25 radar bogor

Mengenal Gejala-Gejala Depresi

ilustrasi depresi
ilustrasi depresi

Masih hangat dalam ingatan, Jonghyun, personel idol group Korea SHINee, mengakhiri hidupnya karena depresi pada Desember lalu. Melihat statusnya sebagai idola anak muda, aksi tragis itu rawan dijadikan contoh oleh para fans-nya. Bagaimana agar orang terdekat kita tidak mengalami hal serupa?

KABAR meninggalnya Kim Jong-hyun (Jonghyun) pada 18 Desember 2017 mengentak kesedihan Tri Yuliza. Penggemar K-pop itu merasa shocked. Inginnya tak percaya, tapi kejadian itu benar adanya. Sang lead vocalist SHINee telah pergi di usia 27 tahun. Dia ditemukan tewas karena keracunan karbon monoksida di apartemen yang disewanya. Ditemukan briket batu bara yang terbakar di penggorengan.

Jonghyun ditengarai sengaja menghirup gas beracun tersebut. Dia meninggalkan pesan yang berisi salam perpisahan. ’’Sedih sekali, seperti patah hati. Dia pasti mengalami masalah yang amat berat sampai mengambil keputusan itu,’’ ujar Liza, sapaan Tri Yuliza.

Selama sepekan setelah meninggalnya Jonghyun, Liza terus menonton video-videonya. Setelah itu, Liza menyadari bahwa dirinya tidak boleh larut dalam kesedihan. Dia melihat kejadian itu sebagai pengingat untuk mengelola perasaan dengan baik. Jangan sampai depresi, apalagi berpikiran untuk mengakhiri hidup sendiri.

Dokter Andri SpKJ FAPM dari Klinik Psikosomatik RS OMNI Alam Sutera Tangerang menjelaskan, depresi merupakan gangguan suasana perasaan yang ditandai oleh penurunan mood, tidak adanya harapan, perasaan putus asa, hampa, disertai ketidakmampuan menjalankan sesuatu yang biasanya dia lakukan atau bisa dia nikmati.

’’Biasanya kondisi depresi itu berlangsung minimal dua minggu,’’ jelas dia.

Gejala-gejala lain, sulit tidur atau kebanyakan tidur, sulit konsentrasi, nafsu makan yang berkurang atau justru bertambah, serta ada keluhan fisik yang tidak jelas. ’’Depresi ini sebenarnya gangguan kejiwaan,’’ tutur dr Andri.

Ada diagnosis dengan kriteria-kriteria seperti di atas. Seseorang bisa mengalami stres, tapi belum tentu dia depresi. Misalnya, stres 2–3 hari, lalu selesai. ’’Stres lebih dari dua minggu bisa dimasukkan kategori depresi ketika memenuhi kriteria-kriterianya,’’ lanjutnya.

Anggota The American Psychosomatic Society dan fellow The Academy of Psychosomatic Medicine di AS tersebut mengungkapkan, depresi merupakan kondisi medis. Orang sering mengatakan, depresi itu terjadi karena imannya lemah, kurang sabar. Padahal bukan itu.

Berdasar Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, gejala-gejala yang berkaitan dengan masalah depresi, gangguan kecemasan, ataupun gangguan kejiwaan (yang bukan psikosis) itu cukup tinggi. Sekitar 15–20 persen. Prevalensinya meningkat pada pasien yang mengalami kondisi medis. Terutama yang kronis seperti diabetes, penyakit jantung, nyeri kanker, dan semacamnya.

Menanggapi fenomena figur publik atau selebriti yang mengidap depresi, dr Andri menuturkan, ’’Mungkin mereka tidak bisa beristirahat sebagaimana mestinya. Memaksakan diri untuk show, banyak tekanan dari haters, juga tuntutan untuk selalu tampil sempurna.’’

Dia menambahkan, penyebab depresi belum diketahui secara pasti. ”Penyebabnya multifaktor. Stres berkepanjangan itu salah satu pemicu, bukan penyebab,’’ lanjut dia. Bisa karena faktor bawaan (genetik) atau faktor psikologi yang terbentuk dari pola asuh. Bisa juga faktor sosial, lingkungan kerja, sekolah, dan kuliah.

Ketika seseorang mengalami depresi, pada otaknya terjadi penurunan serotonin, yakni senyawa kimia yang turut berperan dalam mengelola mood positif.

Penanganannya pun berhubungan dengan bagaimana kita meningkatkan serotonin pada otak. Mengaktifkan kembali kerja sistem saraf pusat di otak agar menghasilkan lebih banyak serotonin. ’’Bisa dengan menambahkan obat antidepresan golongan serotonin,’’ jelas dr Andri.

Selain obat, harus didukung konseling, psikoterapi, terapi kognitif, terapi perilaku, psikoanalisis, terapi keluarga, terapi kelompok, maupun terapi okupasi.(nor/c7/na)