25 radar bogor

Guru Harus Tetap ’’Galak’’

Peringatan Hari Guru, 25 November, seyogianya menjadi momentum refl eksi kasus kekerasan yang terus terjadi di dunia pendidikan. Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa menilai tingkat kesejahteraan guru turut menyumbang terjadinya kekerasan oleh pendidik di sekolah. Kondisi itu banyak dialami oleh para guru berstatus honorer.

Jenderal Manajer Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa, Abdul Khalim, mengungkapkan bahwa dalam beberapa kasus, guru melakukan kekerasan terhadap siswa dilatarbelakangi oleh permasalahan keluarga si pelaku. Emosi yang terpendam sejak di rumah, terbawa hingga ke sekolah dan memuncak ketika guru bertemu dengan sikap tak patuh anak didik.

”Lalu terjadilah. Permasalahan keluarga kemudian dibawa ke sekolah juga itu bisa,’’ ujar Khalim kepada Radar Bogor, kemarin. Permasalahan keluarga yang dimaksud memang cukup banyak. Namun, kata Khalim, biasanya permasalahan tersebut bermuara pada kondisi ekonomi keluarga yang kurang mapan.

Seperti diketahui, penghasilan guru honerer di berbagai sekolah masih banyak yang jauh dari upah standar minimum daerah. ”Terlebih, sebagian besar guru honorer dibayar menggunakan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Guru honorer ini hanya mendapatkan gaji setelah dana BOS itu keluar. Kalau tidak keluar mereka tidak dapat,’’ terangnya.

Khalim mengungkapkan, dirinya sempat melihat sendiri kekerasan terhadap anak didik di sekolah di Provinsi Sumatera Selatan. ”Saya melihat dengan kasatmata, guru melempar siswa dengan sepatu,” ungkapnya. Memang, peristiwa tersebut terjadi lantaran siswa kurang disiplin. Tapi bagaimanapun juga, menurut Khalim, pelemparan tersebut tak semestinya dilakukan.

”Ada berbagai cara lain yang justru efektif. Salah satunya dengan melakukan komunikasi dua arah secara baik-baik. Menegur dengan baik. Dipegang bahunya, kemudian ditanya apa yang melatarbelakangi anak itu tidak disiplin,” kata Khalim.

Meski menjalin komunikasi yang lentur dengan siswa, ketegasan guru dalam mendidik tetap diperlukan. Karena mendisiplinkan siswa tak melulu dengan menggunakan cara yang kaku. Selain kekerasan fisik, menurut Khalim, kekerasan verbal juga perlu dihindari. Terkadang guru tidak menyadari telah melakukan kekerasan secara verbal.

Perkataan kasar tak disadari terlontar ketika memarahi murid yang tidak disiplin. Padahal, perilaku tersebut berdampak besar pada psikologi siswa. ”Tidak boleh seperti itu, karena itu masuk kategori bullying,’’ cetusnya.

Riset Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa di Bogor, tidak banyak terjadi kasus kekerasan terhadap anak didik. Namun, tidak menutup kemungkinan beberapa kasus terjadi tanpa diketahui publik ataupun pihak lain.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Bogor, Fakhruddin, tak menampik bahwa masih ada praktik kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswa. Ia mengaku terus berusaha untuk menekan perilaku kekerasan yang kadang terjadi secara spontan. ”Hal-hal semacam itu terus kita terus minimalisasi. Meski itu bisa terjadi secara tiba-tiba di luar dugaan kita,’’ ujarnya kepada Radar Bogor.

Fahmi –sapaan Fakhruddin– tak henti-henti mengingatkan para guru untuk segera menjauh dari siswa didik ketika sedang tidak enak hati. Hal itu dianggap efektif untuk menekan angka kekerasan yang dilakukan guru.

Namun, Fahmi keberatan jika status honorer dituding sebagai musabab perilaku guru yang cepat marah. Sebab, menurutnya, emosi tidak tergantung besar kecilnya pendapatan seseorang. ”Tidak. Kecerdasan emosi itu sangat menentukan seseorang dalam mengelola hatinya. Yang pendapatannya besar tapi emosionalnya tinggi juga banyak.

Yang pendapatannya kecil tapi santun dan sabar juga banyak. Jadi, tidak tergantung itu,’’ cetusnya.

Meski begitu, bagi guru yang telanjur terlibat permasalahan hukum atas kekerasan terhadap anak didik, pihaknya menggandeng Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) siap menyediakan pendampingan hukum. Fahmi mengingatkan bahwa pihaknya selalu mengedepankan asas paraduga tak bersalah.

Di bagian lain, Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Bogor TB Luthfie Syam mengaku, pihaknya terus mengasah tenaga pengajar agar lebih profesional. Hasilnya, kasus guru yang dilaporkan anak didik karena kekerasan sangat kecil. Itu jika dibandingkan dengan jumlah total 40 ribu guru yang mengabdi di Bumi Tegar Beriman.

”Memang masih ada hukuman-hukuman perkara disiplin oleh guru terhadap anak didik. Tapi hanya dialami beberapa guru,’’ ujarnya kepada Radar Bogor. Jika jenis hukuman yang diberikan masih terbilang wajar, Luthfie menyebut, hal itu sebagai rasa sayang dan demi masa depan anak agar lebih terarah.

Karena itu, ia berharap, para wali murid untuk meyakinkan diri bahwa semua guru memandang peserta didik sebagai anaknya sendiri. ”Masyarakat perlu tahu, pendidik niatnya baik. Hukuman hanya bersifat mengingatkan agar tidak kembali dilakukan,’’ ujarnya.

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Bogor, Dadang Suntana, memastikan pihaknya siap mendampingi guru yang tersandung kasus kekerasan pada anak didik. Karena di dalam Undang-Undang Guru dan Dosen disebutkan bahwa organisasi profesi guru wajib memberikan perlindungan pada profesi guru.

”Kita memiliki Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) untuk memberikan perlindungan hukum,’’ jelasnya. Jika ada tenaga pendidik yang tersandung kasus hukum terhadap peserta didik atau mendapat tindak semena-mena dari pihak sekolah atau yayasan, lanjut Dadang, maka diimbau segera melapor kepada PGRI cabang di masing-masing wilayah.

Laporan tersebut akan diteruskan hingga PGRI Kabupaten Bogor untuk kemudian dipelajari dan diambil langkah tindak lanjut. ”Kita melindungi yang bersangkutan dengan berbagai cara. Bahkan hingga ke proses persidangan,’’ ucapnya.

Karena beberapa tahun silam, kata Dadang, pernah terjadi guru mendapat perlakuan semena-mena oleh pihak yayasan tetapi tidak sampai ke meja hijau. Guru tersebut tibatiba saja dikeluarkan oleh pihak yayasan. Sebelum dikeluarkan, yang bersangkutan melakukan pekerjaan di bidang lain selain menjadi pengajar. Padahal, guru tersebut telah lulus sertifikasi guru.

”Akhirnya kita advokasi, alhamdulillah menyadari kelemahannya, dan yang bersangkutan kembali mengajar,’’ jelasnya. Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) PGRI Kabupaten Bogor Asep Nuryana menambahkan, PGRI mengadvokasi melalui dua cara.

Yaitu, nonlitigasi melalui mediasi dengan pihak-pihak bersangkutan. Semisal pada kasus kekerasan pada anak didik, guru akan menjelaskan kenapa hukuman dilakukan kepada siswa yang bersangkutan. Lalu ada pula advokasi melalui litigasi (proses peradilan).

Apabila upaya-upaya advokasi secara nonlitigasi (mediasi) tidak dapat ditempuh, maka akan melakukan cara lain dengan mencari alasan-alasan yang dapat diringankan.

Menurutnya, semakin banyak kasus pendidik yang dilaporkan atas tuduhan kekerasan atau pelecehan seksual terhadap anak didik, membuat pasal perlindungan guru harus segera direalisasikan. Pasalnya, UU yang mengatur perlindungan guru hanya ada satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen yaitu pasal 39 ayat 1–5.

Juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74/2008 tentang Guru, hanya dua pasal yang mengatur perlindungan guru, yaitu pasal 40 ayat (1, 2, dan 3), dan pasal 41 ayat (1, 2, dan 3).

”Itu pun secara redaksional bunyi pasal ini pengertiannya tidak jauh berbeda dengan UU nomor 14/2005 tentang guru dan dosen,’’ pungkasnya. (rp1/rp2/d)