25 radar bogor

Ketika Dongeng Tergerus Teknologi

SEMANGAT: Kang Didin saat mendongeng di hadapan anak-anak.

Di era kekinian, dongeng tak lagi booming di kalangan anak. Untuk membunuh waktu luang, mereka cenderung lebih memilih bermain gawai (gadget). Padahal, dongeng menjadi metode edukasi. Namun, berbagai permainan gawai terkadang membuat anak lupa waktu. Kang Didin, pendongeng asal Bogor, punya cara untuk mengatasinya. Terlebih, bertepatan dengan ]Hari Dongeng Sedunia,
20 Maret, hari ini.

Laporan: Fikri Setiawan

Berbekal kepri­hatinan, membuat diri­nya tercebur sedalam-dalamnya ke dunia mendongeng. Me­nurutnya, kini anak Indonesia tak punya to­koh seperti masa kecil­nya dulu yang mengenal Kak Seto. Padahal, bagi pria bernama asli Rohidin ini, dongeng meru­pakan budaya zaman dulu yang sangat efektif digunakan untuk menyampaikan nasihat.

Tak sekadar prihatin. Pria yang sebelumnya berprofesi sebagai guru SD ini rela keluar dari tempatnya mengajar untuk menjadi pendongeng pada 2012.

“Fokus mendongeng 2013. Awalnya dongeng hanya di dalam kelas, dengan murid sendiri,” jelasnya kepada Radar Bogor.

Anak-anak masa kini yang cenderung pilih menonton TV daripada dongeng membuat profesi pendongeng jarang ditemui. Terlebih di Bogor. Faktor itu juga menjadi salah satu alasan dirinya terjun sepenuhnya di dunia mendongeng. Padahal, profesi yang sekarang ia lakoni justru membuat Kang Didin berpenghasilan lebih dari
sebelumnya.

Ia pun memiliki cara untuk membuat dirinya digandrungi banyak orang daripada teknologi. Caranya, Kang Didin menggabungkan antara mendongeng dengan entertainment atau hiburan. Hal itu pula yang membuatnya dipandang sebagai profesional di kalangan orang-orang yang memberinya job.

“Saya mengemas dongeng menjadi entertain, sehingga dengan kemasan itu masyarakat dan guru bisa menghargai secara profesional. Kalau awal-awal jemput bola tidak melihat angka dan sebagainya,” tuturnya.

Satu hal yang menurutnya masyarakat hingga kini keliru. Dongeng tidak hanya dikonsumsi kalangan anak-anak. Menurutnya, semua lapisan usia menyukai dongeng, hanya saja materi yang disukai masing-masing kalangan berbeda. Hingga kini pun ia kerap kali menerima permintaan mendongeng dari PAUD hingga SMA.

“Kalau anak PAUD petualangan imajinasi, anak SD petualangan kehidupan seperti konflik kehidupan. Anak SMP dan SMA lebih ke motivasi, diajak mimpi bersama. Misalnya mau jadi apa dia selanjutnya,” kata Kang Didin.

Sembari menjalankan profesinya, Kang Didin memiliki program bersama yang dijalankannya bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yakni menyosialisasikan bahaya narkoba ke sekolah-sekolah. Setiap pesan-pesan dalam dongengnya kerap kali ia selipkan terkait bahaya pengaruh mengonsumsi narkoba.

Kini ada 50 hingga 100 kisah dongeng yang ia ingat. Durasinya cukup lama. Untuk sekali mendongeng satu kisah bisa menghabiskan waktu sekitar 1 hingga 1,5 jam.

Beberapa kisah itu ia dapat dari hasil mengarang, kemudian sebagian lagi ia dapat dari membaca buku.

Profesi yang ia anggap menjanjikan ini akan seterusnya ia jalani. Meski berdomisili di Ciomas, Kabupaten Bogor, permintaan mendongengnya bisa sampai ke luar negeri.

Pria yang kerap tampil dengan ikat kepala dan busana khas Sunda ini, memiliki misi memperkenalkan budaya Sunda ketika kerap kali tampil. “Paling jauh, Banda Aceh, Kalimantan, Malaysia. Misi Kang Didin memboomingkan budaya Sunda melalui dongeng,” ujarnya.

Ia pun bangga dengan profesinya. Sebab, bagi Kang Didin, kemampuan mendongeng tak dimiliki semua orang. Guru sekalipun, menurutnya, tak semua memiliki kemampuan mendongeng. Dengan begitu, ia berharap bisa terus mengedukasi masyarakat dengan materi-materi yang ia bawakan saat mendongeng.

Sementara itu, pengamat budaya dari Universitas Pakuan, Agnes Setyowati, menjelaskan bahwa Hari Dongeng Sedunia berawal dari peringatan Hari Nasional Mendongeng di Swedia yang dirayakan setiap 20 Maret.

Masyarakat menyebutnya “Alla berattares dag” yang berarti all storytellers day. Kemudian, pada 1997, pendongeng-pendongeng di Perth Australia Barat mengadakan perayaan bernama Celebration of Story yang juga diperingati pada tanggal dan bulan yang sama.

“Di masa yang sama, masyarakat Meksiko dan negara-negara di Amerika Selatan lainnya memperingati National Day of Storytellers pada tanggal dan bulan yang juga sama,” jelasnya kepada Radar Bogor, kemarin (19/3).

Akan tetapi, Hari Dongeng Nasional diperingati setiap 28 November. Hal tersebut berawal pada 2015 ketika para pendongeng di seluruh Indonesia menetapkan Hari Dongeng Nasional. Mereka memilih tanggal tersebut karena bertepatan dengan hari lahir bapak dongeng Indonesia, Suryadi atau lebih akrab disapa Pak Raden.

Menurut Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Pakuan itu, peran dongeng sangat penting dalam banyak hal, terutama bagi anak-anak dan orang dewasa sekalipun. Secara pribadi ia sangat menyukai dongeng, khususnya dongeng-dongeng Indonesia.

“Sewaktu saya kecil ayah saya sering berdongeng untuk saya. Beberapa dongeng yang sangat saya sukai adalah dongeng tentang Si Kancil Mencuri Timun, Rusa dan Kura-Kura, Kancil dan Buaya. Dongeng tersebut yang paling saya ingat sampai sekarang karena ceritanya sangat bagus dan mengandung pesan moral yang sangat bermanfaat,” tuturnya.

Di sisi lain, menurutnya dongeng merupakan media mengajarkan moralitas tanpa harus menggurui. Dengan mendengarkan dongeng anak-anak diajak untuk memaksimalkan daya imaji.
Hal itu dianggap membantu dalam melatih kemampuan berbahasa, karena dengan mendongeng manusia akan terlatih untuk menyampaikan pesan secara terstuktur dan menarik.

Selain menghibur, dongeng tentunya menjadi media yang efektif untuk mengajarkan sejarah dan budaya, serta menyelipkan pesan moral dan prinsip yang mendidik khususnya kepada anak-anak.

“Merujuk pada hal ini, saya rasa banyak sekali manfaat serta hal-hal yang positif yang kita dapatkan dari dongeng,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Agnes berharap dengan adanya Hari Dongeng Sedunia anak-anak Indonesia dapat lebih mencintai cerita-cerita dongeng Indonesia yang sarat dengan pesan-pesan yang baik serta mendidik.(/d)