25 radar bogor

Deklarasi Trump Menabuh Perang

WASHINGTON–Kolom Robert Fisk di The Independent kemarin seperti mewakili kemarahan banyak pihak atas langkah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Sesuatu yang dalam bahasa Fisk sangat provokatif, berbahaya, atau semata memang gila.

”Sebenarnya, kita juga tak perlu kaget. Presiden edan memang selalu melakukan sesuatu yang juga edan,” kritik kolumnis senior yang berbasis di Lebanon itu dalam kolomnya.

Akar kemarahan tersebut adalah rencana deklarasi resmi Trump bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. Bahkan, bakal memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke kota suci bagi tiga agama –Islam, Kristen, dan Yahudi– itu.

MEMANAS: Bendera Israel berkibar di dekat Masjid Kubah Batu Al Aqsa, Yerusalem pada 5 Desember 2017. Warga Palestina di Kota Gaza mengecam rencana pengakuan Yerusalem oleh Israel, dengan membakar bendera Amerika Serikat dan Israel.

Tak hanya melanggar Kesepakatan Oslo yang diteken Palestina dan Israel pada 1993. Yang dilakukan Trump itu sama saja dengan menyatakan bahwa warga Palestina tak lagi punya hak di Yerusalem.

Kemarin (6/12) unjuk rasa pecah di beberapa lokasi di Jalur Gaza. Ratusan warga Palestina turun ke jalan sambil meneriakkan yel-yel anti-AS. Mereka juga membakar bendera AS dan bendera Israel yang mereka bawa.

”Kita telah tiba di persimpangan yang sangat berbahaya. Hanya ada dua pilihan, bertahan atau lenyap,” tegas Salah Bardawil, pentolan kelompok Hamas di Gaza.
Di depan beberapa pejabat Gedung Putih pekan lalu, Trump mengatakan bahwa dirinya akan melunasi janjinya kepada Israel. Kecuali ada perubahan mendadak, pengakuan itu disampaikannya dalam pidato dini hari tadi WIB.

Pada masa kampanye pemilihan presiden (pilpres) tahun lalu, taipan 71 tahun itu memang sesumbar untuk mengangkat derajat Israel di mata dunia jika terpilih sebagai pengganti Barack Obama.

Caranya, ya itu tadi, mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. ”Dunia akan berhenti meremehkan Israel begitu saya menjadi presiden AS,” kata presiden ke-45 Negeri Paman Sam tersebut dalam kam­panyenya tahun lalu.

Dalam bahasa yang lebih diplomatis, Gedung Putih menyatakan bahwa keputusan Trump itu hanyalah penegasan realitas. Versi Washington, Yerusalem memang ibu kota Israel. Tapi, itu tidak serta-merta mengubah status dan kedaulatan kota tersebut.

Padahal, di mata dunia, Yerusalem bukanlah ibu kota Israel. The New York Times melaporkan bahwa Yerusalem memang pernah menjadi ibu kota kawasan tersebut setelah Ottoman Turki ditaklukkan Inggris pada 1917. Tapi, saat itu, Israel belum lahir. Negara tersebut baru terbentuk sekitar tiga dekade kemudian. Maka, secara legal, Yerusalem tidak pernah menjadi ibu kota Israel.

Sejak melontarkan wacana tersebut pekan lalu, Trump menuai banyak kritik dan kecaman. Protes pertama jelas datang dari otoritas Palestina. Selanjutnya, Jordania ikut mengecam.
Presiden Prancis Emmanuel Macron pun ikut memperingat­kan sang penguasa Gedung Putih tersebut. Tapi, ayah Ivanka itu bergeming.

Kemarin sejumlah besar pemimpin dunia ikut angkat bicara. Mulai Perdana Menteri (PM) Inggris Theresa May, pemerintah Tiongkok, Kremlin (Rusia), sampai Paus Fransiskus.

Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam juga tak tinggal diam. Mereka berusaha mencegah deklarasi Trump. Sebab, harga yang harus dibayar dunia untuk pelunasan janji kampanye mantan host The Apprentice itu terlalu mahal.

”Dia menabuh genderang perang di Timur Tengah. Dia mendeklarasikan perang terhadap 1,5 miliar muslim dan ratusan juta umat Kristen yang tidak akan pernah rela situs-situs religius itu berada di bawah hegemoni Israel,” ungkap Manuel Hassassian, kepala perwakilan Palestina untuk Inggris.

Mantan PM Palestina Ismail Haniyeh menggagas unjuk rasa selepas salat Jumat untuk mereaksi kebijakan Trump tersebut. Bagi Palestina, deklarasi Trump adalah kiss of death bagi proses damai Israel-Palestina.

Dengan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, otomatis AS berpihak pada negara yang dipimpin PM Benjamin Netanyahu itu. Maka, posisi AS sebagai jembatan dalam perundingan damai gugur.

Sebab, AS berat sebelah. Oleh karena itu, Paus pun menyarankan AS membiarkan status quo Yerusalem. Tujuannya, proses damai bisa berlanjut dan menghasilkan kesepakatan permanen.

Tidak hanya memantik kecaman dari berbagai penjuru dunia, pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel juga membuat pemerintahan Trump terbelah. Seorang sumber di Gedung Putih menyatakan kepada Reuters bahwa Menteri Luar Negeri Rex Tillerson dan Menteri Pertahanan Jim Mattis tidak mendukung kebijakan tersebut. Sementara itu, Wakil Presiden Mike Pence dan Duta Besar AS untuk Israel David Friedman mendukung penuh rencana tersebut.(hep/c6/ttg)