25 radar bogor

Suami Istri Boleh Sekantor

Jakarta–Kabar gembira datang untuk para karyawan dan buruh di Indonesia. Hal itu menyusul adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus larangan pernikahan satu kantor yang selama ini banyak diterapkan banyak perusahaan.

MK mencabut frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Putusan tersebut merupakan buah dari gugatan yang diajukan oleh serikat pekerja PLN. Mereka sebelumnya mempersoalkan aturan yang dinilai diskriminasi tersebut.

Dalam pertimbangannya, MK menilai norma tersebut bertentangan dengan banyak ketentuan. Di antaranya Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) UU 39/1999 tentang Pernikahan, Pasal 6 ayat (1) Kovensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi oleh UU 11/2005, dan Pasal 23 ayat (1) Deklarasi HAM PBB.

“Perkawinan adalah takdir yang tidak dapat direncanakan maupun dielakkan,” ujar Ketua MK Arief Hidayat di Gedung MK, Jakarta, kemarin (14/12).
Oleh karena itu, menjadikan sesuatu yang bersifat takdir sebagai syarat mengesampingkan pemenuhan hak asasi manusia, bukanlah alasan yang konstitusional.

Sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, pembatasan terhadap HAM hanya dapat dilakukan dengan maksud menjamin penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Terkait alasan pelarangan nikah satu perusahaan untuk mencegah hal-hal negatif yang terjadi di lingkungan perusahaan, mahkamah berpendapat alasan demikian tidak memenuhi syarat pembatasan konstitusional sebagaimana yang termuat dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Menyangkut kekhawatiran tersebut, MK menilai dapat dicegah dengan merumuskan peraturan perusahaan yang ketat.

”Sehingga memungkinkan terbangunnya integritas pekerja yang tinggi dan terwujud kondisi kerja yang baik, profesional, dan berkeadilan,” imbuhnya.

Sementara itu, salah seorang pemohon Taufan mengapresiasi putusan tersebut. Dengan adanya putusan MK, dia berharap tidak ada lagi orang yang kehilangan hak pekerjaan hanya karena ingin menunaikan perintah agama. “Aturan itu selama ini sudah melanggar HAM,” ujarnya.

Dia juga berharap, Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) segera menindaklanjuti putusan tersebut. Caranya dengan merevisi sejumlah aturan di bawah undang-undang. “Termasuk juga peraturan di perusahaan-perusahaan,” imbuhnya.

Dengan adanya norma baru, Taufan juga meminta para karyawan untuk memproses secara hukum jika ada perusahaan yang masih menerapkan larangan tersebut.
Direktur Keuangan (Dirkeu), PT PP Properti Tbk (PPRO), Indaryanto mengaku tetap akan menjalankan kebijakan perusahaan saat ini mengenai aturan perkawinan dengan teman sekantor.

Dengan kata lain, pegawai tidak perlu resign atau keluar saat menikahi teman sekantor, namun akan dibedakan divisinya.

”Boleh (menikah dengan teman sekantor) tapi tempatnya tidak mungkin sekantor, nanti kalau di rumah bertengkar, di kantor bertengkar juga. Jadi, kita tetap maintenance,” jelas dia usai menghadiri Outlook Ekonomi Pasar Modal 2018 di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis (14/12).

Menurut Indaryanto, sumber daya manusia merupakan aset perusahaan sehingga mesti ada solusi aturan untuk menjaga mereka. ”Kalau di PP Properti boleh nikah sekantor, tapi nanti suami atau istri di tempatnya di kantor pusat dan kantor proyek,” paparnya.

Dengan demikian, suami atau istri nantinya akan ditempatkan di divisi yang berbeda. Yang satu di kantor pusat dan satu lagi dapat bekerja di kantor proyek. Aturan untuk pegawai ini berbeda dengan di induk usaha perusahaan, PT Pembangunan Properti (PP) Tbk.

”Jadi, yang satu nanti di kantor pusat dan satu lagi di kantor proyek. Proyek kan biasanya butuh waktu minimal 4-7 tahun. Sementara di PT PP, kebijakannya memang harus keluar salah satunya,” jelas Indaryanto.(far/net)