25 radar bogor

Lolos dari Lubang Aorta Dissection: Menanti Angpao di Hari Imlek

Tentu saya tidak sabar menunggu waktu satu bulan. Saya sudah berusaha bersikap tenang. Saya tenang-tenangkan.

Tapi sesekali tetap muncul kegelisahan. Ancaman kanker di balik berat badan yang terus turun hanya berhasil membuat ketenangan itu terlihat di permukaan.

Tanpa izin dokter saya meme­riksakan darah ke laboratorium. Dua minggu lebih cepat dari “tunggu satu bulan lagi”. Toh, saya sudah tahu parameter apa saja di dalam darah yang bisa mengindikasikan kanker.

Saking seringnya ke laboratorium.

Terutama yang terkait dengan kanker hati dan kanker paru.

Hari itu petugas laboratorium terperangah. “Kok banyak sekali yang diperiksa, Pak?” tanyanya.

Saya teliti lagi daftar itu. Justru kurang!

Sekalian saya mau periksa alergi. Kok saya sering batuk-batuk kecil? Lalu saya hitung: 42 items yang saya minta.

Rupanya, petugas itu terperangah bukan soal banyaknya item yang saya ajukan. Tapi bagaimana cara mengemukakan kepada saya, berapa biayanya.

Dengan ragu dan dengan suara ditahan, petugas itu bilang… ”Pak…biayanya ini Rp15 juta sekian…”

Setelah saya bilang “Wow…mahal ya…”

Dia lantas meneliti lagi daftar itu.

Tentu saya mampu membayarnya. Tapi pikiran saya melayang jauh. Begini mahalnya kesehatan. Bagaimana dengan yang tidak mampu? Menyerah untuk meninggal? Dengan
dalih berserah pada takdir?

Di sinilah letak perlunya kebijakan negara di bidang kesehatan. Banyak negara maju mengambil kebijakan menjamin kesehatan rakyatnya dibanding bagi-bagi program
sosial yang nilainya juga triliunan rupiah.

Orang miskin yang berhasil keluar dari garis kemiskinan lantaran kerja keras, akan dengan mudah jatuh miskin lagi manakala salah satu anggota keluarganya jatuh
sakit. Apalagi kalau yang sakit adalah anggota keluarga yang menjadi tulang punggung.

Saya ingat tahun 2013. Saat BPJS lahir.

Saat itu negara baru mampu menyediakan anggaran Rp19 triliun per tahun. Saya usul agar dinaikkan menjadi Rp35 triliun. Setidaknya Rp25 triliun.

Secara pengelolaan, BPJS memang di bawah kementerian BUMN saat itu sehingga saya merasa harus ikut menanganinya.

Saya bersama direksi BPJS sudah menghitung. Dengan anggaran Rp19 triliun pasien tidak akan puas. Jenis sakit yang bisa dibpjskan terbatas. Dokter juga tidak
puas. Honor dokter hanya Rp1.000 untuk satu pasien. Padahal ongkos parkir saat itu sudah Rp2.000. Harga diri dokter seperti jatuh di bawah tukang parkir.

Waktu saya usulkan Rp35 triliun saya juga beralasan begini: jangan tanggung-tanggung dalam membela orang miskin. Tapi juga jangan memanjakan dan membuat mereka malas. Membuat mereka sehat pun harus disertai setelah sehat harus kerja keras.

Tapi anggaran negara memang terbatas. Akhirnya diputuskan tetap Rp19 triliun. Dengan harapan tiap tahun harus dinaikkan. Sekalian dicoba dulu apakah harus ada sistem yang masih perlu dikoreksi.

Terutama bagaimana mengatasi kasus seperti berikut ini. Ada orang mampu periksa ke dokter jantung yang mahal. Setelah hasil diagnosa mengharuskannya operasi jantung dia tidak langsung operasi.

Dia masuk BPJS dulu. Dengan iuran yang kurang dari Rp30 ribu. Dengan BPJS itu dia bisa operasi jantung gratis. Setelah operasi dia minta dirawat di ruang VIP.

Katanya: akan bayar sendiri.

Kejadian seperti itu benar-benar ada. Mungkin sekarang peluang penyalahgunaan seperti itu sudah diatasi. Atau belum. Saya tidak mengikuti lagi perkembangannya.

Sekarang anggaran BPJS mungkin juga sudah jauh meningkat. Sesuai dengan bertambah besarnya APBN.

Tapi tiap tahun juga akan terjadi “rebutan” anggaran. Antar ke­men­­terian. Termasuk kemen­terian keuangan yang harus menyerap anggaran luar biasa besar untuk
bayar hutang dan cicilan. Yang tidak bisa ditawar.

Di sinilah letak perlunya “kebijakan yang harus memihak”. Memihak yang miskin. Dengan cara yang benar. Bukan kebijakan yang mengeluarkan anggaran besar tapi
hasilnya ternyata hanya memelihara dan melestarikan kemiskinan.

Kepada petugas laboratorium, saya juga mengatakan apakah biaya yang Rp15 juta itu tidak bisa dikurangi. Dia memeriksa daftar lebih teliti. “Bebe­­­­rapa item
ini ada diskonnya, Pak,” katanya.

Setelah hitung-hitung jatuhnya Rp13 juta sekian.

Saya lihat lagi daftar apa saja yang harus diperiksa dari darah saya. Bisakah dikurangi.

Ternyata tidak ada lagi. Lalu saya hitung berapa items yang harus diperiksa. Ternyata 42 items. Wowwww… banyak sekali. Tapi biarlah.

“Pengambilan darahnya nanti seperti donor darah, Pak…,” ujar petugas itu sambil senyum.

“Sudah biasa..” jawab saya.

Memang itu bukanlah pengambilan darah yang terbanyak. Sudah sering seperti itu. Baik saat operasi ganti hati dulu atau operasi aorta akibat dissection kali ini.

“Hasil­­nya tidak bisa hari ini semua, Pak…” kata petugas. Ada yang baru jadi di hari Valentine tanggal 13 Februari dan ada yang baru jadi di malam tahun baru
Imlek 15 Februari.

Itu, terutama yang terkait dengan indikasi munculnya kembali kanker, yang labnya perlu waktu sampai empat hari.

Hasil yang hari juga bisa keluar adalah darah lengkap dan sebangsanya. SGOT bagus (19), SGPT bagus (19), kolesterol bagus (151). Trigliserida sip (4,8). Gula
darah baik (99). Asam urat notmal (5,2). Kreatinin gak masalah (0,91). Urine ok.

Tapi bukan itu yang saya tunggu. Angpao yang paling berharga yang saya tunggu di hari raya Imlek ini adalah kabar baik dari laboratorium tentang indikasi
munculnya kembali kanker yang semoga tidak.
(bersambung)