25 radar bogor

Kisah Tim LHKPN KPK Mencatat Laporan Kekayaan Bakal Calon Kepala Daerah

FEDRIK TARIGAN/ JAWA POS SERIUS: Suasana ruangan pelaporan LHKPN di KPK, Jakarta, Rabu (24/1/18).
FEDRIK TARIGAN/ JAWA POS
SERIUS: Suasana ruangan pelaporan LHKPN di KPK, Jakarta, Rabu (24/1/18).

Sistem baru pelaporan harta kekayaan peserta pemilihan kepala daerah (pilkada) yang berbasis online membuat sebagian besar calon kebingungan. Bahkan, ada yang sampai mengurus syarat pencalonan itu hingga berhari-hari. Padahal, idealnya, hanya butuh waktu 15 menit saja.

PONSEL pintar (smartphone) Rika Krisdianawati berdering. Terlihat notifikasi pesan masuk di layar gawai berukuran sekitar 5 inci itu. Bergegas, dia meraih ponsel dan membuka kiriman pesan tersebut. Sambil memicingkan mata, pesan itu dibaca perlahan. Sedetik kemudian, dia menarik napas cukup dalam sambil mengernyitkan dahi.

”Silakan baca SE (surat edaran, red)!!” perintah ketua tim pendaftaran LHKPN KPK itu dalam teks balasan yang dikirim ke nomor pengirim pesan tersebut.

Tidak lama kemudian, ponsel perempuan berjilbab itu kembali berdering. Lagi-lagi, bunyi pemberitahuan penanda pesan masuk. Dengan wajah yang masih sedikit kesal, dia membaca setiap kalimat dalam pesan itu.

”Kalau belum membaca SE, saya minta jangan tanya dulu,” ujarnya membacakan isi pesan balasan yang dia kirim ke nomor pengguna layanan elektronik LHKPN (e-LHKPN) KPK tersebut saat ditemui Jawa Pos, (24/1).

Cerita itu merupakan pengalaman Rika selama melayani pendaftaran LHKPN calon kepala daerah. Sejak 8 sampai 20 Januari lalu, Rika bersama 29 orang anggota tim LHKPN KPK lainnya membuka layanan khusus itu bagi peserta pilkada. Baik itu online melalui aplikasi e-LHKPN maupun secara manual menggunakan format Excel.

Total, ada 1.150 orang yang berkewajiban mendaftar LHKPN sebagai salah satu syarat pencalonan kepala daerah. Tahun ini, pelaporan harta kekayaan calon mengedepankan penerapan sistem online.

Dengan begitu, calon tidak perlu jauh-jauh datang ke gedung KPK di Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan. Mereka cukup mengakses sistem lewat internet di daerah masing-masing.

Pilkada sebelumnya, pendaftaran LHKPN masih dilakukan secara manual. Yakni dengan cara mengisi formulir (form) A bagi peserta yang baru pertama melaporkan harta kekayaannya dan form B untuk calon yang sudah memiliki akun LHKPN.

”Yang sekarang sebenarnya lebih simpel kalau mereka (calon pilkada) sudah paham caranya,” timpal Ketua Satuan Tugas (Kasatgas) Pendaftaran dan Pemeriksaan LHKPN KPK Kunto Ariawan.

Tim LHKPN pilkada merupakan pegawai KPK dibawah Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan LHKPN KPK. Diantara 100 pegawai di direktorat itu, 30 orang ditugaskan khusus mengurusi pendaftaran dan pemeriksaan harta kekayaan setiap calon. Nah, Kunto merupakan ketua tim yang membawahi pendaftaran sampai proses verifikasi harta kekayaan yang dilaporkan itu.

Meski sudah disosialisasikan jauh-jauh hari, ternyata masih banyak peserta, terutama tim sukses (timses) calon, yang kebingungan dengan sistem baru itu. Pun, mereka harus bolak-balik bertanya ke petugas LHKPN. Terutama ke petugas bagian penerimaan pendaftaran. ”SE dan tutorial sebenarnya juga sudah kami sosialisasikan,” jelas Kunto.

Ada 40 persen atau 500 orang di antara 1.150 peserta calon yang membutuhkan waktu tiga hari untuk menyelesaikan pendaftaran LHKPN. Padahal, idealnya, mereka bisa menuntaskan tahapan itu dalam waktu 15 menit saja. ”Kalau ditotal, ada 40 persen yang mendaftar menggunakan format Excel, dan 60 persen lewat online,” ujar pria yang genap berusia 40 pada tahun ini tersebut.

Menariknya, banyak cerita lucu dan menggemaskan dari para timses calon peserta yang kebingungan melakukan proses input data kekayaan itu. Mereka mayoritas mendaftarkan LHKPN mendekati deadline. Cerita Rika yang berkali-kali menerima pesan singkat berisi pertanyaan dari timses calon merupakan salah satunya.

Cerita lain, misalnya, timses calon pilkada dari salah satu daerah di Sulawesi. Timses itu mendaftar LHKPN secara manual di KPK.

Nah, saat diminta membuat akun electronic mail (email) oleh petugas pendaftaran, timses itu mengaku tidak bisa. Parahnya lagi, pria yang tampak masih muda dan stylish itu juga tidak berani membuka laptop yang disediakan.

”Padahal HP-nya merek canggih. Akhirnya kami yang bikinkan akun email,” ingat Kunto lantas tersenyum gemas. Saat ditanya petugas, timses itu ternyata sama sekali tidak tahu cara membuat akun email.

Akun media sosial (medsos) milik timses itu pun dibikinkan oleh orang lain. ”Dibikinkan orang konter HP katanya,” ungkap bapak empat anak itu.

Ada pula cerita bakal calon bupati yang datang ke KPK tanpa membawa dokumen kekayaan yang didaftarkan. Akhirnya, calon itu pun diminta pulang dan mengambil berkas-berkas tersebut. ”Ada juga calon yang datang ke sini (KPK), tapi dokumennya dikirim lewat pos. Jadi orangnya sudah sampai, tapi dokumennya belum,” ingat Kunto sambil menahan tawa.

Sebagian besar, kesalahan-kesalahan sepele yang terjadi dalam pendaftaran LHKPN itu terjadi karena kurang cermatnya timses calon dan calon itu sendiri.

Seperti tidak mencan­tum­kan kode calon pilkada saat mengirim surat dokumen ke KPK hingga kesalahan memasukkan data angka kekayaan. Kesalahan-kesalahan itulah yang membuat proses LHKPN selesai berhari-hari.

”Banyak surat-surat yang tidak mencantumkan identitas. Jadi bagian persuratan KPK tidak langsung menyerahkan ke kami (LHKPN, red),” terangnya. Padahal, dalam sehari, ada ribuan surat yang masuk ke KPK.

Dengan demikian, surat yang nyasar sangat sulit ditemukan. ”Kami jemput bola. Setiap hari kami ke bagian persuratan untuk mengecek apakah ada calon yang mengirim surat.”

Untuk peserta calon yang keliru memasukan data angka kekayaan terjadi pada pelaporan LHKPN cabup Pinrang, Sulawesi Selatan Jamaluddin Jafar. Timses calon tersebut sempat keliru memasukkan angka.

Yakni dari yang seharusnya Rp8,9 miliar menjadi Rp8,9 triliun. Akibat kesalahan itu, Jafar sempat diberitakan sebagai calon terkaya se-Indonesia. ”Timsesnya salah masukin angka,” ungkapnya.

Faktor lain yang membuat pendaftaran LHKPN menjadi lama adalah karena tidak stabilnya jaringan internet yang digunakan calon. Penyebab lain lantaran sulitnya menghubungi nomor pribadi timses calon.

Dua kondisi itu membuat tahap screening dan validasi kekayaan yang didaftarkan terhambat. ”Kami menelepon mereka (calon) kalau ada data yang kurang cocok,” ungkapnya.

Kunto menambahkan, setelah pendaftaran, tim LHKPN memverifikasi harta kekayaan yang dilaporkan. Ada enam orang di bagian itu. Mereka mencocokan isian data yang tercantum di formulir pendaftaran dengan dokumen pendukung yang dilampirkan. ”Ada juga tim yang turun ke lapangan untuk mengecek kekayaan yang dilaporkan,” imbuh jebolan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) itu.

Secara umum, Kunto menyatakan, kesalahan sepele itu hampir dilakukan seluruh calon. Bukan hanya calon dari daerah pinggiran, tapi juga calon yang mengikuti kontestasi pilkada di Jawa.

Selain karena kurang teliti, kesalahan itu juga disebabkan karena lemahnya sumber daya manusia (SDM) timses calon. ”Kalau mereka membaca aturan, sebenarnya tidak sulit,” tuturnya.

Semoga kebingungan calon saat mendaftarkan harta kekayaan itu tidak menjadi kebiasaan saat terpilih nanti. Sebab, bila mengurus harta saja bingung, bagaimana nanti menyelesaikan persoalan masyarakat yang lebih rumit?(tyo)