25 radar bogor

Belajar Banyak dengan Satu Klik

Inilah salah satu dari banyak sekali respons atas serial Aorta Dissection. Datangnya dari wartawan senior Surabaya, Ali Salim. Hampir setiap seri dia beri komentar. Misalnya ini.

”Tulisannya di DI’s Way luar biasa. Istimewa! Nggak sabar tunggu lanjutannya… Semoga setiap cobaan akan dilewati dengan mulus…”

Setelah seri kedua terbit, Ali Salim kembali berkirim komentar. ”Sampai ke seri 2 ini saya yakin kalau cerita ini dibukukan bakal best seller… Faktanya sudah sangat dramatis, diceritain dengan detail.

Semua bukan khayalan. Saat yang begitu kritis, sakit misterius yang hanya berdasarkan tebakan tapi sangat menyakitkan, sementara anak-anak harus tetap move on menyelesaikan umrah mereka. Pokoknya dramatis, bukan dibuat dramatis, tapi faktanya memang seperti itu….

Luar biasa!”

Sore harinya, Ali Salim menulis lagi. Rupanya dia penasaran. ”Saya coba baca kembali seri 1-2 untuk dicari mungkin ada salah tulis untuk perbaikan sebelum cetak edisi buku.

Pembuluh darah aorta apakah benar berdiameter 4 cm? Besar amat? Mungkin maksudnya 4 mm. Saya coba cari di Google kurang dari 1,5 mm.

Mungkin perlu ditelusuri lagi nama rumah sakit di Madinah itu dan dokternya. Jaraknya berapa jauh dari tempat penginapan. Apakah rumah sakit semacam Puskesmas atau rumah sakit umum yang besar. Deskripsi tentang taksi di Madinah juga perlu diuraikan”.

Soal besarnya ukuran aorta, tentu saya yang benar. Hampir 4 cm. Saya sendiri kaget dan tidak percaya ketika dokter mengatakan itu. Saya minta dokter untuk mengulangi penjelasannya. Benar. Hampir 4 cm.

Memang aorta itu besar sekali. Bisa dibayangkan betapa besar menggerojoknya darah yang keluar dari jantung itu.

Ali Salim kemudian mengecek lebih detil ke Google. Lalu membenarkan penjelasan saya sambil mengagumi betapa besar aorta manusia itu. Kalau misalnya ada peluru yang merobek aorta itu pasti dalam waktu singkat korbannya akan kehabisan darah.

Ali Salim terus memberikan komentar di seri berikutnya. ”Saya pikir setelah tahu penyakitnya di Singapura, ceritanya mulai menurun. Ternyata sampai serie 5 ini bikin orang tambah penasaran. Makin tegang saja. Kalau sebuah buku, ini pasti bacaan yg tak akan dilepas sebelum habis tuntas…’’

Waktu serial sampai sampai pada betapa saya susah berjalan di bandara Changi Ali Salim kembali bertanya. ”Waktu turun dari pesawat mengapa tak minta bantuan kursi roda? Perlu dijelaskan…’’

Dia benar. Saya terlalu pede. Saya sadar bahwa saya dalam keadaan sakit. Tapi rasanya untuk berjalan di bandara masih kuat. Ternyata berat sekali. Nafas saya sesak. Harus sering berhenti.

Untung banyak yang minta foto bersama. Bisa berhenti untuk foto sambil bisa istirahat. Saya tidak bisa minta kursi roda di depan pesawat karena terlanjur tidak memesannya sebelum berangkat dari Surabaya. Kursi roda yang disipkan di situ untuk penumpang yang sudah memesannya.

Sambil guyon saya sampaikan ke Ali Salim kalimat ini, ”Laki-laki kadang tidak ingin terlihat lemah dengan naik kursi roda… Saya menyesal juga memiliki perasaan seperti itu.’’

Ali Salim pun berkomentar. ”Iya, tokoh publik tak boleh terlihat lemah… Hahaha…”

Ali Salim ternyata juga memperhatikan beberapa humor yang saya selipkan dalam cerita. Saya memang selalu mengajarkan kepada wartawan muda untuk menulis seperti itu. Agar tulisan terasa segar. Tidak kering. Tidak membosankan.

Itulah jurnalistik modern. Yang kian ditinggalkan dalam era jurnalistik online.

Ali Salim berkomentar, ”Ketegangan yang memuncak dengan selingan joke ringan pada seri-6 maupun sebelumnya hanya bisa dilakukan oleh penulis novel populer sekelas Sidney Sheldon atau Danielle Steel.

Saya bisa membayangkan dokter Benjamin dengan baju yang kedodoran meski masih memiliki tubuh dalam ukuran kelas berat.’’

Tentu Ali Salim juga memperhatikan substansi tulisan. ”Dari tulisan ini pembaca baru sadar betapa pentingnya menjaga tekanan darah, bukan saja dapat menyebabkan stroke tapi juga penyakit yang tidak umum bahkan baru didengar orang awam kali ini yaitu Aortic Dissection. Tekanan darah saya pernah mencapai 170-90 dan harus minum obat darah tinggi pagi dan sore agar stabil di 130-80.”

Di seri berikutnya Ali Salim lagi-lagi menuliskan komentarnya: ”Luar biasa tulisan ini. Bukan hanya karena cerita yang turun naik, tegang, lucu, santai di tengah ancaman maut, tapi kita juga bisa mendapat ilmu yg luar biasa…’’

Ali Salim melanjutkan komentarnya. ”Kehidupan ini selalu menyisakan celah untuk bercanda di tengah ketegangan. Dan pada seri ke7 ini saat dokter mencoba mengikat sabuk di lengan, terlihat meski teknologi sudah sangat maju toh ada saja masalah sepele yang terjadi di ruang operasi.

Begitu juga anestesi yg biasanya 5 menit, ternyata harus tunggu 15 menit baru mati rasa semuanya. Mungkin anestesi masa kini lebih hati-hati dan butuh waktu lama?’’

”Memasukkan stent / pipa mirip selang pemadam kebakaran ke dalam tubuh renta manusia sungguh menakjubkan. Benda yang cukup besar. Apakah modelnya seperti klep yang terbelah di tengah dan dirapatkan stlh berada di dalam. Betapa organ manusia kini tak berbeda dengan organ kendaraan bermotor yang bisa digonta-ganti,’’ imbuh Salim.

”Rasanya pembaca beralih penasarannya kini dari masalah penyakitnya ke persoalan teknologi masa kini yang luar biasa maju,’’ kata Salim.

Saat tulisan sampai seri yang menceritakan penderitaan ayah saya Ali Salim menulis komentar. ”Dalam sebuah novel, menyelipkan tokoh baru yang berkaitan dengan cerita adalah cara untuk mengajak pembaca lebih kaya memperoleh informasi baru. Dan masuknya tokoh ayah di seri ke-8 yang berkaitan dengan keteter sangat pas.

Apalagi di sini muncul konflik bagaimana ber-Islam yang benar berkaitan dengan najis dan perkembangan ilmu, khususnya ilmu kedokteran.’’ Ali Salim, kiri, bersama Prof Sam Abede Pareno.

”Kisah Lanzhou Lamian tak kalah serunya karena mengingatkan pada seri awal saat dengan rakus menikmati kurma mentah di Madinah. Meski tak langsung berkaitan dengan penyakit tapi dampaknya sangat parah. Kalau dulu membuat perut penuh, yang sekarang bikin hati meradang.’’ Salim melanjutkan komentarnya.

Rupanya Ali Salim menangkap isyarat serial itu akan tamat di seri ke 9. Maka dia pun menulis, ”Jangan ditutup dulu. Saya kira butuh beberapa seri lagi. Untuk sebuah buku sekelas Ganti Hati butuh pendalaman yang lebih detail. Saya berharap edisi bukunya bakal ditambah informasi yg lebih rinci dn menyeluruh tentang penyakit ini.’’

Setelah seri 9 terbit Ali Salim menulis. ”Dalam edisi 9 tadi ada dakwahnya juga. Menyadarkan orang betapa Allah memberi organ-organ yang super mahal untuk manusia. Tapi dia juga bercanda: jangan-jangan aorta seharga 500 juta justru lebih kuat dari aslinya (fiber itu kekuatannya melebihi baja). Atau bahkan dapat menekan darah tinggi sehingga tak perlu obat penurun tekanan darah?’’

Setelah diumumkan serial bakal diperpanjang, Ali Salim menulis, ”Pembaca dibuat tegang lagi dengan ancaman berikutnya. Berat badan yang terus turun dan bahaya radiasi yang dapat saja menghidupkan kembali sisa kanker masa lalu…’’

Akhirnya Ali Salim memberi saya dorongan semangat. ”Seseorang yang lolos dari penyakit luar biasa dan akan menuliskan kejadian itu butuh pandangan dari sisi yang beragam. Hasil lab disimpan…. Angpao mengisyaratkan kabar baik.

Tapi kita tunggu dengan perasaan tak menentu. Kalau pergantian aorta ini sukses Insya Allah akan menjadikan seorang DI jauh lebih sehat sampai usia 80-90 bahkan lebih. Di dalam tubuhnya kini bekerja jantung milik anak muda plus aorta yang lebih kuat dari baja… Hehehe. Mereka yg berani mati utk mempertahankan hidup biasanya justru hidup lebih lama.’’

Ali Salim menutup komentarnya dengan humor politik. ”Berhubung nomor parpol peserta pemilu 2019 sampai 14, maka serial ini agar adil harus baru berakhir di atas nomor 14…..hahaha. Tapi Tuhan mungkin sudah menyiapkan manusia yang dengan kecerdasan luar biasa tak akan bisa hidup selamanya.

Ilmu kedokteran dan bangsa Indonesia akan selalu mengenang keberanian seorang DI yang pantang menyerah demi hidupnya dan demi ilmu pengetahuan. We always hope …good news… Manusia tak pernah lelah mengharap dan berdoa. Alhamdulillah, DI’S WAY akan jadi kampus kita semua, belajar banyak hal dalam satu klik.’’
Dahlan Iskan