25 radar bogor

Wabah Difteri Dampak Gerakan ”Antiimunisasi”

BOGOR–Wabah difteri semakin menghantui bayi-bayi di Indonesia. Berbagai kalangan menduga penyakit yang menyerang saluran pernapasan ini akibat adanya gerakan ”antiimunisasi”. Dam­paknya, difteri berperan besar dalam menyumbang angka kematian pada bayi di Indonesia.

Tak mau kecolongan, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bogor menggeber imunisasi difteri gratis di posyandu dan puskesmas. Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) pada Dinkes Kabupaten Bogor Agus Fauzi mengimbau masyarakat agar memanfaatkan kesempatan ini. Pasalnya, untuk imunisasi di rumah sakit, biayanya tak sedikit.

”Kalau di rumah sakit, mahal kalau beli walau itu program juga. Tetapi, di posyandu dan puskesmas gratis karena ditanggung pemerintah,’’ ujarnya kepada Radar Bogor, kemarin (7/12).

Agus menjelaskan, difteri ditandai dengan demam dan kemunculan pseudomembran (selaput tipis) putih keabu-abuan pada tenggorokan (laring, faring, tonsil), yang tak mudah lepas dan mudah berdarah. Sejauh ini, upaya yang dianggap efektif untuk mencegah terjadinya difteri itu sendiri adalah dengan pemberian imunisasi. Imunisasi memberikan perlindungan kekebalan terhadap penyakit secara spesifik tergantung dengan jenis vaksin yang diberikan.

Selama ini, lanjut Agus, pasien penderita difteri harus dirujuk ke Rumah Sakit Paru Indonesia (RSPI) karena pada rumah sakit umum daerah (RSUD) belum memiliki Anti-Difteri Serum (ADS). Kalaupun ada, harus mengambil ke posko KLB Jakarta atau Bandung. Namun jika itu dilakukan, tidak ada efisiensi waktu.

Sedangkan pasien harus secepatnya diberikan ADS sehingga dirujuk ke RSPI. ”Kalau ADS ada, sebenarnya rumah sakit kita juga bisa merawat,’’ terangnya.

Agus mengatakan, pada pertengahan 2017, Dinkes Kabupaten Bogor sudah menganggarkan pengadaan ADS. Namun, stok di produsen vaksin Biofarma masih kosong. ”Tahun depan dianggarkan kembali dan diharapkan vaksin tersedia,’’ kata dia.

Sementara untuk menangani satu kasus, dibutuhkan delapan vial atau 80 ribu Internasional Unit (IU) yang berarti satuan untuk ADS. Jika sejak awal terjangkit telah diberikan ADS, kemungkinan selamat juga lebih besar. “ADS itu per vial, satu vial isi 10 ribu IU. Sesuai petunjuk teknis, satu kasus bisa diberi sampai delapan vial atau 80 ribu IU,’’ pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Dinkes Kota Bogor Rubaeah mengungkapkan, Kota Bogor bebas dari penyakit difteri. Itu diklaimnya bukan tanpa sebab. Lantaran sosialisasi dan implementasi penyuntikan imunisasi yang merata serta tersebar, membuat difteri tidak terjadi di Kota Hujan.

“Kepatuhan masyarakat menjadi kunci dari keberhasilan ini. Dengan imunisasi, sedari anak, masyarakat sudah diberi kekebalan tubuh yang baik. Sehingga, ke depannya, difteri tidak ditemukan di Kota Bogor,” ucapnya.

Rubaeah menjelaskan, untuk menarik minat dan meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap imunisasi, pihaknya melakukan pendekatan yang lebih personal. Bukan sekadar sosialisasi di posyandu, melainkan dari rumah ke rumah. Selain itu, lanjut Rubaeah, Kota Bogor yang terbilang kecil semakin memudahkan implementasi imunisasi. ”Kami jadi mudah menjangkau masyarakat. Yang penting imunisasi buat anak-anak,” tandasnya.

Di bagian lain, Menteri Kesehatan RI, Nila Farid Moeloek, menyampaikan bahwa imunisasi memberi perlindungan penyakit tertentu sesuai jenis vaksinnya. Misalnya, vaksin HB untuk mencegah Hepatitis B dan vaksin DPT untuk mencegah difteri, pertusis dan tetanus. ”Bukan berarti semua penyakit langsung hilang dengan diberikan satu jenis imunisasi,” jelas Menteri Nila, pada rilis resmi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI.

Kemenkes pun telah menetapkan wabah difteri sebagai kejadian luar biasa (KLB), atas temuan sejumlah kasus di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Menteri Nila menegaskan, program imunisasi efektif untuk melindungi anak dari wabah kesakitan, kecacatan, dan kematian yang disebabkan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).

”Imunisasi wajib merupakan imunisasi yang dijamin keterse­diaannya oleh pemerintah yang meliputi vaksin Bacillus Calmette Guerin (BCG), Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B-Hemophilus Influenza type B (DPT-HB-Hib) atau yang saat ini dikenal dengan pentavalen, Hepatitis B pada bayi baru lahir, polio dan campak,’’ tegasnya.

Selain itu, untuk pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit difteri juga diberlakukan vaksin DT (Difteri Tetanus) yang ditujukan untuk bayi usia 2, 4, 5, dan 18 bulan, serta Td (Tetanus Difteri) selaku booster bagi anak usia 7 tahun ke atas. Imunisasi Hepatitis B, BCG, polio, DPT-HIB, serta campak adalah sejumlah imunisasi yang dapat diberikan secara gratis di posyandu. Tentunya itu jauh lebih baik ketimbang melakukan imunisasi di klinik swasta dengan biaya mencapai Rp700 ribu-Rp800 ribu.

Berdasarkan anjuran Menkes, semua jenis vaksin ini harus diberikan secara lengkap sebelum anak berusia 1 tahun, diikuti dengan imunisasi lanjutan pada batita dan anak usia sekolah. Pemberian imunisasi DPT sebanyak tiga dosis pada bayi ditambah dengan imunisasi lanjutan pada batita dan murid sekolah dasar diyakini dapat memberikan kekebalan terhadap penyakit difteri.

Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes RI dr. Elizbeth Jane Soepardi mengungkapkan bahwa sebelumnya sudah ada delapan jenis antigen (vaksin) yang termasuk dalam program imunisasi nasional, seperti vaksin Hepatitis B bagi bayi baru lahir, BCG, DPT-HB-Hib, polio oral (OPV), IPV, dan campak.

Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jose Rizal Latief Batubara menjelaskan, difteri merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diptheriae yang menular dan berbahaya.

Penyakit ini bisa mengakibatkan kematian lantaran menyumbat saluran napas atas, toksinnya yang bersifat patogen, menimbulkan komplikasi miokarditis (peradangan pada lapisan dinding jantung bagian tengah), gagal ginjal, gagal napas, dan gagal sirkulasi.

“Difteri itu gejalanya radang saluran napas, ada selaput putih dan gampang berdarah, dan toksinnya itu yang bahaya, bikin kelainan jantung, meninggal,” katanya.

Difteri menimbulkan gejala dan tanda berupa demam yang tidak begitu tinggi, 38ºC, munculnya pseudomembran atau selaput di tenggorokan yang berwarna putih keabu-abuan yang mudah berdarah jika dilepaskan, sakit waktu menelan, kadang-kadang disertai pembesaran kelenjar getah bening leher dan pembengakan jaringan lunak leher yang disebut bullneck. Ada kalanya disertai sesak napas dan suara mengorok.(rp2/wil/d)