25 radar bogor

Mengukur ”Zulhasan Effect” dalam Isu LGBT

Ilustrasi Pilpres 2019 (Koko/JawaPos.com)
Zulkifli Hasan (Twitter/ZUL_Hasan)

Pro-kontra atas pernyataan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan (Zulhas) soal lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) masih terus berlanjut. Seperti sebuah gempa dahsyat, efek getarannya masih terasa hingga hari ini. Bahkan banyak yang tidak menyadari, efeknya berjangka panjang. Setidaknya ada tiga efek dari statemen tersebut. Efek jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

Pertama, efek jangka pendek. Yang paling banyak bereaksi adalah kalangan politisi. Mereka beramai-ramai menyatakan partainya menolak LGBT. Ketua DPR Bambang Soesatyo yang juga politisi Golkar bahkan sampai harus menyatakan akan mempertaruhkan jabatannya bila sampai LGBT dilegalkan.

Reaksi ini sangat wajar karena sejumlah survei menunjukkan hampir semua pemilih -bukan sekadar mayo­ritas- menolak keras praktik LGBT. Tidak hanya di kalangan pemilih usia tua yang konotasinya konservatif, bahkan generasi milenial yang dicirikan lebih terbuka dan permisif pun menolak keras.

Survei yang dilakukan oleh Median menyebutkan sekitar 96.5 persen responden menolak dengan keras LGBT. Sementara hasil survei CSIS menunjukkan 78,92 persen generasi milenial juga menolak LGBT, dan 15.86 persen kurang menerima. Sisanya, 3.96 persen cukup menerima, dan yang sangat menerima jumlahnya sangat kecil, hanya 1,26 persen.

Perilaku pemilih kita yang dikonfirmasi oleh dua survei tadi tampaknya menjadi alasan di balik reaksi keras sejumlah partai atas pernyataan Zulhasan.

Mulai dari partai yang berada di sayap kiri (PDIP), tengah (Golkar, NasDem, Demokrat, Gerindra, dan Hanura), sampai partai di sayap kanan (PPP, PKB, PAN, dan PKS). Tidak ada satu pun parpol yang ingin mendapat stempel, atau setidaknya diasosiasikan sebagai pendukung LGBT.

Citra sebagai parpol pendukung LGBT dikhawatirkan akan sangat memengaruhi keputusan para pemilih dan menggerus habis suara mereka dalam Pileg 2019. Efek elektoral tersebut tampaknya juga akan sangat berpengaruh dalam pilkada. Apakah partai atau kandidatnya menjadi pendukung LGBT atau tidak, akan sangat menentukan keterpilihan seorang kandidat? Apalagi bila ada seorang kandidat yang terindikasi sebagai pelaku LGBT, dampaknya akan sangat buruk.

Kedua, efek jangka menengah. Hancurnya kampanye para pen­dukung LGBT. Selama ini, para pendukung gerakan tersebut sangat agresif dan sudah berani terbuka. Mereka sangat aktif melakukan kampanye melalui berbagai medium.

Ada yang menggarapnya melalui jalur budaya, akademik, penggalangan opini media dan medsos melalui berbagai artikel, games, jalur politik, dan jalur hukum. Para pendukung LGBT ini biasanya menggunakan pendekatan hak asasi manusia (HAM) sebagai selubung dan pem­benaran (cover and justification). Yang mereka dengung-dengungkan jika Indonesia ingin maju dan diakui setara dengan negara beradab lainnya, haruslah bisa menerima LGBT sebagai realitas sosial. Tagline-nya “Indonesia tanpa Diskriminasi.”

Memasyarakatkan LGBT adalah gerakan liberal dan sekulerisme global yang didukung PBB dan di-support dengan dana besar. Melalui United Nation Development Prog­ramme (UNDP), PBB mengge­lontorkan dana sebesar USD 8 juta untuk membantu LSM dan pero­rangan mengampanyekan dan mengadvokasi pelaku LGBT di Indonesia, Tiongkok, Filipina, dan Thailand.

Di luar jalur opini, mereka juga melakukan berbagai gerakan yang simultan. Melalui Komisi HAM PBB (UNCHR) mereka aktif menekan pemerintah Indonesia. Sementara, melalui jalur LSM dan perorangan melakukan lobi-lobi di DPR, terutama melalui badan legislasi.

Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di DPR menjadi pintu celah bagi mereka untuk sedikit memperlonggar keten­tuan pidana atas perilaku LGBT.

Melihat ‘time table’ kampanye UNDP yang berlangsung Desember 2014-September 2017, maka awal 2018 ini seharusnya situasi di Indonesia sudah cukup kondusif bagi praktik LGBT. Mereka mencoba masuk melalui jalur legislasi.

Namun, statemen Zulhasan menyebabkan semuanya menjadi mentah. Kampanye yang mereka bangun sekian lama, dengan dana yang cukup besar menjadi berantakan. Banyak anggota DPR yang ditengarai menjadi pendukung idiologi LGBT, balik kanan, putar haluan. Mereka sangat kaget dan tidak menduga reaksi yang muncul begitu dahsyat.
Dalam jangka menengah, tampak­nya aktivitas kampanye dukungan atas LGBT akan mengalami mati suri. Kalau toh tidak mati, mereka harus bersusah payah membangun kembali dari nol.

Ketiga, efek jangka panjang. Dalam RUU KUHP yang kini tengah dibahas di DPR, masalah pemidanaan atas LGBT menjadi salah satu topik paling me­narik perhatian. Isu tersebut men­jadi bola panas setelah Mahka­mah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materil atas kumpul kebo dan LGBT.

Semula dalam rumusan Pasal 492 menyebutkan yang dapat dipidana hanya praktik hubungan sesama jenis antara orang dewasa dengan anak di bawah usia 18 tahun, atau dilakukan dengan kekerasan. Beberapa fraksi seperti PAN, PKS, dan PPP meminta agar rumusan pasal tersebut diperluas. Perdebatan soal pasal ini sangat alot.

Setelah heboh pernyataan Zulhasan bahwa ada lima fraksi yang mendukung LGBT, semua fraksi kompak mendu­kung agar rumusan pidana LGBT diperluas. Bahkan rumusan tersebut mencakup perilaku pencabulan sesama jenis yang dipertontonkan di depan umum. Para penganjur dan pendukung LGBT juga diusulkan bisa terkena pidana.

Tak heran bila banyak kalangan yang kemudian berterima kasih kepada Zulhasan. Sebab karena pernya­taan­nyalah peta opini publik maupun pembahasan rumusan pasal LGBT dalam RUU KUHP menjadi berubah drastis. Banyak yang curiga lobi-lobi pendukung LGBT ikut bermain di balik alotnya pembahasan rumusan pasal tersebut.
Hampir dapat dipastikan RUU KUHP yang akan disahkan di dalam­nya mencantumkan pemidanaan terhadap perilaku LGBT dengan rumusan hukum diperluas. Konskuensinya menjadi jangka panjang.

KUHP yang saat ini tengah dibahas oleh DPR adalah UU produk Indonesia yang diharapkan akan menggantikan KUHP buatan kolonial Belanda. Untuk mengganti/membuat sebuah UU yang baru, prosesnya sangat panjang dan berliku. Memerlukan waktu sampai 73 tahun bangsa Indonesia merdeka, baru kita akan memiliki KUHP buatan sendiri.

Perubahan sikap fraksi-fraksi di DPR merupakan malapetaka bagi para pendukung LGBT. Sebaliknya, menjadi angin segar bagi para penentangnya.

Sebuah media menobatkan Zulhasan sebagai “Tokoh Pekan Ini,” karena besarnya efek dari per­nyataannya. Namun melihat dampak dari pernyataannya, sudah jelas efeknya tidak hanya akan bertahan sepekan. Bisa sampai bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun mendatang.

Inilah barangkali yang dapat disebut sebagai ”Zulhas Effect” dalam kamus baru politik dan hukum Indonesia.

Hersubeno Arief

Konsultan Politik & Media