25 radar bogor

Hapus Dikotomi Negeri dan Swasta

BEDAH VISI-MISI: Para panelis diskusi Membedah Visi Misi Calon Bupati Bogor 2018, bersama para calon bupati dalam sesi foto bersama di aula Graha Pena Bogor, kemarin (6/3).

Masih rendahnya rata-rata lama sekolah di Kabupaten Bogor menjadi masalah serius bagi bupati Bogor 2018-2023. Belum lagi, tidak meratanya sarana dan prasarana pendidikan serta tidak meratanya pendidik dan tenaga kependidikan, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas.

’’Masih banyaknya ruang kelas yang rusak besar, kesejahteraan guru honorer menjadi permasalahan yang harus menjadi prioritas kebijakan bupati Bogor mendatang,’’ kata Ketua BMPS Kabupaten Bogor R Agus Sriyanta saat menjadi panelis dialog membedah visi dan misi calon bupati/wakil  Bogor di Graha Pena Bogor, kemarin (6/3).

Menurut Agus, jumlah sekolah  di Kabupaten Bogor itu, baik di bawah dinas pendidikan dan Kemenag, 74 persen adalah sekolah swasta. Sementara  sekolah negeri hanya sekitar 26 persen. Sedangkan dari sisi peserta didik, 51 persen ada di sekolah swasta dan 49 persen ada di sekolah negeri.

’’Negara wajib hadir, khususnya Pemkab Bogor, ke depan untuk bersinergi dengan Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) atau sekolah swasta, dalam rangka meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM), khususnya  meningkatkan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah,’’ papar ketua Yayasan Al Madina itu.

Lebih jauh Agus menjelaskan, hingga kini Pemkab Bogor masih kurang memperhatikan sekolah-sekolah swasta. Padahal, peran sekolah swasta dalam memajukan atau mendidik para calon pemimpin bangsa dan peradaban juga sama besarnya dengan sekolah negeri.

”Harus diakui, kontribusi sekolah swasta sangat besar. Tanpa sekolah swasta, pendidikan di Kabupaten Bogor bisa lumpuh,” cetusnya.

Agus mengatakan, dalam data, jumlah sekolah swasta memang banyak pada jenjang SMP, SMA/SMK. Hampir  85 persen ketiga jenjang tersebut diisi sekolah-sekolah swasta. Namun, perhatian pemerintah terhadap sekolah-sekolah tersebut sangat kurang.

Pertama, berkaitan dengan penerimaan peserta didik baru (PPDB). Dalam aturan terbaru No 22 Tahun 2016 terkait PPDB, ada aturan yang mengatur jumlah penerimaan peserta didik untuk setiap jenjang. Tapi nyatanya, masih banyak sekolah, khususnya negeri, yang menerima jumlah peserta didik melebihi aturan tersebut. Sehingga, berdampak terhadap kualitas pengajaran. Belum lagi, dengan begitu, jumlah peserta didik sudah banyak terserap ke sekolah negeri yang berimbas pada peminat di sekolah-sekolah swasta yang sedikit.

“Bahkan, untuk sejumlah jenjang, ada yang ruang kelasnya sedikit, tapi banyak menerima peserta didik, sehingga mereka masih melakukan dua shift jam masuk, sedangkan dalam kurikulum 2013 sudah tidak diperbolehkan ada yang masuk siang,” tambah Agus.

Ia juga berharap, pemerintah meng­hilangkan dikotomi negeri dengan swasta. Bantuan sekolah swasta lebih ditingkatkan, bantuan gaji atau tunjangan pada guru non-PNS direalisasikan secara merata. Pendirian sekolah swasta, baik negeri maupun swasta harus ada amdal dan melibatkan BMPS. Melibatkan sekolah swasta dan guru swasta dalam sejumlah lomba secara objektif, meniadakan SIM kepala sekolah, serta meniadakan pungutan-pungutan di lapangan yang tidak jelas.(*)