25 radar bogor

Dialog Publik “Mewujudkan Pelayanan Publik Bebas Korupsi’’

DIALOG: Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Widyanto Eko Nugroho (berdiri) dalam dialog akhir tahun Radar Bogor di Graha Pena Bogor kemarin (5/12). Eko memaparkan fakta-fakta temuan KPK terkait suap-menyuap di lingkungan pemerintahan daerah.
DIALOG: Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Widyanto Eko Nugroho (berdiri) dalam dialog akhir tahun Radar Bogor di Graha Pena Bogor kemarin (5/12). Eko memaparkan fakta-fakta temuan KPK terkait suap-menyuap di lingkungan pemerintahan daerah. (Sofyansah/Radar Bogor)

Radar Bogor kembali menggelar dialog publik akhir tahun, di Graha Pena, bilangan KH Abdullah bin Nuh, Kota Bogor, kemarin (5/12). Mengangkat tema Mewujudkan Pelayanan Publik Bebas Korupsi, dialog ini dimoderatori Gatut Susanta dengan keynote speaker Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Widyanto Eko Nugroho. Turut hadir sebagai pembicara: Wali Kota Bogor Bima Arya; Bupati Bogor Nurhayanti yang diwakili Kepala Inspektorat Kabupaten Bogor Benny Delyuzar; Rektor Universitas Pakuan Bibin Rubini; dan Direktur Eksekutif Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia Syamsuddin Alamsyah. Peserta dalam dialog ini di antaranya, para SKPD Kota-Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Depok, serta kalangan politisi, dan aktivis.

Ruang lingkup pemerintahan terus digerogoti aksi korupsi. Pelayanan publik menjadi sasaran empuk para oknum berlaku korup. Berdasarkan data Komisi Antirasuah, hingga Oktober 2017, kasus korupsi didominasi aksi suap pejabat pemerintahan dengan kalangan swasta dengan persentase 55 persen.
CEO Radar Bogor Group Hazairin Sitepu mengatakan bahwa korupsi akan memberikan dampak negatif pada kualitas produk demokrasi. Produk demokrasi itu adalah wali kota, bupati, gubernur, DPRD, dan sejenisnya.

”Kalau kemarin banyak bagian dari mereka yang ditangkap, perlu kita pertanyakan seberapa baik produk demokrasi kita,’’ ujarnya.

Perilaku koruptif yang dilakukan para elite akan berdampak pada tak terpenuhinya hak-hak publik. Semuanya bisa ‘diakali’ dengan cara yang intelek, mulai infrastruktur, irigasi, bangunan sekolah, dan lain-lain.

”Semoga kita bisa memberikan hak pada ratusan ribu anak yang sekolah di teras hujan-hujanan, karena sekolahnya roboh segala macam,’’ kata Hazairin.

Pernyataan itu diamini Deputi Pencegahan KPK, Widyanto Eko Nugroho. Eko memaparkan, jumlah kasus yang ditangani KPK jika dirunut berdasarkan profesi, paling banyak melibatkan pengusaha swasta yakni 177 kasus. Kemudian paling tinggi kedua melibatkan pejabat eselon I, II, dan III dengan jumlah 155 kasus. Sisanya, 134 kasus melibatkan pejabat legislatif, serta 60 kasus melibatkan kepala daerah.

”Sangat sulit mencegah korupsi di pemerintah daerah,’’ ujar Eko.

Lebih mencengangkan lagi, ketika Eko mengungkap hasil research KPK yang menyimpulkan bahwa kepala daerah kerap meminta fee sebesar 10 persen dari beberapa tipe pelayanan, termasuk perizinan.

”Pada 2016, responden ditanya: pelayanan apa, Anda masih harus menyuap atau membayar. Di sini dua terbesar adalah terkait izin, yang kedua terkait kepolisian,” ungkapnya.
Sektor perizinan bisa dibilang ”lahan basah”. Bahkan, tak jarang investor merasa dipersulit ketika mengurus izin usaha. Padahal, upaya-upaya oknum untuk mempersulit itu bisa saja mengurungkan niatan para pengusaha untuk berinvestasi.

”Bayangkan, jika tidak ada investor yang berinvestasi di Bogor, karena saat mau izin usaha harus sowan ke pak RT dulu, pak RW dulu, pak camat dulu, pak kepala dinas dulu kemudian ke wali kota, abis itu ke pak gubernur,’’ kata Eko.

Dampaknya sudah pasti buruk. Pengusaha bakal enggan berinvestasi yang berimbas pada tingginya angka pengangguran. Upaya mempersulit yang dilatarbelakangi ingin disuap itu yang menurutnya harus dihilangkan dari diri setiap pegawai pemerintahan.

”Pola interaksi mereka yang terlibat dalam pelayanan publik sudah sebaiknya dikendalikan. Karena interaksi yang berlebihan rentan menimbulkan ketidakprofesionalan. Profesionalismenya terbeli. Itu yang bahaya,’’ paparnya.

Contoh lainnya dipaparkan oleh Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel), Syamsuddin Alimsyah. Ia membenarkan bahwa perilaku korupsi di sektor layanan publik dapat berimplikasi besar di masyarakat. Seperti halnya pengadaan e-KTP yang dikorupsi mencapai 50 persen dari bujet yang disediakan. “Lalu apa yang kita alami, hari ini kita kekurangan blangko. Ada warga yang bertahun-tahun bahkan tidak mendapatkan e-KTP,” sebutnya.

Dosa Korup Bangunan Sekolah

Indikasi korupsi terkini, menurut Syam, nampak di Kabupaten Bogor. Ia menemukan kejanggalan pada perbaikan bangunan sekolah di beberapa tempat. Ada beberapa bangunan sekolah yang baru dibangun tetapi langsung menerima perbaikan. Di sisi lain, ada sekolah yang sudah rusak tetapi belum tersentuh pembangunan, yaitu sebuah SD di Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor.

Lebih menarik lagi ketika dirinya melakukan penelusuran di bidang pengadaan barang dan jasa Kabupaten Bogor. Satu kontraktor bisa mengerjakan lima proyek di saat bersamaan. ”Tapi, di proyek lain bisa dinyatakan gagal hanya karena permasalahan administrasi,’’ ungkapnya.

Rektor Universitas Pakuan Bibin Rubini turut menyoroti perilaku koruptif di bidang pembangunan bangunan sekolah. Perilaku tersebut, menurutnya, jauh dari kata terpuji lantaran merampas hak para pelajar. “Dosa-dosa kita sangat besar karena tidak memberikan kenyamanan bagi siswa dengan baik,” katanya.

Asal muasal terjadinya perilaku koruptif di lingkungan pemerintahan, menurutnya, tak lain karena adanya korporasi antara oknum di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sehingga, idealnya seorang kepala daerah tidak memiliki utang budi politik pada siapa pun. ”Karena kalau sudah terbelenggu, kita akan selamanya begitu. Kalau sekali bohong akan seterusnya bohong,’’ kata Bibin.(fik/d)