BOGOR–RADAR BOGOR,Pascarevisi detail engineering design (DED) untuk realisasi pembangunan jalan layang (flyover) di Jalan RE Martadinata, Pemkot Bogor kembali harus membebaskan lahan.
Dari sekitar 500 meter persegi yang dibebaskan tahun ini, pemkot menyediakan anggaran sebesar Rp14 miliar.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Bogor, Chusnul Rozaqi, menjelaskan bahwa sebelum membebaskan lahan, pihaknya terlebih dulu menunggu rekomendasi dari Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan. Pasalnya, ada beberapa perubahan setelah proyek tersebut mengalami revisi DED. “Ada perubahan
garis sempadan rel (GSR),” jelasnya kepada Radar Bogor, belum lama ini (15/3).
Sementara itu, Kabid Perencanaan pada Dinas PUPR Kota Bogor, Junenti menjelaskan bahwa ada sekitar 500 meter lahan yang perlu dibebaskan lagi oleh Pemkot Bogor. Untuk melakukan pembebasan tersebut, pemkot sudah menganggarkan melalui APBD Kota Bogor tahun 2018. “Anggaran disediakan Rp14 miliar, mungkin penggunaannya tidak sampai segitu, mudah-mudahan,” ungkapnya.
Lamanya realisasi pembangunan flyover ini, menurut Junenti, karena yang menjadi stakeholder dari Pemkot Bogor bukan hanya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), melainkan juga Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan. Karena, sebelum izin dan rekomendasinya keluar, pembebasan lahan belum bisa dilakukan.
“Ada rekomendasi, ada izin. Masih proses, kalau bulan depan jadi bisa langsung eksekusi. Awal tahun ini rekomendasinya harus keluar, kalau pertengahan bakal repot,” ujarnya.
Padahal, menurutnya, Kementerian PUPR sebagai pihak yang melakukan pembangunan fisik flyover RE Martadinata sudah siap. Hanya saja, masih harus menunggu rekomendasi dari Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan.
Rekomendasi tersebut sangat dibutuhkan, karena setiap infrastruktur apa pun yang bersinggungan dengan perlintasan kereta, perlu mengikuti rekomendasi sesuai
Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No 36 Tahun 2011. “Di situ ada ketentuan-ketentuannya, berapa sempadan minimal secara horizontal maupun vertikal,” kata Junenti.
Aturan tersebut merupakan payung hukum sebagai perlindungan keselamatan untuk masyarakat. Terlebih, di lokasi teresebut perlintasan kereta apinya berbentuk tikungan. “Dioptimalkan dengan metodologi pelaksanaan. Karena harus mempertimbangkan keselamatan,” tukasnya.(fik/c)