25 radar bogor

Derita dari Tenda-tenda Pengungsi Korban Terdampak Gempa di Malasari

MINIM MAKANAN: Seorang ibu memasak di depan tenda pengungsi yang terbuat dari terpal, di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor kemarin (24/1).
MINIM MAKANAN: Seorang ibu memasak di depan tenda pengungsi yang terbuat dari terpal, di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor kemarin (24/1).

Kabar gempa Banten diiringi banyak berita bohong. Tapi, duka warga Bogor terdampak gempa, bukan hoax. Di wilayah selatan dan barat Bumi Tegar Beriman, ratusan jiwa kehilangan tempat tinggal yang layak. Rumah-rumah mereka hancur diguncang getaran tektonik 6,1 Skala Richter (SR). Kini, anak-anak hingga lansia terpaksa hidup dalam tenda-tenda pengungsian, berselimut dingin dan serba kekurangan.

Laporan: Rany Puspitasari

SALAH satu titik terparah wilayah terdampak gempa ada di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Di lokasi ini, sebanyak 873 jiwa mengungsi di dua tempat. Pertama di Kampung Citalahap, tepatnya di kawasan latihan Brimob sebanyak 54 KK dan 170 jiwa, serta di lapangan Volly Bali Nirmala, Desa Malasari, sebanyak 204 KK dan 703 jiwa. Mereka terpaksa mendiami tenda-tenda darurat.

Sepanjang hari kemarin, bantuan terus mengalir ke dua lokasi ini. Namun, bantuan tersebut masih dirasa minim, mengingat banyaknya jumlah pengungsi. Sementara distribusi bantuan terkendala lokasi yang sulit dijangkau. Bila melihat data alat navigasi, jarak Desa Malasari sekitar 56 kilometer dari pusat Kota Bogor. Jaraknya sekitar dua jam perjalanan dari kantor Kecamatan Nanggung.

Pemandangan memilukan terlihat di sepanjang perjalanan menuju lokasi pengungsian. Di kanan-kiri jalan, tampak rumah-rumah warga yang roboh dan hancur di sana-sini. Rumah-rumah itu tak lagi layak dihuni. Sementara barang-barang perabotan rumah tangga terlihat dikumpulkan di halaman rumah masing-masing. “Kami gak bisa metik (teh, red). Operasional stop dulu, mengungsi dulu,” tutur Samsul (54), warga sekitar yang bekerja sebagai buruh pemetik teh.

Menurut Samsul, sekitar 90 keluarga di kampungnya terpaksa menempati pengungsian di Kampung Citalahap. Hampir semua bangunan yang berada kampung tersebut tidak bisa ditempati kembali. Empat tenda yang ada merupakan bantuan TNI dan Polri. ”Nyaman, yang penting bisa istirahat,’’ ucapnya, masih bisa tersenyum.

Namun, Samsul mengeluhkan minimnya bahan pangan. Adapun yang tersisa tak bisa diolah lantaran kemarin belum ada dapur umum. Ia berharap, bantuan bahan makanan segera terkirim karena sebagian besar pengungsi merupakan anak-anak dan lansia.

Alasan warga tak mau kembali ke rumah, lantaran desa mereka berada di bawah tebing yang sudah retak-retak dan dikhawatirkan longsor. Kekhawatiran itu diungkapkan Suryadi, warga Kampung Nirmala RT 02/08, Kadus 4, Desa Malasari. Rumah Suryadi bersama ratusan warga lainnya tidak begitu rusak parah, hanya saja, mereka khawatir longsor mengancam jiwa.

”Di atas desa kami itu ada tebing sekitar 300 meter tingginya, terlihat retak-retak pascagempa. Kami takut banget longsor, makanya lebih baik mengungsi ke tempat pengungsian yang lebih aman,” jelasnya kepada Radar Bogor.

Hari pertama mengungsi, ia bersama aparatur desa, RT dan RW membuat tenda sendiri berbahan terpal dan hanya disangga bambu dengan kondisi tenda terbuka. Hal itu membuat sejumlah pengungsi menderita sakit flu akibat cuaca yang ekstrem.

Kata Suryadi, hari pertama mengungsi, hujan turun tidak henti ditambah angin kencang. Rasa takut bencana susulan juga harus dirasakan sembari menahan lapar, karena mereka tidak memiliki makanan. Hingga siang kemarin (24/1) sekitar pukul 01.00, baru ada bantuan berupa mi dan beras.

”Kami hanya makan beras mengandalkan air termos yang ada saja. Karena untuk masak nasi, harus balik ke rumah, kami tidak berani. Makanya, sampai sekarang (Rabu malam, red) kami baru makan mi rebus dari kemarin mengungsi,’’ beber Suryadi.

Menurutnya, beberapa pengungsi pun ada yang memakan nasi hari-hari kemarin yang tinggal sisa-sisa untuk anak dan perempuan saja. Sementara lainnya, baru makan mi rebus yang didapat dari bantuan PT Antam.

Katanya, hingga hari ini, stok makanan mungkin masih ada. Akan tetapi, mereka juga sangat membutuhkan selimut, pakaian anak-anak, susu anak, popok bayi serta pembalut wanita, juga air mineral.

”Kami juga berharap ada kepastian status tebing aman, biar kami bisa kembali ke rumah, membangun dengan bantuan juga. Setidaknya kami bisa masak-masak di rumah,” katanya.
Senada, Ketua RW 8 Kampung Nirmala Desa Malasari, Pupud, yang juga mengungsi, mengatakan bantuan tenda dari Brimob di tempatnya mengungsi baru ada satu. Selebihnya masih mengandalkan tenda dari terpal dan memanfaatkan sebuah panggung yang ditutup pula dengan terpal.

Jadi, baru satu tenda yang setidaknya hangat karena tertutup. Namun sayangnya, karena hujan yang tak kunjung reda ditambah kabut tebal yang sangat dingin, satu-satunya tenda dari Brimob pun kebanjiran sehingga pengungsi tidak bisa tidur di dalam.

”Nah, makanya, saya dan warga memanfaatkan panggung yang ada di sini. Beberapa tidur di panggung yang kami tutupi dengan terpal dan plastik itu, supaya tidak kedinginan dan kehujanan,’’ ungkapnya.

Pupud membenarkan bahwa hingga saat ini, mereka baru makan satu kali, yaitu mi rebus sejak mengungsi. ”Membeli makanan di warung pun, atau keperluan lain, misalnya popok atau susu, harus cepat-cepat karena takut longsor,” tambahnya.

Ia sangat berharap bantuan terus datang untuk memberikan makanan dan keperluan anak-anak serta obat-obatan dan peng­hangat, seperti selimut atau baju.

Sementara itu, titik pengungsian kedua berada beberapa kilometer dari lokasi pengungsian pertama, yakni di Kampung Nirmala, Desa Malasari. Kondisi penampungan di lokasi ini lebih mem­priha­tinkan. Satu hari pascagempa, di lokasi tersebut belum berdiri tenda penampungan. Sekitar 30 keluarga secara inisiatif membuat tenda menggunakan terpal plastik. “Terpaksa kami buat tenda di lahan tengah perkebunan. Kami belum dapat bantuan,” kata Engkan (36), salah seorang pengungsi.(*)