25 radar bogor

Relawan Pendamping Samarinda, Teman Setia saat Pulang Malam

HERMINA/KALTIM POST SEMPATKAN WAKTU: Adi Nurwansyah (tengah), salah seorang pendiri RPS, bersama Suharyono sebagai koordinator lapangan. Sedangkan Evi Wulandari adalah anggota RPS yang bertanggung jawab dalam urusan administrasi.
HERMINA/KALTIM POST
SEMPATKAN WAKTU: Adi Nurwansyah (tengah), salah seorang pendiri RPS, bersama Suharyono sebagai koordinator lapangan. Sedangkan Evi Wulandari adalah anggota RPS yang bertanggung jawab dalam urusan administrasi.

Demi keamanan, tiap mendampingi klien, Relawan Pendamping Samarinda harus melibatkan minimal empat personel. Tak pungut biaya, para anggota urunan untuk jaga-jaga ban bocor, bensin habis, atau motor mogok.

HERMINA KHUMAIRAH, Samarinda

SUDAH setengah jam Adi Nurwansyah bersama tiga rekan menunggu di depan sebuah gang itu. Tapi, yang ditunggu tak kunjung datang.

Jarum jam menunjukkan hampir pukul setengah lima pagi. Setengah jam lagi, semestinya Adi dkk bertemu dengan si klien perempuan yang meminta bantuan pendampingan.

Tapi, sampai jam yang dijanjikan itu lewat, bahkan lewat jauh, si klien tak kunjung muncul. Sampai akhirnya sebuah pesan via WhatsApp masuk ke ponsel Adi.

’’Maaf, Mas. Saya ketiduran,’’ tulis si klien seperti ditirukan Adi, lantas tersenyum.

Kejadian tahun lalu itu hanyalah satu di antara sekian suka duka yang jadi makanan sehari-hari Adi dan rekan-rekannya yang tergabung dalam Relawan Pendukung Samarinda (RPS).

Sebagaimana ditulis Kaltim Post (Jawa Pos Group), RPS adalah organisasi para relawan yang menyediakan jasa pendampingan cuma-cuma bagi siapa saja warga Samarinda yang takut keluar rumah sendirian. Terutama pada jam-jam yang dianggap rawan seperti malam dan pagi buta.

Berdiri sejak Maret 2016, RPS merupakan penyatuan tiga organisasi: Pencinta Samarinda Aman, Pembasmi Jambret, dan Patroli Malam. Hingga kini, anggotanya mencapai 53 relawan dari berbagai latar belakang.

Menurut Adi, RPS merupakan respons terhadap kondisi ibu kota Kalimantan Timur itu yang dirasa kian tidak aman. ’’Kejahatan sekarang sudah terorganisasi, melawannya juga perlu diorganisasi. Samarinda tidak seperti dulu,’’ tutur Adi yang tinggal di Palaran.

Mengutip Kaltim Post, per Juni 2016, angka kriminalitas di Kota Tepian itu memang meningkat empat kali lipat jika dibandingkan dengan semester yang sama 2015. Kenaikan paling tinggi adalah kasus perjudian (770 persen), pencurian kendaraan bermotor (390 persen), dan narkoba (333 persen). Diikuti pencurian serta penganiayaan berat (lebih dari 200 persen).

Laporan kejahatan yang masuk di Polresta Samarinda, sepanjang Januari hingga Juni 2016, mencapai 1.017 kasus. Angka selama enam bulan itu bermakna bahwa terjadi 6,17 kasus kriminalitas setiap hari. Peningkatan yang sangat tinggi karena sepanjang 2015 hanya masuk 668 laporan kejahatan.

Tugas para relawan RPS adalah mengantarkan para klien –sebutan mereka untuk yang meminta bantuan pendampingan– selamat sampai di tempat tujuan. Terdengar sederhana. Tapi, karena ada risiko berhadapan dengan kejahatan, kehati-hatian tentu harus dijaga benar.

Protap (prosedur tetap) dalam tiap pendampingan, misalnya, harus melibatkan minimal empat relawan. Mereka terdiri atas korlap (koordinator lapangan) di depan, dua di samping klien, dan satu lagi di belakangnya.

’’Kalau kurang anggota, kami beri opsi menunggu sampai ada empat atau klien batalkan,’’ urai Adi.

Suharyono, salah seorang korlap, menuturkan, korlaplah yang menentukaan formasi pendampingan. Siapa yang di samping dan di belakang klien. ’’Selain saya, Pamungkas dan Nathael Sultan juga korlap,’’ terang pria yang bekerja di sebuah hotel itu.

Sebisa-bisanya para relawan bekerja dalam senyap agar tidak terbaca pelaku tindak kriminal. Mereka rata-rata juga punya bekal kemampuan bela diri.

Sebab, taruhannya bukan hanya keselamatan para relawan. Tapi juga keluarga mereka. Adi mengisahkan, pernah dalam suatu pendampingan relawan RPS diikuti dua pria yang membawa parang panjang.

’’Kami bertujuh. Semua sadar sedang diikuti dari Jembatan Mahkota II sampai Simpang Pasir,’’ cerita Adi.

Untung, sampai klien selesai diantar, tak ada kejadian membahayakan. Padahal, seluruh anggota RPS kala itu sudah bersiaga menghadapi kemungkinan terburuk.

Hampir tiap malam selalu ada klien yang mengontak untuk meminta bantuan. Umumnya para perempuan. Tapi, ada pula yang laki-laki.

Ketika ada kasus kriminalitas yang menghebohkan, permintaan pendampingan bahkan semakin meningkat. ’’Kami kadang sampai kewalahan,’’ kata Adi.

Dana operasi RPS berasal dari swadaya anggota. Sekali pendampingan, anggota RPS akan urunan. Dana yang terkumpul digunakan untuk membiayai jika ada ban bocor, bensin habis, atau motor pendamping yang mogok.

Mereka juga sangat berhati-hati dalam menerima bantuan. Donasi berupa uang akan ditolak. Lebih memilih peralatan yang dibutuhkan. Misalnya, handy talky yang beberapa waktu lalu disumbangkan seorang dermawan.

’’Kami tidak mau ada kontrak, perjanjian, atau sumbangan dengan tujuan tertentu. Apalagi mau memasuki tahun politik (tahun depan),’’ tegas Adi.

Agar lebih profesional, struktur di RPS juga dilembagakan. Terdiri atas ketua dan wakil, sekretaris, bendahara, koordinator lapangan, sampai humas.

RPS juga sedang berusaha melegalkan keberadaannya di Badan Kesatuan Kebangsaan Politik (Kesbangpol) Samarinda. Menurut Adi, legalitas penting agar RPS tidak dipandang sebagai komunitas setting-an.

Untuk sekretariat, sekarang berada di Jalan Belibis. Hasil sumbangan seorang anggota yang menyekat rumah yang dia sewa.

RPS juga kerap menjalin hubungan dengan komunitas lain. Terbaru, mereka turut membantu pencarian korban yang hanyut di sungai kecil di Jalan Teuku Umar, Lok Bahu, Samarinda.

Saat ini dua di antara 11 pendiri RPS sudah tidak berdomisili di Samarinda. Rizky Ilahi merupakan satu-satunya perempuan di antara 11 orang tersebut.

Seluruh pendiri adalah wiraswastawan dan pegawai swasta. Hanya Abdillah yang berstatus aparatur sipil negara. ’’Pak Abdillah adalah guru SMP,’’ jelas Adi.

Tapi, apa pun latar belakangnya, motivasi bergabung mereka sama: berbagi kepada sesama untuk menciptakan rasa aman. Suharyono, misalnya, bekerja mulai sore sampai malam. Selepas jam kerja, dia dedikasikan untuk jadi relawan.

’’Saya bergabung di RPS karena panggilan hati nurani,’’ katanya. (fel/k11/JPG/c5/ttg)