25 radar bogor

Flyover Martadinata Tambah Lahan

BIKIN MACET: Rencana pembangunan flyover di Jalan RE Martadinata kembali gagal. Padahal, kemacetan di jalan ini sudah krodit. NELvI/RADAR BOgOR
BIKIN MACET: Rencana pembangunan flyover di Jalan RE Martadinata kembali gagal. Padahal, kemacetan di jalan ini sudah krodit. NELvI/RADAR BOgOR

BOGOR–RADAR BOGOR,Pascarevisi detail engineering design (DED) untuk realisasi pemba­ngunan jalan layang (flyover) di Jalan RE Martadinata, Pemkot Bogor kembali harus membebaskan lahan.

Dari sekitar 500 meter persegi yang dibebaskan tahun ini, pemkot menyediakan anggaran sebesar Rp14 miliar.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Bogor, Chusnul Rozaqi, menjelaskan bahwa sebelum membebaskan lahan, pihaknya terlebih dulu menunggu rekomendasi dari Dirjen Perkeretaapian Kemen­terian Perhubungan. Pasalnya, ada beberapa perubahan setelah proyek tersebut menga­lami revisi DED. “Ada peruba­han
garis sempadan rel (GSR),” jelasnya kepada Radar Bogor, belum lama ini (15/3).

Sementara itu, Kabid Peren­canaan pada Dinas PUPR Kota Bogor, Junenti menje­laskan bahwa ada sekitar 500 meter lahan yang perlu dibebaskan lagi oleh Pemkot Bogor. Untuk melakukan pembebasan tersebut, pemkot sudah me­ngang­garkan melalui APBD Kota Bogor tahun 2018. “Ang­garan disediakan Rp14 miliar, mungkin penggunaan­nya tidak sampai segitu, mudah-mu­dahan,” ungkapnya.

Lamanya realisasi pemba­ngunan flyover ini, menurut Junenti, karena yang menjadi stakeholder dari Pemkot Bogor bukan hanya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), melainkan juga Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan. Karena, sebelum izin dan rekomendasinya keluar, pembebasan lahan belum bisa dilakukan.

“Ada rekomendasi, ada izin. Masih proses, kalau bulan depan jadi bisa langsung eksekusi. Awal tahun ini rekomendasinya harus keluar, kalau pertengahan bakal repot,” ujarnya.

Padahal, menurutnya, Kementerian PUPR sebagai pihak yang melakukan pembangunan fisik flyover RE Martadinata sudah siap. Hanya saja, masih harus menunggu rekomendasi dari Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan.

Rekomendasi tersebut sangat dibutuhkan, karena setiap infrastruktur apa pun yang bersinggungan dengan perlintasan kereta, perlu mengikuti rekomendasi sesuai

Peraturan Menteri Perhubu­ngan (Permenhub) No 36 Tahun 2011. “Di situ ada ketentuan-ketentuannya, berapa sempa­dan minimal secara horizontal maupun vertikal,” kata Junenti.

Aturan tersebut merupakan payung hukum sebagai perlin­dungan keselamatan untuk masyarakat. Terlebih, di lokasi teresebut perlintasan kereta apinya berbentuk tikungan. “Dioptimalkan dengan metodo­logi pelak­sanaan. Karena harus mem­­pertimbangkan kesela­matan,” tukasnya.(fik/c)