25 radar bogor

Menyaksikan Pelebon Agung yang Pecahkan Rekor Muri

MENGARAK LEMBU CEMENG: Ratusan warga dan wisatawan memadati Jalan Raya Ubud dalam prosesi pelebon agung untuk AA Niang Agung

BALI-RADAR BOGOR,Pagi itu aktivitas di sekitar Puri Saren Ubud dan sekitarnya lebih sibuk. Biasanya, area tersebut memang tak pernah sepi karena merupakan pusat wisata Kecamatan Ubud. Terletak di perempatan jalan, puri (istana) tempat tinggal keluarga Kerajaan Ubud itu berseberangan dengan Pasar Seni Ubud. Dalam radius 1 kilometer (km) dari Puri Saren Ubud, ruas-ruas jalan ditutup. Digantikan sejumlah petugas PLN, polantas, dan panitia pelebon yang lalu-lalang.

Satu peleton tim gegana berlari-lari kecil mengikuti anjing yang mengendus-endus menyisir puri, memastikan bebas bom. Kafe dan kedai-kedai kopi di sekitar puri tak kalah sibuk. Menunggu prosesi pelebon agung yang dimulai pada pukul 11.30, wisatawan memilih untuk nongkrong di sana. Sejak pukul 08.30, hampir di setiap kafe, bangku terisi penuh.

Di dalam puri, doa-doa dan puji-pujian dwibahasa, Sans­kerta-Bali, dibacakan bersahut-sahutan. ”Kidung memang sudah dibacakan terus sejak pemandian. Selain doa untuk mendiang, juga agar suasana menjadi lebih tenteram,” ungkap Tjok Abi, kerabat kerajaan.

Pelebon agung adalah prosesi kremasi adat Bali khusus untuk raja Bali dan bangsawan kerajaan. Untuk masyarakat biasa, prosesi itu dikenal sebagai ngaben.

Prosesi tersebut membutuhkan sejumlah properti. Tiga hal yang paling mencolok adalah bade, tratag, dan lembu cemeng. Ketiganya diletakkan di sebelah barat Puri Saren Ubud. Bade adalah pro­perti serupa bangunan yang men­julang tinggi. Untuk pelebon agung AA Niang, dibuat bade tumpang sia (tingkat 9). Keting­giannya men­capai 27 meter. Simbol hewan-hewan menjadi bagian dasar bade yang dipakai kali ini.

Paling bawah, ada lambang kura-kura, kepala gajah, kepala babi, dan terakhir ular. Di atasnya, pada ketinggian 17 meter, terdapat ceraken. Itu merupakan bilik yang akan diisi peti jenazah.

Untuk AA Niang yang merupakan istri raja, berkasta kesatria, dibuatlah tumpang sembilan tingkat di atas ceraken setinggi 10 meter. Bade itu sangat indah dengan ornamen-ornamen khas Bali. Beratnya konon mencapai 9 ton. Lebar antarsayap ornamen­nya 9 meter.

Arsitek bade –yang biasa disebut undagi– itu adalah Tjokorda Gde Raka Sukawati (Cokde), mantan bupati Gianyar, keponakan mendiang. Untuk menaikkan peti menuju ceraken, dibuatlah tratag. Tratag sema­cam tangga yang dibangun me­leng­kung. Di tubuh konstruk­sinya, kayu-kayu dibalut dengan kain putih. Pusat perhatian lain adalah lembu cemeng. Replika hewan seberat 2 ton itulah yang akan menjadi sarana kremasi jenazah.

”It’s a horse. Obviously, it’s not a cow,” debat Grace Jull saat saya memberitahunya bahwa itu adalah lembu.

Jull adalah turis asal Kanada. Kami berkenalan secara tak sengaja karena berbagi spot paling nyaman untuk menonton prosesi.

Kembali ke kuda, eh lembu. Melihat besarnya lembu cemeng dan bade, rasanya tidak masuk akal kalau keduanya akan diangkat manual oleh manusia. Seperti saya, beberapa turis melongok ke bawah penyangga bade dan lembu cemeng, mencari roda.

Nihil. Mesin penggeraknya benar-benar ratusan orang (pengarak) dengan semangat gotong royong. Jumlahnya konon lebih dari 400 orang. Pembagian­nya, 300 orang untuk bade dan 100 orang untuk lembu. Para pengarak itu berasal dari 15 banjar di wilayah Ubud. Puri Saren Ubud ke Setra Jaba Pura Dalem Puri, tempat kremasi, berjarak 800 meter. Dibuat strategi estafet untuk mengantarkan jenazah.

Ada delapan titik henti untuk bade. Artinya, setiap 100 meter pengarak bisa ambil napas. Melihat betapa beratnya benda-benda itu saat diusung dan wajah-wajah pengarak yang memerah, sontak ketika mereka berheti di titik estafet, semua orang yang menyaksikan bersorak menye­mangati. Tepuk tangan bergemu­ruh! Suit-suitan sahut-menyahut! Para pengarak tertawa lega dan bangga.

Sampai di lokasi kremasi, rombongan disambut tari-tarian. Lembu yang gagah itu diletakkan di atas tempat pembakaran. Kain putih yang membelit perutnya dilepaskan.

Kemudian, secara horizontal tubuh lembu cemeng dibuka. Saat bade datang, doa-doa dipanjatkan. Bade diselaraskan dengan tratag yang dibuat pas sebagai jembatan antara ceraken dan perut lembu yang dibuka.

Peti jenazah kemudian dimasuk­kan ke dalam perut lembu, lalu tubuh lembu dikembalikan seperti semula. Tak lama kemudian, proses kremasi dilakukan. Api berkobar, perlambang penyucian. Keluarga menyaksikan dengan khidmat. Prosesi pelebon agung itu berlangsung selama kurang lebih empat jam.

Pada pukul 15.30, seluruh rangkaian acara selesai. Pelebon agung tak hanya menjadi sarana bagi keluarga untuk mengantarkan mendiang dengan baik, tapi juga menjadi pembangkit geliat wisata di Bali yang sempat lesu karena meletusnya Gunung Agung.(*)