25 radar bogor

Faktor-Faktor Pemicu Obsessive Compulsive Disorder

ILUSTRASI: Rania Baswedan mengunci pintu. Pada kondisi normal, orang yakin cukup sekali mengunci. Sedangkan pengidap OCD akan mengecek pintu berulang-ulang untuk memastikan pintu telah terkunci. (dok.Jawapos)

”NOT a disease but disorder,” tegas dr Aimee Nugroho SpKJ, psikiater National Hospital Surabaya, ketika ditanya tentang OCD. Aimee menjelaskan bahwa terdapat dua pokok pada OCD. Pertama, obsesi (obsessive). Artinya, terdapat gangguan isi pikiran yang membuat seseorang memikirkan sesuatu secara terus-menerus dan berulang-ulang. Hal itu terjadi di luar kehendaknya.

Kedua, kom­pulsif (compul­sive). Itu berupa perilaku yang dilakukan beru­lang-ulang untuk meredakan obsesi tersebut. Misalnya, seorang penyandang OCD yang terobsesi terhadap rasa aman. Maka, kompulsif yang dilakukannya adalah mengunci pintu dengan rapat dan menge­ceknya lagi dan lagi. ”Sebetulnya, dia sendiri enggak nyaman dengan kondisi tersebut, tapi tidak bisa menghentikan dorongan untuk melakukannya,” terang Aimee.

Menurut spesialis kedokteran jiwa itu, ada banyak faktor yang berujung pada OCD. Di antaranya, kepribadian perfeksionis, detail, dan rapi. ”Dia memiliki standar yang tinggi sehingga tidak mudah memercayai orang lain untuk melakukannya. Maka, hal apa pun untuk memenuhi obsesi itu dilakukan sendiri,” kata perempuan yang menempuh pendidikan dokter spesialis kedokteran jiwa di FK Unair/RSUD dr Soetomo Surabaya itu.

Hal itu dibenarkan Dra Astrid R.S. Wiratna, psikolog klinis Siloam Hospitals Surabaya. Dari kacamata psikologi, Astrid menilai, sifat kaku yang menjadi dasar seseorang mengalami OCD berkaitan dengan kebiasaan sejak kecil.

Seiring bertambahnya usia, hal itu menjadi bagian dari dirinya. Penderita OCD sangat terpatok oleh jadwal atau ritual yang sudah rutin dilakukannya. ”Kalau enggak melakukan, dia cemas dan merasa kurang pede,” ujar Astrid.

Meski begitu, tidak semua orang dengan kepribadian perfeksionis dikategorikan OCD.

OCD, lanjut Aimee, dipengaruhi kurangnya serotonin. Senyawa kimia di otak itu mampu memperbaiki suasana hati dan mengurangi kese­dihan. Kurangnya sero­tonin bisa menim­bulkan pikiran yang berulang-ulang dan memicu depresi. ”Kadang juga ditemukan depresi pada orang-orang OCD,” beber Aimee.

Aimee menambahkan, kemunculan OCD tidak dipengaruhi usia. Meski begitu, dia jarang menemukan OCD pada anak-anak. ”Tapi, saya pernah menemukan pasien OCD yang sudah berusia lanjut,” ungkapnya.

Pasien tersebut OCD jenis cleaner yang cukup parah. Dia kerap membungkus benda-benda pribadinya dengan plastik karena khawatir benda tersebut terkon­taminasi kuman.

Menurut Astrid, pengidapnya bisa mencoba melawan OCD. Misal nya, saat timbul keinginan mengecek pintu berkali-kali, sebisanya berikan dorongan dari dalam diri untuk tidak mela kukannya. ”Jika dicoba lima kali dan bisa, berarti berhasil,” kata Astrid. Orang di sekitar bisa membantu mengingatkan.(adn/c6/nda)