25 radar bogor

Belajar Sejarah di Jalanan Sydney

FAVORIT WISATAWAN: Islay, patung anjing kesayangan Ratu Victoria, di salah satu sudut Kota Sydney. Foto kanan, salah satu spot tur hantu di kawasan The Rocks.
FAVORIT WISATAWAN: Salah satu spot tur hantu di kawasan The Rocks.

Di Sydney, sejarah kota dan Australia ditampilkan sejujur mungkin di berbagai sudut dan dalam beragam bentuk. Setidaknya bisa memancing keingintahuan lebih lanjut.

Tatang Mahardika, Sydney

DI gang sempit yang menurun itu, yang brutal dan yang indah dari masa silam berkelindan. Diabadikan di salah satu tembok, di antara labirin bar, kafe, dan restoran.

’’How I longed to share the dangers and the pleasures of the push!’’

Danger (bahaya), pleasure (kenikmatan), dan push (geng). Nukilan dari puisi karya Henry Lawson, The Captain of The Push, itu bertutur tentang Sydney pada masa
akhir 1870-an. Saat seorang anak muda tertarik menjadi anggota push. Di masa ketika kota yang kini jadi ibu kota Negara Bagian New South Wales, Australia, itu masih dikuasai kelompok-kelompok yang akrab dengan kekerasan.

Sebuah kondisi yang tak terbayangkan sekarang. Sydney yang megapolitan, aman, makmur, rapi. Dua abad dari era The Push itu, Sydney tumbuh menjadi megapolitan yang rapi, bersih, makmur, dan aman.

Sekaligus kota yang berupaya jujur tentang masa-masa tumbuh kembangnya. Di berbagai sudut kota, di jalan, di taman, di pelabuhan, sejarah tersebut dituliskan.

Sesuatu yang datang dari masa lalu itu pun terasa dekat dengan masa sekarang.

’’Saya sering menemui turis yang berlama-lama di depan plakat atau monumen. Membaca tentang kutipan sejarah yang tertulis di sana,’’ kata Jamie Chow, warga Sydney keturunan Indonesia, yang bertemu Jawa Pos di sela kesibukan KTT Spesial ASEAN-Australia.

Penggalan sejarah di berbagai sudut Sydney itu umumnya ditulis pendek saja. Rata-rata satu paragraf, terdiri atas dua–tiga kalimat.

Kalau di Indonesia sebuah gedung biasanya hanya dilengkapi keterangan kapan dan oleh siapa diresmikan, di Sydney selalu ada cerita di baliknya. Misalnya tentang Gedung Queen Victoria.

Di depan gedung itu pula, ada monumen untuk mengenang Islay. Tertulis di situ bahwa anjing jenis terrier tersebut merupakan binatang peliharaan favorit Ratu Victoria.

Lima tahun si Islay itu jadi favorit sang ratu. ”Saya sampai harus mencari di Google tentang nasib Islay setelah membaca sejarah pendeknya di monumen ini,” kata Mark Charlton, seorang turis asal Kanada.

Mengutip situs City of Sydney, tak seperti tata kota di Melbourne dan Adelaide yang relatif stabil, tata kota Sydney yang awalnya mengacu pada pola Aborigin konstan berubah. Itu berpengaruh pula pada penamaan jalan-jalan di kota yang multikultural tersebut.

Pada 1875, misalnya, ada 60 nama jalan yang diubah. Tiga dekade kemudian, malah 100 yang diganti.

Pengaruh Inggris sebagai monarki Eropa yang menjadikan Australia sebagai koloni orang-orang terhukum kuat menancap. Nama-nama seperti Liverpool, St George, Pitt, atau Bligh bertahan sampai sekarang.

Dan, di The Rocks, kawasan jujukan wisatawan kini, upaya Sydney untuk menunjukkan masa lalunya secara apa adanya itu terlihat nyata. Termasuk sejarah kebrutalan seperti yang disinggung Lawson dalam puisinya tersebut.

Di salah satu sudut The Rocks, misalnya, ada tawaran The Ghost Tours. Yang dijual, perjalanan menelusuri sudut-sudut The Rocks yang kental dengan cerita seram. Entah pembunuhan, bunuh diri, atau penggantungan.

Dan, ternyata laris jadi komoditas wisata. Jawa Pos yang datang ke Sydney atas undangan Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia dua kali berusaha mendaftar. Tapi, selalu fully booked.

Di The Rocks pula, ada sederet bangunan yang kini difungsikan sebagai bar dan restoran. Di sebuah plakat yang terpasang di salah satu bangunan tertulis, ”The Rocks, di sinilah sejarah Australia dimulai.”

Di The Rocks-lah memang kampung pertama para imigran dari kawasan Britania Raya. Berdiri pada 1778.

”Restoran ini dikelola secara turun-temurun sejak abad ke-19,” kata Mick Walker yang bekerja di restoran Italia yang menempati salah satu bangunan bersejarah itu.

Rata-rata bangunan di The Rocks memang membanggakan tahun kelahiran masing-masing yang menjulur sampai ke dua abad lalu.

Dan, hampir semua mencantumkan kutipan yang menerangkan siapa pendiri, tahun, dan dalam konteks apa didirikan.

Sejarah yang terasa dekat di jalanan Sydney itu tak hanya berwujud kutipan teks. Tapi juga gedung-gedung tua yang terpreservasi dengan baik.

Sebuah tempat makan yang tak jauh dari hotel tempat Jawa Pos menginap juga memampang sejumlah foto lawas tentang Sydney. Salah satunya Quay Street yang
bertahun 1948.

”Foto-foto itu serasa bonus bagi yang datang ke sini. Jadi punya gambaran tentang Sydney masa lalu,” kata Michael Wong, seorang pengunjung restoran yang mengaku berasal dari Hongkong.

Tempat makan itu berada di distrik bisnis Sydney. Ramai dan tentu saja sangat ”zaman now”. Tapi, toh tak terlihat adanya gap antara kawasan kota lama dan baru. Semuanya digarap sama baiknya. Semuanya sama-sama mendekatkan sejarah kota dengan warga atau pengunjungnya. (*)