25 radar bogor

Kisah Riza Marlon, Fotografer asal Bogor, Spesialis Alam Liar Indonesia

SANTAI: Riza Marlon santai di beranda rumah, sembari memperlihatkan salah satu buku kumpulan fotonya.Nelvi/Radar Bogor

Tak semua orang seberuntung Riza Marlon. Bisa menjalani profesi yang lahir dari ketiga hobinya sejak remaja. Hobit tersebut antara lain: fotografi, traveling, dan membuat biografi. Ketiga hobi itu pun terpadu mengisi hari-hari Riza sebagai fotografer spesialis alam liar Indonesia.

Laporan: Fikri Setiawan

KULIAH di jurusan Biologi Universitas Nasional pada 1982 lalu, membuat pria yang akrab disapa ”Om Caca’’ ini, mendapat banyak ilmu tentang satwa liar. Tapi, pengetahuan yang lebih luas dan mendetil justru didapatnya dari membaca buku produksi luar negeri yang memang mengulas berbagai satwa di nusantara.

”Banyak dibukukan di luar negeri, Indonesia tidak. Suka binatang mulai dari SD, SMP, SMA, bahkan sampai kuliah. Kok tidak ada orang yang mau bikin buku seperti ini,’’ ucapnya saat ditemui Radar Bogor di kediamannya, di Kecamatan Tanahsareal.

Kondisi itu melahirkan kegalauan dalam benak Riza. Sebagai pencinta satwa, ia merasa memiliki tanggung jawab untuk memproduksi sendiri buku serupa dan membagi pengetahuan itu kepada generasi muda. Beranjak dari situ, Riza mulai menekuni profesinya, menghasilkan gambar-gambar ciamik aneka satwa di alam liar. ”Awalnya kamera hanya meminjam dari teman,’’ tutur penyuka topi itu.

Di awal perjuangannya, masalah tak hanya pada kelengkapan alat pemotretan. Berbagai jenis satwa yang menjadi target, berada terpencar di penjuru nusantara. Maka ia harus mempersiapkan finansial sebelum terjun ke alam liar.

”Masalahnya, binatang tersebar luas di indonesia. Terlebih di pelosok, tidak langsung dekat bandara. Jadi, memang butuh waktu panjang untuk meng-cover Indonesia. Memang mahal,’’ aku Om Caca.
Saat itu, semasa muda, perlengkapan memotret memang masih serba analog. Untuk itu, selain butuh kesabaran, juga butuh ketelitian saat menggambil gambar. Karena jika sembarangan, bisa-bisa gagal total ketika melihat hasil jepretannya di Jakarta.

”Mulanya saya masih analog, mahal dan susah, tidak bisa preview. Jadi, baru bisa dilihat setelah di Jakarta,” kenangnya.

Bukti kesabarannya dalam menggunakan kamera analog, Om Caca harus menunggu satu hingga dua bulan untuk sekali pengambilan gambar. Karena akan menjadi sia-sia jika terburu-buru, tapi hasil yang dibawa pulang tidak layak cetak.

”Waktu masih pakai film, satu bulan sampai dua bulan waktu pemotretan. Karena Indonesia itu gelap, kita kerja pakai ISO 100, bayangkan, di tempat yang gelap kalau pake flash binatangnya lari. Jadi benar-benar tunggu dia diam,’’ ujarnya.

Om Caca berkelakar, profesinya itu bahkan terkadang seperti tukang pulung. Jika keluar rumah memang belum pasti mendapat foto bagus, tapi jika tidak keluar rumah, sudah pasti tidak mendapatkan foto bagus.

Perjuangannya berpayah-payah itu akhirnya menuai hasil ketika memasuki 2010. Saat itu Riza merilis buku perdana yang berjudul Living Treasures of Indonesia. Buku itu berisi koleksi foto-foto yang dikumpulkan selama 20 tahun bergerilya di belantara nusantara.

”Buku pertama 2010 tentang satwa liar. Stok selama 20 tahun. Perpaduan antara menggunakan film dan digital,’’ ungkapnya. Empat tahun kemudian, ia kembali merilis buku berjudul 107+ Ular Indonesia yang merupakan ulasan dan kumpulan ular-ular yang ada di nusantara.

Berbagai buku yang dibuatnya itu selalu diproduksi secara mandiri. Bukan hanya produksi, penjualannya pun bahkan dilakukan sendiri. Untuk itu, jelang launching bukunya yang ketiga, Riza menunggu dukungan dari berbagai pihak. “Saya juga minta dukungan banyak pihak untuk disponsori. Di bidang ini kita butuh banyak pihak,” tandasnya.(rp1/c)