25 radar bogor

381 Warganet Dipolisikan

JAKARTA–Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah setahun diberlakukan. Banyak warganet yang dilaporkan kepada polisi, karena diduga melanggar aturan yang disahkan pada 28 November 2016 tersebut.

Salah satu relawan pembela kebebasan ekspresi di Asia Tenggara, Ika Ningtyas mengungkapkan, kemerdekaan berekspresi telah dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28 E ayat (2). ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya,” ungkap dia.

Selanjutnya, dalam ayat (3) menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Termasuk, Pasal 22 ayat (3) UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

”Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media cetak elektronik, dengan memperhatikan nilainilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa,” paparnya.

Namun pada kenyataannya, kata dia, jaminan tersebut kerap kali bertabrakan dengan kebijakan yang dibuat negara dalam rangka perlindungan terhadap hak individu atas kehormatan atau reputasi.

“Para jurnalis masih sering dilaporkan balik karena dianggap melakukan penghinaa n da lam pemberitaan,” tegas Ika yang turut menandatangani Maklumat Yogyakarta dalam keterangan tertulis, Rabu (29/11).

Sejak revisi UU ITE resmi berlaku secara efektif pada 28 November 2016, jumlah yang terjerat UU ITE tak kunjung menurun. Malah, sambung dia, menunjukkan gejala kenaikan. Perubahan ancaman pidana yang diturunkan dari semula 6 tahun, dan atau denda Rp1 miliar menjadi 4 tahun, dan atau denda Rp750 juta, tidak menurunkan animo aduan ke polisi dengan pasal karet UU ITE.

“Penahanan sewenang-wenang masih kerap terjadi sekalipun dengan ancaman pidana yang sudah turun di bawah lima tahun itu sudah tidak ada lagi dasar penetapan penahanan sebelum persidangan,” ujarnya seperti dilansir suara.com.

Koordinator SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) Damar Juniarto menjelaskan, berdasar monitoring nasional kasus UU ITE yang dikerjakan SAFEnet, dalam satu tahun sudah ada 381 warganet yang diadukan ke polisi.

Di antaranya, 359 aduan tercatat terkait pasal pencemaran nama baik, 21 aduan terkait pasal penodaan agama, 1 aduan terkait pasal pengancaman online. Lebih lanjut ia mengatakan, revisi UU ITE memang diperlukan.

Meskipun jauh dari harapan, revisi UU ITE memuat beberapa poin perbaikan seperti menambahkan penjelasan atas kata mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya nformasi elektronik. Begitu juga dengan penegasan bahwa pasal defamasi harus delik aduan absolut seperti pada pasal 310-311 KUHP.

“Itu mungkin memperbaiki penerapan pasal, tetapi tidak menghapus borok yang ada dalam rumusan pencemaran nama/penghinaan dalam pasal 27 ayat 3 UU ITE yang multitafsir dan karet,” kata Damar.

Damar pun menyoroti tentang fenomena persekusi ekspresi yang semakin menguat dan pemidanaan mereka yang dipersekusi dengan pasal 28 ayat 2 UU ITE. Dalam monitoring kasus persekusi yang dikerjakan SAFEnet bersama dengan Koalisi Anti Persekusi, ditemukan fakta bahwa dalam 100 kasus persekusi ekspresi yang terjadi sejak awal tahun 2016 sampai November 2017, terdapat pelanggaran atas privasi dan sejumlah tindak pidana lain.

Seperti pencurian identitas secara online, pengancaman, diskriminasi, serta kemudian tindak kekerasan yang menyertai proses persekusi. Dari 100 kasus persekusi ekspresi, 12 kasus di antaranya telah masuk ke persidangan dan diputus bersalah dengan range vonis antara dua sampai empat tahun penjara.

Namun sebaliknya, para pelaku persekusi hingga hari ini belum terungkap apalagi dipidanakan, sekalipun apa yang mereka lakukan sudah jelas melanggar hukum.

“Atas dasar itu, pertama, kami mengecam para pelaku kejahatan persekusi ekspresi atas segala tindakan pelanggaran privasi terhadap korban. Kedua, kami juga meminta negara memberikan jaminan keamanan atas kebebasan berekspresi setiap warga negara agar terbebas dari tindak persekusi ekspresi. Ketiga, kami meminta Polri untuk menunjukkan komitmen dalam menindak tegas para pelaku kejahatan persekusi ekspresi dan mencegah terjadinya kembali persekusi di tahun 2018,” paparnya.

Sementara itu, beberapa tokoh pernah berurusan dengan UU ITE. Terbaru, pentolan grup band Dewa 19, Ahmad Dhani Prasetyo sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Metro Jakarta Selatan atas kasus ujaran kebencian SARA di media sosial.

Seorang warga bernama Jack Boyd Lapian sebelumnya melaporkan Ahmad Dhani dengan nomor laporan LP/1192/ III/2017/PMJ/ Dit Reskrimsus tertanggal 9 Maret 2017. Pada 6 Maret 2017, Dhani berkicau melalui akun Twitter @AHMADDHANIPRAST yang nadanya dianggap menghasut dan penuh kebencian terhadap pendukung Ahok.

Pada 23 Juni 2017, Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo (HT) menjadi tersangka. Kasus bermula setelah mengirimkan beberapa pesan singkat kepada Kepala Subdirektorat Penyidik Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung Yulianto.

Senin (1/5/2017), tim pengacara Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) yang mengaku telah mendapatkan kuasa dari Wakil Ketua DPR Fadli Zon melaporkan pemilik akun Twitter @NathanSuwanto. Nathan dilaporkan lantaran cuitannya yang bernada ancaman terhadap Fadli Zon dan sejumlah tokoh lain.

Merasa ikut terancam dengan kicauan Nathan, Fahira Idris melalui tim pengacaranya juga menempuh langkah hukum. Nathan dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri pada Senin (1/5). Sebelumnya Fahira yang menjabat sebagai Wakil Ketua Komite III DPD RI juga membuat sayembara bagi siapa pun yang bisa melaporkan Nathan ke polisi untuk pertama kali.

Sayembara berhadiah telepon genggam itu disampaikan Fahira melalui akun Twitternya @fahiraidris pada Sabtu (29/4). Sekitar Desember 2015 hingga Februari 2016 ponsel Yuddy Chrisnandi yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) kerap menerima pesan bernada ancaman.

Jengah dengan teror tersebut, Yuddy melalui sekretaris pribadinya, Reza Fahlevi melapor ke Bareskrim Mabes Polri pada 28 Februari 2016. (sc/net)