25 radar bogor

Prihatin, Gratiskan SPP

Nia Yulianti
Nia Yulianti, Pelopor Sekolah Wisata di Timur

Mahalnya pendidikan berbasis pengetahuan kepariwisataan, membuat Nia Yulianti mendirikan sekolah pariwisata bebas SPP. Dimulai dari proses perenungan, Nia yang dulu seorang guru SMK Pariwisata di Kota Bekasi, nekat membangun sekolah sendiri usai  mengamati tidak adanya lembaga pendidikan pariwisata di wilayah Bogor Timur.

Awalnya, ia mengaku miris melihat minimnya sekolah kejuruan di wilayah Bogor Timur. Apalagi sekolah kejuruan berbasis pariwisata.

”Saya nekat bikin SMK pariwisata pada 2009 lalu dengan nama SMK Taman Wisata, karena di sana nggak ada sekolah pariwisata,” tukasnya.

Dalam perjalanannya, ia melihat kondisi pendidikan warga Desa Mampir, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, yang tak dapat memanfaatkan potensi wilayahnya. Ironisnya, mereka lebih memilih berpendidikan rendah untuk menjadi buruh pabrik.

”Padahal peluang pariwisata di Bogor Timur banyak,” kata Nia.

Dari keprihatinan tersebut, perempuan kelahiran Jakarta, 4 Juni 1978, ini bertekad membuat sekolah dengan menggratiskan sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) pada siswanya.

”Semua warga Mampir ingin saya gratiskan. Agar mereka bisa lebih banyak peluang berkarier, khususnya di dunia kepariwisataan,” jelasnya.

Bukan tanpa alasan, niatan Nia semakin kuat ketika seorang mahasiswa dari Universitas Padjadjaran (Unpad) datang padanya dan mengajak untuk survei pendidikan 9 tahun di daerah Mampir. Ternyata, penelitian itu berbuah keprihatinan, lantaran banyak ditemukan tunas muda di Desa Mampir hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD). Dan untuk menjadi pekerja, umumnya warga menyulap KTP agar bisa diterima menjadi karyawan pabrik.

”Warga lulus dari SD dan tembak KTP, kemudian kerja di pabrik, dari situ hati saya tersentuh kembali. Saya langsung  menghadap pak camat dan pak kades Mampir untuk membicarakan niat saya membuat sekolah gratis kalangan SMP khusus warga Mampir,” ucapnya.

Alhasil, sekitar 2015, Nia juga mendirikan SMP Plus Taman Wisata. Di sekolah tersebut, para siswa diajarkan basic kepariwisataan. Sehingga mampu mengisi pembangunan di wilayahnya, yang kaya akan potensi pariwisata.

”Niatan ini juga dikarenakan kami  ingin mendukung program pemerintah wajib belajar 9 tahun,” tukasnya.

Tak cukup di situ, setelah sekolahnya berjalan lancar, 2016,  Nia menemukan banyak warga di Kecamatan Jonggol yang mempunyai anak berkebutuhan khusus. Karena  malu dengan kondisi itu, para ibu tak menyekolahkan anaknya.

”Saya kaget. Kok tega orang tua membiarkan anaknya tak sekolah hanya karena berkebutuhan khusus. Saya yakin ini karena minimnya pengetahuan orang tua,” ucapnya.

Hal itu membuat Nia kembali berpikir untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Dan, mulailah Nila sosialisasi. Namun, tak ubahnya dengan pembangunan awal di Sekolah Wisata, saat sosialisasi, Nia kerap kali mendapat cibiran dan cemooh dari masyarakat.

”Saya door to door memberi­kan semangat kepada orang tua sehingga percaya untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah saya. Banyak yang tidak percaya dan ada juga yang percaya, namun itu bagi saya adalah tantangan,” tuturnya.

Tak berhenti dengan tantangan tersebut, Nia terus sosialisasi sehingga perlahan warga mulai memahami pentingnya pendidikan pada anak berkebutuhan khusus.

”Hasilnya sekarang, alhamdulillah sudah ada 14 murid, lima tunarungu, tiga tunagrahita, dua autis, dua tunadaksa, dan dua lagi tunanetra,” kata dia.

Dari proses perjuangan tersebut, Nia meyakini bahwa niatan lurusnya untuk membangun pendidikan tak hanya mendapat bantuan dari manusia, melainkan dari Sang Khalik.

”Saya yakin, niatan saya akan didukung Allah. Jadi, alhamdulillah dari usaha mencari lahan hingga bangunan gedung seperti dipermudah. Meski ada saja tantangannya,” kata dia.(azi/c)