25 radar bogor

Usulan Subsidi Rp78 M Ditolak Mentah-mentah DPRD

Infografis nasib Transpakuan dan rerouting angkot (Alfi/Radar Bogor)

BOGOR–Rencana Pemkot Bogor untuk menghidupkan kembali Transpakuan dan menggabungnya dengan program konversi 3 angkot menjadi 1 bus sudah pasti kandas. Pasalnya, usulan pemkot meminta subsidi sebesar Rp78 miliar untuk operasional Transpakuan ditolakmentah-mentah oleh DPRD Kota Bogor dalam Rapat Paripurna di Jalan Kapten Muslihat, kemarin (16/11).

Ditemui Radar Bogor, Ketua Komisi B DPRD Kota Bogor, Jenal Mutaqin memaparkan segala alasan mengenai tidak diterimanya usulan tersebut. Wali Kota Bogor Bima Arya dianggap tak cakap dalam menyusun rencana. Pasalnya, berdasarkan Perwali 69 Tahun 2016, pengajuan biaya subsidi untuk transportasi harus jelas dilengkapi dengan proposal.

”Subsidi yang diberikan pemerintah tata caranya harus jelas. Pertama harus ada proposal usulan dari bidang transportasi. Baik itu perusahaan milik daerah ataupun lainnya. Angkanya harus sudah jelas, kilometernya berapa, jalur trayek yang mana, dan tarifnya berapa,’’ jelasnya usai rapat paripurna bersama Pemkot Bogor.

Faktanya, hingga kemarin, belum ada kejelasan terkait hitung-hitungan subsidi yang diperuntukkan bagi biaya operasional angkutan massal berupa bus Transpakuan. Hingga kini, pemberlakuan Transpakuan memang baru sebatas rencana. Konversi 3 angkot menjadi 1 bus pun belum jelas.

”Belum ada usulan-usulan itu, mengacu pada Perwali 69 Tahun 2016. Ini belum ada seperti itu. Siapa perusahaan transportasinya, ada berapa perusahaan transportasinya. Bukan rencana doang. Konversikan dulu saja,’’ ujar ketua Fraksi Gerinda DPRD Kota Bogor tersebut.

Padahal, kata dia, konversi 3 angkot menjadi 1 bus rupanya bukan upaya baru pemecah kemacetan. Karena program itu merupakan amanat Panitia Khusus (Pansus) Transportasi 2011 silam.

“Itu amanat pansus Transportasi tahun 2011 konversi 3 angkot menjadi 1 bus harus sudah selesai tahun 2013. Hari ini apakah sudah selesai? Kan belum. Saya apresiasi Wali Kota untuk memberikan subsidi pada masyarakat. Tapi, masyarakat yang mana yang kita subsidi?’’ sebutnya.

Ditemui di tempat yang sama, Wali Kota Bogor Bima Arya menyesalkan ditolaknya subsidi untuk operasional Transpakuan. Karena menurutnya, sudah jelas berdampak pada gagalnya rencana operasional angkutan massal di 2018 mendatang.

”Opsinya mundur berarti sampai konsepnya benar-benarmatang. Kita pending pelaksanaan nya, tidak di 2018. Kalau tidak disetujui oleh dewan, ya, bagaimana. Kemungkinan baru 2019 konversi itu,’’ ujarnya.

Kini, pemkot perlu memutar otak menemukan cara lain untuk mengatasi kemacetan Kota Hujan. ”Kita coba cari jalannya, kita cari format-format yang memungkinkan. Angkot ini secara bertahap dikasih menjadi bus, kita akan kaji lagi konsepnya,’’ kata Bima.

Dia mencoba meluruskan terkait dana yang masih dianggap sebagai biaya pengadaan bus. Padahal, pengadaan bus tetap dilakukan oleh masing-masing badan hukum yang bersedia untuk beroperasi di koridor utama. Sedangkan biaya yang diusulkan dari APBD, digunakan untuk menekan biaya tiket angkutan yang khawatir tidak terjangkau oleh masyarakat.

”Subsidi itu untuk mengurangi beban warga, karena nanti tiketnya tinggi. Jadi, pengadaan busnya itu bukan subsidi, tapi badan hukum sendiri melakukan kerja sama. Tapi kan mereka butuh operasional. Nah, itulah yang kita bantu,’’ paparnya.

Sementara itu, Ketua Komisi C DPRD Kota Bogor, R Laniasari menganggap bahwa program rerouting dijalankan dengan konsep yang jauh dari kata matang. Pasalnya, bukan hanya sosialisasi yang perlu gencar dilakukan, tapi kebutuhan infrastruktur pendukung juga menjadi suatu hal yang tidak boleh dilewatkan.

“Beberapa program rerouting memang tidak jalan. Bicara rerouting ada beberapa yang sudah ditargetkan, pada kenyataannya rerouting juga membutuhkan infrastruktur. Untuk bagian jalan-jalannya,” ucapnya ketika ditemui di gedung DPRD Jalan Kapten Muslihat usai sidang paripurna, kemarin.

Kebutuhan infrastruktur tersebut, antara lain, berupa fasilitas trotoar di beberapa rute baru yang sebelumnya tidak dilintasi angkutan perkotaan (angkot). “Misalnya, di Bogor Selatan. Infrastrukturnya saja belum siap. Kalau bicara rerouting kan harusnya sudah siap. Sebelahnya saja masih sawah. Kan, minimal harusnya ada trotoar. Jadi, infrastruktur desanya belum disiapkan,” beber Lania.

Pernyataan itu juga dibenarkan Rektor Universitas Pakuan Bibin Rubini. Menurut Bibin, untuk memecah permasalahan transportasi tak melulu terpatok pada jumlah kendaraan. Infrastruktur berupa ruas-ruas jalan juga diperlukan. Sebab, pertumbuhan jumlah kendaraan tidak seimbang dengan ruas jalan eksisting.

”Tapi juga masalah yang berkaitan dengan tidak bertambahnya ruas jalan. Kalau kita lihat berbandingan pertambahan jumlah kendaraan dengan lebarnya ruas jalan itu tidak berimbang,” katanya. (rp1/d)