu,” lanjut Marianus.

Mereka yang memiliki fobia terhadap jembatan gantung bisa dipastikan tidak akan berani melewatinya. Sebab, jembatan itu akan bergoyang-goyang ketika dilewati, seperti jembatan gantung.

Secara keseluruhan, SDI Manulor memiliki 60 siswa. Dua di antaranya duduk di kelas I. Di kelas II ada 10 siswa, di kelas III terdapat 11 siswa, dan di kelas IV ada 14 siswa. Sedangkan kelas V terdiri atas 11 siswa dan kelas VI berjumlah 12 siswa. Hampir seluruhnya merupakan anak-anak warga Dusun Mukloi.

Sebetulnya, jelas Marianus, ada dua sekolah di Belu yang tahun ini hanya menerima dua siswa. Selain sekolahnya, ada satu SD lain, yakni SDK Leowalu yang berada di Desa Leowalu, sekitar 10 km dari SDI Manulor. Bedanya, SD tersebut dikelola swasta, sedangkan sekolahnya merupakan sekolah negeri.

Marianus menerangkan, ada alasan mengapa sekolahnya minim peminat. Salah satunya adalah lokasinya yang terpencil di ujung kampung. Sekolah terdekat lainnya berjarak 3–4 km dari sekolahnya. Selain itu, sangat mungkin siswa yang seang­katan dengan Vito di kam­pung tersebut memang tidak ada lagi.

”Penduduk usia pro­duktif di kampung ini kebanyakan pergi merantau ke Kalimantan atau Malaysia,” ucapnya.

Di Kalimantan mereka bekerja di perkebunan atau perusahaan kayu. Para penduduk itu berharap bisa memperoleh kehidupan yang lebih layak ketimbang tinggal di kampung yang terpencil.

Yang menjadi persoalan, warga yang merantau ke Kalimantan sudah bisa dipastikan bakal membawa serta anak mereka yang masih usia sekolah. Alhasil, jumlah anak usia sekolah di kampung tersebut semakin sedikit. Beberapa siswa yang sudah bersekolah di SDI Manulor pun terpaksa mengundurkan diri karena ikut orang tua.

Marianus acap kali berkeliling kampung dan berdialog dengan para orang tua. Aktivitas itu sekaligus dilakukan untuk mencari anak usia sekolah yang belum bersekolah. Dia akan berusaha merayu orang tua agar menyekolahkan anaknya.

Toh, sekolahnya dekat dengan rumah. Lagi pula, mereka tidak akan dipungut biaya alias gratis. Sebab, SDI Manulor mendapatkan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Nilainya Rp 48.800.000 per tahunnya.

Upaya itu cukup berhasil. Tahun ini ada belasan anak usia prasekolah yang orang tuanya berkomitmen memasukkannya ke sekolah. Saat ini mereka belajar di PAUD yang berada satu kompleks dengan SDI Manulor. Diharapkan, tahun depan sebagian di antara mereka mulai masuk SD sesuai usianya.

Dalam hal kurikulum, tutur Marianus, sekolahnya menggunakan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dan Kurikulum 2013 sekaligus. Namun, khusus untuk kelas I, pihaknya hanya memberikan tiga mata pelajaran: membaca, menulis, dan berhitung. Sebab, tidak banyak orang tua yang membekali anaknya kemampuan tersebut sebelum bersekolah.

Penjelasan itu dibenarkan Maria. Tidak mungkin dia menerapkan kurikulum secara saklek karena kemampuan setiap anak tentu berbeda.

”Zania ini sudah cukup lancar memba­canya. Tinggal Vito yang masih agak sulit,” katanya. Namun, keduanya sudah bisa menulis meski belum sempurna.

Koran ini lalu mengajak Vito dan Zania membaca buku. Vito membaca dengan cara mengeja hurufnya satu per satu, yang kemudian digabungkan menjadi satu kata. Begitu pula Zania. Namun, kemampuan memba­canya sudah lebih baik.

Saat ditunjukkan foto presiden dan wakil presiden di dinding atas papan tulis, Zania tahu. ”Itu presiden,” ucap gadis kecil tersebut seraya menunjuk foto Presiden Joko Widodo.

Sebatas itu saja. Dia tidak mengenal nama Joko Widodo maupun Jusuf Kalla. Jam belajar dua siswa tersebut juga lebih fleksibel. Umumnya, kelas I mulai belajar pukul 07.30 dan pulang pukul 10.20. Namun, jam belajar itu tidak bisa dipaksakan.

Metode belajarnya pun bukan tatap muka sebagaimana umumnya suasana kelas. Karena siswa hanya dua, Maria akan duduk di sebelah Vito dan Zania. Mengajari mereka dengan telaten sampai bisa membaca, menulis, dan berhitung.

Bagi Maria, mengajar dua siswa itu tidak terlalu sulit. Tantangan utamanya bukan menyampaikan materi pelajaran. Melainkan menciptakan suasana yang nyaman di dalam kelas yang hanya dihuni mereka bertiga.

Selama sembilan bulan kegiatan belajar-mengajar, Maria mengungkapkan belum pernah mendapati kelas kosong sama sekali dalam arti keduanya sama-sama absen.
”Kadang Vito tidak masuk atau Zania yang absen. Tidak pernah keduanya sampai absen berbarengan,” ujar perem­puan 30 tahun tersebut.

Untuk semua perjuangannya itu, Maria hanya dibayar Rp 100 ribu per bulan. Diambil tiap tiga bulan. Dananya diambilkan dari BOS. Sebab, sekolah tidak memiliki pemasukan lain.

Status alumnus jurusan bahasa Indonesia di Universitas Timor itu memang masih guru tidak tetap (GTT) di SDI Manulor. Sang suami bekerja sebagai tukang ojek. Saat ini keinginannya hanya menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan lolos sertifikasi guru.

”Tahun 2015 saya sudah pernah ikut ujian (sertifikasi), tapi belum lolos,” tambahnya. (*/c9/ttg)